Menjadi Sesama bagi Orang Lain
Bacaan:
Amos
7:7-17; Mazmur 82; Kolose 1:1-14; Lukas 10:25-37
Pernyataan
”Siapakah sesamaku manusia” di ayat 29 sebenarnya muncul dari ungkapan salah
seorang ahli Taurat untuk membenarkan diri di hadapan Yesus. Tetapi Yesus
tidak memberi jawaban langsung. Dia justru memberi perumpamaan tentang seorang laki-laki Yahudi
dalam perjalanan dari Yerusalem ke Yerikho yang dirampok, dianiaya, dan dibiarkan
tergeletak di jalan. Saat seorang imam lewat di jalan itu, ia hanya melihat dan
tidak menolong.
Demikian pula ketika seorang Lewi lewat. Ia hanya
melihat orang malang itu dan tidak berbuat sesuatu. Tak lama kemudian,
datanglah seorang Samaria yang juga melewati jalan itu. Saat ia melihat pria
Yahudi yang malang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Karena itu, ia
segera membalut luka-luka pria Yahudi tersebut. Ia mengolesinya dengan minyak,
kemudian membawanya ke tempat penginapan agar memperoleh pengobatan dan
perawatan yang lebih baik. Sebelum melanjutkan perjalanannya, ia menyerahkan
uang dua dinar kepada pemilik penginapan sambil berkata, ”Rawatlah dia dan
jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali”
(ay. 35).
Saat kita membaca dan merenungkan kisah perumpamaan Yesus tersebut, sering
timbul sikap tidak simpati pada tindakan imam dan orang Lewi, dan di lain
pihak timbul sikap simpati kita terhadap orang Samaria yang murah hati itu.
Padahal dalam praktik hidup sehari-hari termasuk dalam hidup berjemaat,
kita justru sering mempraktikkan tindakan imam dan orang Lewi itu. Bukankah
pola spiritualitas kita cenderung menganut ”ideologi” ahli
Taurat yang bertanya kepada Yesus, ”Siapakah sesamaku manusia?” Pertanyaan
itu sebenarnya mengandung pengklasifikasian manusia, yaitu siapakah yang
termasuk sesamaku, dan siapa yang tidak. Bagi orang Kristen, sesamaku sering
dimengerti sebagai tiap-tiap orang Kristen khususnya mereka yang satu gereja
atau sedenominasi dengan kita.
Jadi, arti ”sesama” di sini dipakai untuk menunjuk orang yang berada
dalam lingkup agama, kepercayaan, keyakinan, atau etnis yang sama. Sedangkan
mereka yang tidak seagama, seiman, satu kepercayaan dan keyakinan, bahkan
mereka yang berbeda suku dan etnis tidak dianggap sebagai sesama. Dampak
pemikiran ini adalah sikap primordialisme, yang cenderung hanya
mengagung-agungkan agama dan kepercayaan, menonjolkan superioritas aliran
dan denominasi, serta dukungan yang membabi buta terhadap suku dan etnis kita
sendiri. Paham kita sering kali: Right, or wrong this is ... (my religion/my
tribe/my nation/my country).
MENEMBUS BATAS
Jadi pertanyaan ahli Taurat, ”Siapakah sesamaku manusia” merupakan
benih-benih dari sikap yang primordialisme dan paham eksklusivisme yang hanya
memilah-milah manusia, berdasarkan kriteria agama, kepercayaan, keyakinan,
suku, etnis, ekonomi atau politis. Dalam perumpamaan-Nya, di Lukas 10:30-37,
Yesus menunjukkan bahwa orang Samaria itu justru mampu menjadi
sesama bagi musuhnya. Orang Samaria tersebut tidak terjebak dalam sikap eksklusif
dan primordialistik. Kemurahan hatinya mengalir jernih menembus batas-batas
kesukuan, etnis, dan agama serta kondisi permusuhan yang kronis. Yang sangat
mengherankan justru sikap dari imam dan orang Lewi.
Walaupun mereka satu etnis dan seagama dengan pria Yahudi yang malang
itu, ternyata mereka sama sekali tidak tergerak oleh belas kasihan dan tidak
melakukan tindakan apa pun untuk memberi pertolongan. Bagi imam dan orang
Lewi makna dari sesamanya mungkin hanya mereka yang ”selevel” atau ”satu
status” dan ”satu kedudukan” dengan mereka. Sebaliknya, orang yang tidak
mempunyai kedudukan sosial yang sama, walaupun satu etnis dan satu agama
dengan mereka, tetap tidak dianggap sebagai sesama.
Betapa sering pola pembedaan atau klasifikasi yang mendiskriminasi
manusia terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita gagal untuk menegakkan
prinsip belas kasihan yang universal dan sikap yang adil. Kita hanya berbelas
kasihan pada orang tertentu, dan bersikap kejam kepada yang lain. Kita
bersikap adil terhadap kelompok kita sendiri, tetapi tidak adil kepada kelompok
yang lain.
Mazmur 82 melukiskan suasana persidangan ilahi, yaitu pantheon yang
menyatakan Allah sebagai Tuhan berdiri di antara para ilah; dan Allah kemudian
menghakimi para ilah tersebut, ”Berapa lama lagi kamu menghakimi dengan lalim
dan memihak kepada orang fasik?” Dalam persidangan ilahi tersebut, para ilah
dihakimi Allah sebab mereka telah menghakimi dengan sikap yang lalim dan
mereka ternyata justru memihak orang fasik. Kesaksian Alkitab tidak menyangkal
eksistensi dari para ilah, yaitu para dewa sebagai ”anak-anak Yang Mahatinggi”
(ay. 6). Tetapi di pihak lain ditegaskan bahwa ”para ilah seperti manusia akan
mati, dan seperti salah seorang pembesar mereka juga akan tewas” (ay. 7).
Dalam pemikiran Alkitab para ilah tidak bersifat kekal, mereka semua
akan mati. Jadi hanya Allah saja yang kekal, mulia, dan benar. Itu sebabnya,
para ilah dapat menghakimi dengan lalim dan memihak kepada orang fasik. Padahal
yang dikehendaki Allah adalah agar tiap makhluk senantiasa bertindak adil dan
benar, serta tidak membedakan-bedakan makhluk lainnya secara tidak adil atau
bertindak secara diskriminatif. Di ayat 3-4, Allah berfirman, ”Berilah keadilan
kepada orang yang lemah dan kepada anak yatim, belalah hak orang sengsara dan
orang yang kekurangan! Luputkanlah orang yang lemah dan yang miskin,
lepaskanlah mereka dari tangan orang fasik!” Dengan demikian, Allah adalah
Tuhan yang membenci tiap sikap primordialistik dan eksklusif, yang
memilah-milah manusia secara diskriminatif dalam kategori buatannya sendiri.
Allah menghendaki tiap orang bersikap adil terhadap mereka yang lemah,
menolong yang kekurangan, dan peduli kepada tiap orang sengsara—siapa pun
mereka, walaupun secara faktual berbeda keyakinan, agama, aliran, suku dan
etnis, serta tingkat sosial dan politis. Dasar pemikiran teologisnya jelas,
yaitu bahwa Allah adalah yang memiliki segala bangsa. Dalam ayat 8 dikatakan,
”Bangunlah ya Allah, hakimilah bumi, sebab Engkaulah yang memiliki segala bangsa.”
Dengan demikian perumpamaan Yesus melalui Mazmur 82 sangat
integral. Dia memanggil tiap orang untuk memperlakukan sesamanya dengan
prinsip kasih dan keadilan tanpa mempersoalkan latar belakang, etnis, suku,
dan agama. Allah adalah Pencipta dan yang memiliki kehidupan semua manusia dan
makhluk. Karena itu, siapa pun yang memilah-milah manusia berdasarkan kategori
buatannya sendiri sehingga menghasilkan tindakan yang diskriminatif,
sewenang-wenang, dan yang tidak berbelas kasihan kepada sesamanya, ia telah
menjadi musuh Allah. Tindakan yang lalim, tidak adil, dan pilih kasih, serta
membenarkan tindakan orang yang fasik merupakan pola kerja dari para ”ilah”, bukan Allah.
Bagi tiap orang yang lemah, sengsara, anak yatim, dan kekurangan Allah sesungguhnya menjadi pembela dan penyelamat mereka. Jadi, makna mengikut Kristus berarti kita bersedia menjadi kawan sekerja Allah untuk membela tiap orang yang lemah, sengsara, tertindas, dan diperlakukan tidak adil. Dalam Kolose 1:9-11, Rasul Paulus mengungkapkan suatu konteks yang berbeda tetapi dengan pemahaman teologis serupa. Jadi, makna hidup yang layak dan berkenan di hadapan Allah adalah ketika kita hidup dengan memberi buah dalam segala pekerjaan baik dan bertumbuh dalam pengetahuan yang benar akan Allah.
Bagi tiap orang yang lemah, sengsara, anak yatim, dan kekurangan Allah sesungguhnya menjadi pembela dan penyelamat mereka. Jadi, makna mengikut Kristus berarti kita bersedia menjadi kawan sekerja Allah untuk membela tiap orang yang lemah, sengsara, tertindas, dan diperlakukan tidak adil. Dalam Kolose 1:9-11, Rasul Paulus mengungkapkan suatu konteks yang berbeda tetapi dengan pemahaman teologis serupa. Jadi, makna hidup yang layak dan berkenan di hadapan Allah adalah ketika kita hidup dengan memberi buah dalam segala pekerjaan baik dan bertumbuh dalam pengetahuan yang benar akan Allah.
Kristenisasi?
Karena itu
sebenarnya, tidaklah tepat jika makna pemberitaan Injil selalu dipahami
sebagai upaya ”kristenisasi” kepada sesama yang berbeda agama. Pemberitaan
Injil sebagai kabar baik justru harus dipahami sebagai manifestasi dari karya
keselamatan Allah yang telah terjadi dalam peristiwa hidup Kristus demi membebaskan
tiap orang yang tertindas oleh kuasa dosa, mereka yang tertawan oleh belenggu
nafsu, dan mereka yang terpenjara oleh sistem dari kuasa dunia.
Kini sebagai
aktualisasinya, peristiwa hidup Kristus yang membebaskan sesama yang
terpenjara dan terbelenggu kuasa dosa juga harus menjadi ”peristiwa hidup
kita sendiri”,—yang mana kita juga bersedia menjadi ”perpanjangan tangan”
dari Kristus untuk menolong sesama yang menderita. Jika demikian, bagaimanakah
peran kita sebagai jemaat Tuhan? Apakah di dalam hidup sehari-hari kita telah
berperan sebagai imam dan orang Lewi yang tidak mau peduli dengan sesama yang
menderita? Apakah kita hanya peduli terhadap orang tertentu yang kita kasihi,
tetapi bersikap dingin
dan tidak adil terhadap mereka yang kita anggap rendah?
Ataukah, kita mampu
bersikap seperti
orang Samaria yang memiliki kemurahan hati; yang kemurahan hatinya mampu
menembus batas-batas kesukuan, etnis, dan agama, serta kepentingan diri
sendiri? Karena itu, sikap yang benar sebagai orang Kristen, bukanlah ”Siapakah
sesamaku manusia?” melainkan ”Apakah kita bersedia menjadi sesama bagi tiap
orang yang lemah,
menderita, dan sengsara?” Amin. (Pdt.
Yohanes Bambang Mulyono, pendeta GKI Perniagaan, Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar