Kamis, 10 April 2014

Firman Hidup


Menjadi Sesama bagi Orang Lain

Bacaan:
Amos 7:7-17; Mazmur 82; Kolose 1:1-14; Lukas 10:25-37

Per­nyataan ”Siapakah sesamaku manusia” di ayat 29 sebenarnya muncul dari ungkapan salah seorang ahli Taurat untuk mem­be­narkan diri di hadapan Yesus. Tetapi Yesus tidak memberi jawaban langsung. Dia justru memberi  perumpamaan tentang seorang laki-laki Yahudi dalam per­ja­lanan dari Yerusalem ke Yerikho yang dirampok, dianiaya, dan di­­biarkan tergeletak di jalan. Saat seorang imam lewat di jalan itu, ia hanya melihat dan tidak menolong. 

Demikian pula ketika se­­orang Lewi lewat. Ia hanya melihat orang malang itu dan tidak berbuat sesuatu. Tak lama kemudian, datanglah seorang Samaria yang juga melewati jalan itu. Saat ia melihat pria Yahudi yang malang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Karena itu, ia segera membalut luka-luka pria Yahudi tersebut. Ia mengolesinya dengan minyak, kemudian membawanya ke tempat penginapan agar memperoleh pengobatan dan perawatan yang lebih baik. Sebelum melanjutkan perjalanannya, ia menyerahkan uang dua dinar kepada pemilik pe­nginapan sambil berkata, ”Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan le­bih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali” (ay. 35).

Saat kita membaca dan merenungkan kisah pe­rum­pamaan Yesus tersebut, sering timbul sikap tidak simpati pada tin­­­dakan imam dan orang Lewi, dan di lain pihak timbul si­kap sim­pati ki­ta terhadap orang Samaria yang murah hati itu. Pa­da­­­­hal da­lam praktik hidup sehari-hari termasuk dalam hidup ber­­­­je­­maat, kita justru sering mempraktikkan tindakan imam dan orang Lewi itu. Bukankah pola spiritualitas kita cenderung menganut ”ideologi” ahli Taurat yang bertanya kepada Yesus, ”Siapakah sesamaku ma­nu­sia?” Pertanyaan itu sebenarnya mengandung pengkla­si­fi­kasian ma­nusia, yaitu siapakah yang termasuk sesamaku, dan siapa yang tidak. Bagi orang Kristen, se­samaku sering dimengerti sebagai ti­ap-tiap orang Kristen khususnya mereka yang satu gereja atau sedenominasi de­ngan kita.

Jadi, arti ”sesama” di sini dipakai untuk menunjuk orang yang ber­ada dalam lingkup agama, kepercayaan, keyakinan, atau etnis yang sama. Sedangkan mereka yang tidak seagama, seiman, satu ke­percayaan dan keyakinan, bahkan mereka yang berbeda suku dan etnis tidak dianggap sebagai sesama. Dampak pemikiran ini ada­lah sikap primordialisme, yang cenderung hanya mengagung-agungkan agama dan kepercayaan, menonjolkan superioritas alir­­­an dan denominasi, serta dukungan yang membabi buta ter­hadap suku dan etnis kita sendiri. Paham kita sering kali: Right, or wrong this is ... (my religion/my tribe/my nation/my country).

MENEMBUS BATAS
Jadi pertanyaan ahli Taurat, ”Siapakah sesamaku manu­sia” merupakan benih-benih dari sikap yang primordialisme dan paham eksklusivisme yang hanya memilah-milah manusia, ber­da­sarkan kri­te­­ria agama, kepercayaan, keyakinan, suku, etnis, ekonomi atau po­litis. Dalam perumpamaan-Nya, di Lukas 10:30-37, Yesus menunjukkan bahwa orang Samaria itu justru mampu menjadi sesama bagi musuhnya. Orang Samaria tersebut tidak terjebak dalam sikap eks­klusif dan primordialistik. Kemurahan hatinya mengalir jernih menembus batas-batas kesukuan, etnis, dan agama serta kondisi permusuhan yang kronis. Yang sangat mengherankan justru sikap dari imam dan orang Lewi.

Walaupun mereka satu etnis dan seagama dengan pria Yahudi yang malang itu, ternyata mereka sama sekali tidak tergerak oleh belas kasih­an dan tidak melakukan tindakan apa pun untuk memberi per­to­­longan. Bagi imam dan orang Lewi makna dari sesamanya mung­­­kin hanya me­reka yang ”selevel” atau ”satu sta­tus” dan ”sa­tu ke­­du­dukan” dengan me­­­reka. Sebaliknya, orang yang tidak mem­­pu­­nyai kedudukan sosial yang sama, walaupun satu etnis dan sa­tu agama dengan mereka, tetap tidak di­­anggap sebagai sesama.

Be­tapa sering pola pembedaan atau kla­sifikasi yang men­dis­kri­mi­na­si manusia terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita gagal un­tuk menegakkan prinsip belas kasihan yang universal dan sikap yang adil. Kita hanya berbelas kasihan pada orang ter­tentu, dan ber­sikap kejam kepada yang lain. Kita bersikap a­dil terhadap ke­lom­­pok kita sendiri, tetapi tidak adil kepada ke­lompok yang lain.

Mazmur 82 melukiskan suasana persidangan ilahi, ya­itu pantheon yang menyatakan Allah sebagai Tuhan berdiri di an­tara para ilah; dan Allah kemudian menghakimi para ilah ter­se­but, ”Berapa lama lagi kamu menghakimi dengan lalim dan me­mihak kepada orang fasik?” Dalam persidangan ilahi tersebut, para ilah di­hakimi Allah sebab mereka telah menghakimi dengan sikap yang lalim dan mereka ternyata justru memihak orang fasik. Kesaksian Alkitab ti­dak menyangkal eksistensi dari para ilah, yaitu para dewa sebagai ”anak-anak Yang Mahatinggi” (ay. 6). Tetapi di pihak lain ditegaskan bahwa ”para ilah seperti manusia akan mati, dan seperti salah seorang pembesar mereka juga akan tewas” (ay. 7).

Dalam pemikiran Alkitab para ilah tidak bersifat kekal, mereka semua akan mati. Jadi hanya Allah saja yang kekal, mulia, dan benar. Itu sebabnya, para ilah dapat menghakimi dengan lalim dan memihak kepada orang fasik. Padahal yang dikehendaki Allah adalah agar tiap makhluk senantiasa bertindak adil dan benar, serta tidak membedakan-bedakan makhluk lain­nya secara tidak adil atau bertindak secara diskriminatif. Di ayat 3-4, Allah berfirman, ”Berilah keadilan kepada orang yang le­mah dan kepada anak yatim, belalah hak orang sengsara dan orang yang kekurangan! Luputkanlah orang yang lemah dan yang miskin, lepaskanlah mereka dari tangan orang fasik!” Dengan demikian, Allah adalah Tuhan yang membenci tiap sikap primordialistik dan eksklusif, yang memilah-milah manusia secara diskriminatif da­lam kategori buatannya sendiri. Allah menghendaki tiap orang bersikap adil ter­hadap mereka yang lemah, menolong yang kekurangan, dan pe­duli kepada tiap orang sengsara—siapa pun mereka, walaupun secara faktual berbeda keyakinan, agama, aliran, suku dan etnis, serta tingkat sosial dan politis. Dasar pemikiran teologisnya jelas, yaitu bahwa Allah adalah yang memiliki segala bangsa. Dalam ayat 8 dikatakan, ”Bangunlah ya Allah, hakimilah bumi, sebab Engkaulah yang memiliki segala bangsa.”    

Dengan demikian perumpamaan Yesus melalui Maz­­mur 82 sangat integral. Dia memanggil tiap orang untuk mem­per­lakukan sesamanya dengan prinsip kasih dan keadilan tanpa mem­­persoalkan latar belakang, etnis, suku, dan agama. Allah ada­lah Pencipta dan yang memiliki kehidupan semua manusia dan makh­luk. Karena itu, siapa pun yang memilah-mi­lah manusia ber­­­­­dasarkan ka­te­gori buatannya sendiri sehingga menghasilkan tin­­dakan yang dis­kri­minatif, sewenang-wenang, dan yang tidak ber­­­­belas kasihan kepada sesamanya, ia telah menjadi musuh Allah. Tindakan yang lalim, tidak adil, dan pilih kasih, serta mem­be­narkan tindakan orang yang fasik merupakan pola kerja dari para ”ilah”, bukan Allah. 

Bagi tiap orang yang lemah, sengsara, anak yatim, dan kekurangan Allah se­sungguhnya menjadi pembela dan penyelamat mereka. Jadi, makna mengikut Kristus berarti kita bersedia menjadi kawan se­kerja Allah untuk membela tiap orang yang lemah, sengsara, ter­­tindas, dan diperlakukan tidak adil. Dalam Kolose 1:9-11, Rasul Paulus mengungkapkan suatu konteks yang berbeda tetapi dengan pe­mahaman teologis serupa. Jadi, makna hidup yang layak dan berkenan di hadapan Allah adalah ketika kita hidup dengan memberi buah dalam segala pekerjaan baik dan bertumbuh dalam pengetahuan yang benar akan Allah.

Kristenisasi?
Karena itu sebenarnya, tidaklah tepat jika makna pembe­ri­taan Injil selalu dipahami sebagai upaya ”kristenisasi” kepada se­sama yang berbeda agama. Pemberitaan Injil sebagai kabar baik jus­tru harus dipahami sebagai manifestasi dari karya keselamatan Allah yang telah terjadi dalam peristiwa hidup Kristus demi mem­bebaskan tiap orang yang tertindas oleh kuasa dosa, mereka yang tertawan oleh belenggu nafsu, dan mereka yang terpenjara oleh sistem dari kuasa dunia.

Kini sebagai aktualisasinya, peristiwa hi­dup Kristus yang membebaskan sesama yang terpenjara dan ter­be­lenggu kuasa dosa juga harus menjadi ”peristiwa hidup kita sen­diri”,—yang mana kita juga bersedia menjadi ”perpanjangan ta­ngan” dari Kristus untuk menolong sesama yang men­derita. Jika demikian, bagaimanakah peran kita sebagai jemaat Tuhan? Apa­kah di dalam hidup sehari-hari kita telah berperan sebagai imam dan orang Lewi yang tidak mau peduli dengan sesama yang menderita? Apakah kita hanya peduli terhadap orang tertentu yang kita kasihi, tetapi bersikap dingin dan tidak adil terhadap mereka yang kita anggap rendah? 
Ataukah, kita mampu bersikap seperti orang Samaria yang memiliki kemurahan hati; yang ke­mu­rahan hatinya mampu menembus batas-batas kesukuan, et­nis, dan agama, serta ke­pentingan diri sendiri? Karena itu, sikap yang benar sebagai orang Kristen, bukanlah ”Siapakah sesamaku ma­nusia?” melainkan ”Apakah kita bersedia menjadi sesama bagi tiap orang yang lemah, men­derita, dan sengsara?” Amin. (Pdt. Yohanes Bambang Mulyono, pendeta GKI Perniagaan, Jakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar