BERSAMA WUJUDKAN INDONESIA YANG LEBIH BAIK
Oleh: Paulus Winarto
Jika seseorang
ingin mencapai prestasi besar dan berguna bagi orang banyak serta dikenang
melampaui usia hidupnya di dunia, maka ia harus bisa bekerja sama dengan orang
lain.(Paulus Winarto)
Siapa yang tidak mau melihat negeri ini
semakin baik dari hari ke hari? Siapa yang tidak mau agar suatu hari nanti bumi
pertiwi ini benar-benar bebas dari KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme)? Siapa
yang tidak akan turut bahagia jika di masa tuanya nanti bisa melihat anak
cucunya tinggal di Tanah Air yang penuh kedamaian, adil, makmur, dan sejahtera?
Ah, saya mungkin sedang bermimpi. Tapi bukan
mimpi di siang bolong. Saya bermimpi dengan iman bahwa ketika Indonesia merayakan
HUT kemerdekaan ke-100, wajah negeri ini akan berubah drastis dibandingkan
hari-hari ini. Angka
pengangguran dan angka kriminal yang kecil, rakyat hidup tanpa rasa was-was
karena negara bisa memberikan rasa aman, partisipasi rakyat yang tinggi atas
berbagai proses demokrasi demi kemajuan bangsa dan negara, penegakan hukum yang
benar, hadirnya para pemimpin di berbagai tempat yang sungguh punya hati
melayani, dan seterusnya.
Mimpi yang sungguh indah. Oh, seandainya saja
saya masih hidup pada tahun itu (saya lahir 17 Agustus 1975) tentu ada perasaan
bangga dan bahagia yang luar biasa. Hati ini akan berlimpah rasa syukur kepada
Tuhan melihat proses transformasi negeri yang membuahkan hasil spektakuler.
Namun kemudian timbul satu pertanyaan menggelitik
dari hati sanubari saya sendiri, “Paulus sudah berbuat apa agar Indonesia jadi
lebih baik?” Ya Tuhan, ampunilah saya kalau kerap kali saya hanya berharap agar
orang lain, situasi maupun keadaan menjadi lebih baik tanpa saya sendiri mau
berbuat apa-apa. Sungguh ini sebuah kekonyolan!
Terlintas di pikiran sebuah nasihat bijak
kuno: daripada memaki kegelapan, lebih baik Anda menyalakan lilin demi
menerangi diri Anda dan orang di sekitar Anda. Lalu tergiang di telinga
wejangan dari Sang Guru: kamu adalah terang dunia! Oh, my God!
Dalam, kepemimpinan dikenal istilah self
leadership yang artinya kemampuan untuk memimpin diri sendiri. Ya,
bagaimana mungkin kita bisa memimpin orang lain dengan baik jika kita tidak
bisa memimpin diri sendiri dengan baik? Itulah sebabnya, selain menjadi
teladan, seorang pemimpin terkadang harus bisa menjadi agen perubahan. Persis
seperti yang ditegaskan Mahatma Gandhi, “Be the change you wish to see in the world.”
Membangun Jembatan Relasi
Rindu melihat keadaan menjadi lebih baik
adalah satu hal. Berbuat sesuatu agar keadaan menjadi lebih baik adalah hal
lain lagi. Dengan kata lain, kerinduan, niat baik atau apa pun namanya tidak
serta merta akan menjadikan keadaan lebih baik. Bahkan terkadang, doa pun tidak
cukup. Itulah sebabnya kita harus melakukan bagian kita dan biarkanlah Tuhan
melakukan bagian-Nya.
Nah, dalam rangka melakukan bagian kita, ada
satu kesadaran yang sangat perlu dibangun: jika ingin mencapai sesuatu yang
besar, kita tidak mungkin bekerja sendiri. Jika seseorang tidak bisa bekerja
sama dengan orang lain atau bekerja melalui orang lain, tentu hasil yang
diperoleh akan sangat terbatas. Bahkan tidak tertutup kemungkinan, semua
perjuangannya akan berakhir pada saat ia dimakamkan. Begitu mati, visinya pun
ikut mati. Mirip kutipan syair sebuah lagu Naif: bila ku mati kau juga mati.
Saya pun teringat nasihat bijak dari King
Solomon: “Berdua lebih baik dari pada seorang diri, karena mereka menerima upah
yang baik dalam jerih payah mereka. Karena kalau mereka jatuh, yang seorang
mengangkat temannya, tetapi wai orang yang jatuh, yang tidak mempunyai orang
lain untuk mengangkatnya!”. Yes, two are better than one; because they have
a good reward for their labour. For if they fall, the one will lift up his
fellow: but woe to him that is alone when he falleth; for he hath not another
to help him up. Saya langsung teringat, bahkan Yesus Kristus pun punya 12
murid yang ikut bekerja bersama-Nya, meski kemudian satu menjadi pengkhianat.
Masalahnya, sebuah kemitraan, sinergi atau
kerja sama hanya bisa terbangun dengan baik manakala orang-orang yang terlibat di
dalamnya mau memerdekakan diri dari sekat-sekat yang ada. Entah itu sekat suku,
ras, agama, golongan kelas sosial, dan sebagainya. Ini memang tidak mudah,
apalagi manusia cenderung lebih suka berada bersama orang yang memiliki
kesamaan.
Sharing Pengalaman
Saya benar-benar bersyukur diberi kesempatan
oleh Tuhan bisa berkarya di berbagai komunitas di luar keyakinan agama saya
sebagai pengikut Kristus. Bertahun-tahun saya menjadi pengajar di sebuah Pondok
Pesantren di Bandung. Dari sana,
saya juga belajar menghargai sesama saudara kita yang Muslim. Yang baru tahu
kalau suara adzan sedang berkumandang, kita harus menghentikan kegiatan untuk
sementara waktu. Saya belajar juga memahami mereka agar tidak salah dalam
bertingkah laku, seperti menghindari makan atau minum di depan mereka saat
bulan puasa.
Saya juga bersyukur pernah diberi kesempatan
beberapa kali mengajar di vihara. Setidaknya selama berada di sana, saya dengan penuh sukacita menyesuaikan
diri menjadi vegetarian. Alangkah indahnya hidup ini jika kita bisa memahami
dan menghormati orang lain sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan. Bukankah Tuhan
mencintai semua orang? Jangan-jangan selama ini kita dihinggapi kesombongan
rohani tanpa kita sadari sehingga kita merasa lebih suci, keyakinan kita lebih
luar biasa dari orang lain, sehingga kita cenderung membangun tembok relasi
daripada jembatan relasi.
Prinsip
Dasar Berelasi
Anda boleh tidak setuju dengan pendapat saya.
Toh, ini hanya pendapat pribadi. Ada
2 prinsip yang selalu saya gunakan ketika berhubungan dan berada di tengah
komunitas yang mayoritas berbeda dalam hal tertentu dengan saya. Perkenanlah
saya membagikan prinsip itu:
- Prinsip Aturan Emas (Golden Rule).
Prinsip
ini berbunyi: segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu,
perbuatlah demikian juga kepada mereka (whatever you want men to do to you,
do also to them). Prinsip ini saya pelajari dari Yesus Kristus. Prinsip ini
mengajarkan agar kita yang terlebih dahulu mengambil inisiatif. Kita harus
bertindak dulu. Jika ingin dihormati, kita harus belajar menghormati. Jika
ingin orang lain jujur kepada kita, kita harus terlebih dahulu jujur kepada
orang lain. Jika kita ingin dimengerti, belajarlah untuk mengerti orang lain
terlebih dahulu.
- Prinsip 101.
Prinsip ini berbunyi:
temukan 1 persen yang kita sepakati dan curahkanlah 100 persen usaha kita pada
hal tersebut (find the 1 percent we agree
on and give it 100 percent of our effort). Saya
mempelajari prinsip ini dari mentor saya, John C. Maxwell. Satu persen itu
barangkali berupa kita sama-sama sepakat serta menjunjung tinggi ajaran cinta
kasih. Kita sama-sama ingin Indonesia
menjadi lebih baik, dst. Artinya, kesamaan ini menjadi fokus utama dalam tahap
awal membangun relasi. Lebih lanjut mengenai Prinsip 101, Anda dapat membacanya
dalam buku Maxwell berjudul Winning With People.
Terakhir, saya ingin menyampaikan sesuatu
dari hati saya yang terdalam. Jika Anda dan saya ingin berbuat sesuatu yang
baik bagi kemajuan bangsa ini, mulailah berbuat sesuatu dan mulailah membangun
kerja sama dengan sesama. Start small but don’t start alone!.
Kursus Singkat Hubungan Antar Manusia
Kata
yang paling tidak penting: Saya.
Kata
yang paling penting: Kita.
Dua
kata yang paling penting: Terima kasih.
Tiga
kata yang paling penting: Semua sudah dimaafkan.
Empat
kata yang paling penting: Bagaimana menurut pendapat Anda?
Lima kata yang paling penting: Anda telah melakukan
pekerjaan hebat.
Enam
kata yang paling penting: Saya ingin lebih memahami diri Anda.
-
Anonim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar