VOX
POPULI, VOX DEI?
Bapak Pendeta Joas yang
bijak,
Atas nama demokrasi, orang
banyak lantas mengatasnamakan suara mereka sebagai suara Tuhan. Vox populi, vox Dei, istilah ini yang sering dijadikan
pembenar. Akibatnya, belakangan ini di Negara kita (sering) terjadi tindak
kekerasan dan diskriminasi terhadap kaum minoritas.
Bagaimana pendapat Bpk Pdt.
Joas mengenai adagium vox populi, vox Dei ini?
Mohon pencerahannya. Terima
kasih.
(Adrian, Bogor)
Saudara Adrian,
Vox populi, vox Dei adalah ungkapan bahasa Latin yang berarti “suara
rakyat adalah suara Allah.” Memang ungkapan ini kerap dipergunakan untuk
memperjuangkan demokrasi, sebab diyakini bahwa kehendak rakyat mencerminkan
kehendak Allah sendiri. Namun, kita perlu berhati-hati. Di satu sisi, memang,
kita perlu mendengar apa yang dikatakan oleh rakyat banyak. Akan tetapi, di
sisi lain, sangat sukar bagi kita untuk memastikan siapa yang dimaksudkan
dengan “rakyat banyak,” apalagi jika kita berbicara soal masyarakat yang sudah
sangat majemuk. Belum lagi jika kemudian ungkapan ini dimanipulasi oleh
mayoritas (dan karena itu dapat disebut “rakyat banyak”) untuk menekan
kelompok-kelompok minoritas. Banyak contoh yang dapat kita peroleh dengan mudah
di negeri kita.
Tak seorang dapat
memastikan siapa yang pertama kali memunculkan ungkapan ini, namun catatan
tertua diperoleh dari tulisan Santo Alcuin (tahun 735-804) yang menulis, “Nec audiendi qui solent dicere, Vox populi,
vox Dei, quum tumultuositas vulgi semper insaniae proxima sit.” Artinya
kurang lebih: Jangan mendengarkan mereka yang terus berkata, “Suara rakyat
adalah suara Allah” (vox populi, vox Dei),
sebab suara ribut kerumunan masa selalu dekat dengan kegilaan. Jadi ungkapan
ini, jika benar dimunculkan oleh Santi Alcuin, justru ingin ditentang karena
dampak kekacauan yang ditimbulkannya.
Di dalam Alkitab pun,
kita menjumpai beberapa petunjuk yang penting. Misalnya, kita ingat bagaimana
suara orang banyak berteriak, “Salibkan Dia!” (Lk. 23:21). Pada masa
hakim-hakim di Israel, bahkan dikisahkan, “Pada zaman itu tidak ada raja di
antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya
sendiri” (Hak. 17:6). Jadi tidak jarang yang terjadi adalah vox populi, vox diaboli, “suara rakyat
adalah suara si jahat.”
Iman Kristen,
sebaliknya, sangat menekankan pentingnya menjaga sikap hidup yang “tidak serupa
dengan dunia” (Rm. 12:2). Artinya, apa yang popular belum tentu benar. Roh
kontemporer perlu diuji sedalam-dalamnya. Jika proses pengujian tersebut
membawa kita pada kesimpulan bahwa kita harus mengambil sikap dan keputusan
yang berlawanan dengan suara mayoritas, maka mungkin saja kita harus bersikap
tak popular dan menantang arus masyarakat. Artinya, ada banyak saat di mana
kita menjadi seperti Yohanes Pembaptis dengan suaranya yang berseru-seru di
padang gurun (vox clamantis in deserto).
Namun, panggilan untuk
menjadi tidak popular tidak boleh menggiring kita pada perilaku sektarian.
Orang Kristen tetap dipanggil untuk memasuki kancah sosial dan berdialog dengan
“suara rakyat” tersebut dan berusaha agar sungguh suara rakyat itu menjadi
suara yang menyuarakan kebenaran. Dengan kata lain, percakapan publik di
masyarakat harus diusahakan menjadi percakapan yang dialogis, rasional, dan
bermanfaat untuk kebaikan bersama.
Semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar