Senin, 14 April 2014

Konsultasi Teologi




VOX POPULI, VOX DEI?


Bapak Pendeta Joas yang bijak,

Atas nama demokrasi, orang banyak lantas mengatasnamakan suara mereka sebagai suara Tuhan. Vox populi, vox Dei, istilah ini yang sering dijadikan pembenar. Akibatnya, belakangan ini di Negara kita (sering) terjadi tindak kekerasan dan diskriminasi terhadap kaum minoritas.

Bagaimana pendapat Bpk Pdt. Joas mengenai adagium vox populi, vox Dei ini?
Mohon pencerahannya. Terima kasih.

(Adrian, Bogor)

Saudara Adrian,

Vox populi, vox Dei adalah ungkapan bahasa Latin yang berarti “suara rakyat adalah suara Allah.” Memang ungkapan ini kerap dipergunakan untuk memperjuangkan demokrasi, sebab diyakini bahwa kehendak rakyat mencerminkan kehendak Allah sendiri. Namun, kita perlu berhati-hati. Di satu sisi, memang, kita perlu mendengar apa yang dikatakan oleh rakyat banyak. Akan tetapi, di sisi lain, sangat sukar bagi kita untuk memastikan siapa yang dimaksudkan dengan “rakyat banyak,” apalagi jika kita berbicara soal masyarakat yang sudah sangat majemuk. Belum lagi jika kemudian ungkapan ini dimanipulasi oleh mayoritas (dan karena itu dapat disebut “rakyat banyak”) untuk menekan kelompok-kelompok minoritas. Banyak contoh yang dapat kita peroleh dengan mudah di negeri kita.

Tak seorang dapat memastikan siapa yang pertama kali memunculkan ungkapan ini, namun catatan tertua diperoleh dari tulisan Santo Alcuin (tahun 735-804) yang menulis, “Nec audiendi qui solent dicere, Vox populi, vox Dei, quum tumultuositas vulgi semper insaniae proxima sit.” Artinya kurang lebih: Jangan mendengarkan mereka yang terus berkata, “Suara rakyat adalah suara Allah” (vox populi, vox Dei), sebab suara ribut kerumunan masa selalu dekat dengan kegilaan. Jadi ungkapan ini, jika benar dimunculkan oleh Santi Alcuin, justru ingin ditentang karena dampak kekacauan yang ditimbulkannya.

Di dalam Alkitab pun, kita menjumpai beberapa petunjuk yang penting. Misalnya, kita ingat bagaimana suara orang banyak berteriak, “Salibkan Dia!” (Lk. 23:21). Pada masa hakim-hakim di Israel, bahkan dikisahkan, “Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri” (Hak. 17:6). Jadi tidak jarang yang terjadi adalah vox populi, vox diaboli, “suara rakyat adalah suara si jahat.”

Iman Kristen, sebaliknya, sangat menekankan pentingnya menjaga sikap hidup yang “tidak serupa dengan dunia” (Rm. 12:2). Artinya, apa yang popular belum tentu benar. Roh kontemporer perlu diuji sedalam-dalamnya. Jika proses pengujian tersebut membawa kita pada kesimpulan bahwa kita harus mengambil sikap dan keputusan yang berlawanan dengan suara mayoritas, maka mungkin saja kita harus bersikap tak popular dan menantang arus masyarakat. Artinya, ada banyak saat di mana kita menjadi seperti Yohanes Pembaptis dengan suaranya yang berseru-seru di padang gurun (vox clamantis in deserto).

Namun, panggilan untuk menjadi tidak popular tidak boleh menggiring kita pada perilaku sektarian. Orang Kristen tetap dipanggil untuk memasuki kancah sosial dan berdialog dengan “suara rakyat” tersebut dan berusaha agar sungguh suara rakyat itu menjadi suara yang menyuarakan kebenaran. Dengan kata lain, percakapan publik di masyarakat harus diusahakan menjadi percakapan yang dialogis, rasional, dan bermanfaat untuk kebaikan bersama.

Semoga bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar