Selasa, 29 April 2014

Esensi



Lugu bak Nasrudin


Lugu dan apa adanya, namun cerdik–cerdas berada di tengah masyarakat yang suka meliciki dia. Itulah Nasrudin.

Gereja juga berada di tengah masyarakat yang belum tentu selalu beritikad baik. Agaknya gereja juga bisa belajar dari Nasrudin untuk bertindak lugu dan apa adanya namun  cerdik–cerdas.

Sop Bebek
Nasrudin dikunjungi seorang teman yang membawa se­ekor bebek. Maka Nasrudin pun memasak sop bebek dan me­nyantapnya berdua. Sekitar sejam setelah temannya pulang, datanglah seorang yang sama sekali tidak dikenal Nasrudin. Orang itu berkata, ”Aku adalah teman dari teman yang mem­bawa bebek tadi.” Memang masih ada sisa sop bebek itu, namun hanya sedikit sekali. Cepat-cepat Nasrudin menambah air lalu menyajikannya.

Sejam kemudian datang lagi seorang yang tidak dikenal dan berkata, ”Aku adalah teman dari teman dari teman yang membawa bebek.” Nasrudin bingung. Sisa kuah sop itu sudah tinggal sedikit sekali. Maka Nasrudin menambah lagi air lalu menyajikan­nya.

Baru saja orang itu mencicip ujung sendok, ia mem­bentak, ”Sop apa ini?” De­ngan tenang Nasrudin menjawab, ”Ini adalah sop bebek dari sop bebek dari sop bebek.”

Pada kesempatan lain Nasrudin sedang berjalan ke kota. Beberapa anak nakal ingin memperdaya dia dan mencuri sandalnya. Mereka berpura-pura meminta Nasrudin meng­ajar mereka memanjat pohon. Nasrudin pun melepaskan sandal, memasukkan sandalnya ke dalam saku, lalu mulai memanjat pohon.

Anak-anak menjadi bengong dan berteriak, ”Kenapa sandalnya dibawa?” Nasrudin menjawab, ”Barang­kali di puncak pohon ada jalan. Aku ingin belajar berjalan di situ.”

Panci Hamil?
Pada suatu hari Nasrudin meminjam sebuah panci besar dari tetangga yang terkenal licik dan serakah. Ketika ia me­ngembalikan panci itu, dimasukkannya sebuah panci baru yang kecil. Ia berkata, ”Pancimu ternyata hamil dan semalam melahirkan anak.” Tanpa mengucapkan apa-apa tetangga itu meng­ambil kedua panci itu. 

Seminggu ke­mudian Nasrudin meminjam lagi panci besar itu. Esok harinya ketika tetangga itu menagih, Nasrudin berkata, ”Pancimu semalam telah me­ninggal dunia.” Tetangga itu marah, ”Mustahil, mana ada panci meninggal dunia!” Nasrudin menjawab, ”Ketika panci­mu hamil dan melahir­kan, kamu tidak bilang apa-apa; seka­rang pancimu me­ninggal dunia kamu bilang mustahil.”

Siapa Nasrudin? Konon ia adalah seorang sufi di Turki pada abad ke-14. Ada ratusan anekdot tentang Nasrudin yang merupakan paduan humor dan satire (gaya sastra sindiran). Dalam bahasa Inggris saja, ada hampir seratus buku yang berisi koleksi dan analisis cerita Nasrudin.

Tiap anekdot Nasrudin menyimpan sebuah kebenaran. Kebenaran itu sering kali menusuk, namun dikemas sedemi­kian rupa sehingga pembaca tidak menjadi gusar, melain­kan tertawa bahkan menertawakan diri sendiri.

Transporter Kebenaran
Bagaimana dengan karakter Nasrudin? Ia digambarkan se­bagai seorang yang meyakini suatu keyakinan yang jelas. Cara meyakininya itu selalu bersifat lugu, artinya wajar dan apa adanya. Dengan demikian keyakinannya terungkap de­ngan sederhana, singkat-padat dan jelas.

Bukankah begitu sebetulnya hakikat sebuah kesaksian? Kita bersaksi tentang apa yang telah dan tengah diperbuat Allah dalam Kristus. Kita bersaksi tentang sebuah kebenaran yang bernama Kristus. Kita bukan pemilik kebenaran itu. Kita hanyalah ”anekdot” yang mengangkut atau mentrans­portasi kebenaran itu.

Supaya kebenaran itu tiba di alamat dengan jitu, ”anek­dot”-nya harus jitu pula. Nasrudin menjadi anekdot yang jitu karena sifatnya yang lugu, yaitu wajar dan apa adanya. Ia tidak dibuat-buat dan tidak membuat-buat.

Ketika Tuhan Yesus menyapa persoalan tentang sumpah seorang saksi kebenaran, ia menegaskan bahwa yang penting bukanlah sumpahnya, melainkan kebenarannya. Ia berkata, ”Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak …” (Mat. 5:37).

Apa faedahnya ber­sumpah demi ini atau demi itu, kalau kesaksiannya tidak benar? Yang perlu adalah bahwa kesaksian kita sungguh-sungguh benar. Kristus tidak merasa perlu diperindah, di­perbesar dan diperhebat dalam kesaksian kita. Apa adanya saja. Wajar saja. Lugu saja. Justru kesaksian yang lugu bisa menjadi kesaksian yang ampuh.

Keselarasan dalam Ke­majemukan
Keluguan itu pula yang membuat pesan kebenaran Nasrudin menjadi ampuh. Coba simak anekdot ini. Nasrudin sedang berdiri di depan pasar yang ramai dengan orang berlalu-lalang. Temannya bertanya, ”Mengapa tidak diatur saja berjalan ke satu arah yang sama?”

Nasrudin menjawab, ”Kalau semua orang berjalan ke arah yang sama, dunia ini akan miring dan berat sebelah.” Kebenaran apa yang ter­sembunyi di balik anekdot ini? Bahwa keselarasan tercipta bukan melalui penyeragaman, melainkan justru melalui ke­majemukan.

Menolong Orang Kikir
Anda ingin mendengar lagi cerita Nasrudin? Tidak mung­kin semua diceritakan di sini. Tetapi tambahan satu lagi boleh saja. Ini dia.

Nasrudin sedang duduk di tepi danau. Tiba-tiba ada orang tenggelam dan berteriak, ”Tolong, tolong!” Langsung orang-orang berteriak, ”Berikan tanganmu!” Tetapi orang itu tidak mau mengulurkan tangannya.

Lalu Nasrudin mendekat dan berteriak, ”Ambil tanganku!” Ketika itu juga orang tadi me­raih dan memegang erat tangan Nasrudin. Semua orang heran dan bertanya, ”Nasrudin, mengapa dia tidak mau menanggapi teriakan kami?” Nasrudin menjawab, ”Orang ini ter­kenal kikir. Ia tidak mau memberi, ia hanya mau mengambil.”

Merebus Benih
Apa? Anda mau satu lagi? Baiklah. Anggap saja ini bonus. Tetapi ini yang terakhir. Ada seorang pemuda makan sebutir telur rebus di warung. Sesudah makan ia pergi tanpa membayar. Setahun kemudian ia kembali lagi untuk mem­bayar. Tetapi pemilik warung berkata, ”Memang uangmu ini pas untuk sebutir telur rebus. Tetapi kamu harus bayar se­ratus kali lipat, sebab dalam waktu setahun telur itu bisa menetas menjadi ayam dan ayam itu bertelur dan telur itu menjadi ayam lagi!”

Pemuda itu tidak bisa menerima alasan tersebut. Dibawalah persoalan ini ke pengadilan. Lalu peng­adilan memanggil Nasrudin untuk memberi kesaksian. Lama sekali Nasrudin ditunggu, ia sangat terlambat. Hakim pun menegur, ”Nasrudin, mengapa kamu terlambat?”

Nasrudin menjawab, ”Maaf, Tuan Hakim, aku terlambat karena aku sedang merebus benih gandum untuk ditanam.” Hakim itu langsung menegur, ”Aneh betul, masakan benih gandum yang sudah direbus bisa ditanam dan menghasilkan gan­dum?” Nasrudin menjawab, ”Memang aneh, sama aneh­nya dengan sebutir telur yang sudah direbus tetapi bisa menetas menjadi ayam.”

Mimpi Terindah
Nah, itu cerita yang terakhir. Lain kali diteruskan. Apa? Anda minta ekstra lagi? Wah, rupanya Anda sudah ketagihan cerita Nasrudin. Kalau begitu baiklah. Tetapi ini betul-betul yang terakhir.

Nasrudin melakukan perjalanan bersama dua orang ka­wan. Ia lapar dan ingin membagi roti satu-satunya yang di­milikinya. Tetapi kedua teman yang belum lapar itu licik dan ber­kata, ”Besok sajalah! Malam ini kita langsung tidur. Barang­siapa yang mimpinya paling bagus, dia boleh makan roti ini.”

Keesokan harinya seorang teman berkata, ”Mimpiku sangat bagus. Aku melihat nabi.” Temannya yang lain ber­kata, ”Mimpiku lebih bagus lagi. Aku melihat Tuhan.” Sekarang giliran Nasrudin.

Dengan suara perlahan dan kepala me­nunduk Nasrudin berkata, ”Aku tidak melihat nabi dan juga tidak melihat Tuhan. Yang kulihat adalah istriku. Ia me­nyuruh aku memakan roti itu. Lalu aku segera bangun dan langsung memakan roti itu. Sekarang roti itu sudah habis.” (Andar Ismail)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar