Selasa, 15 April 2014

Fokus



Akal-Akalan Memasung Kebebasan

Kepastian hukum untuk dapat mendirikan tempat ibadah yang berkorelasi langsung dengan kebebasan beribadah yang telah dijamin oleh UUD belakangan ini semakin menjadi masalah serius di sejumlah tempat di negeri kita yang tercinta ini.

Tanpa kepastian dan penegakan hokum, sebagus apapun produk hokum, hanya menjadi macan kertas. Bahkan, pidato dan pernyataan pejabat tinggi negara semacam menteri hingga presiden hanya sebatas retorika. Dua masalah di dua negara berikut ini dapat menjadi perenungan kita dalam menanggapi Rancangan Peraturan Presiden (Perpres)  tentang Kerukunan Umat Beragama (KUB) yang menjadi sorotan Majalah INSPIRASI bulan April ini.

Segregasi di Sekolah Little Rock Amerika
Little Rock High School, Arkansas, Amerika tahun 1957. Heboh terjadi gara-gara NAACP (National Association for the Advancement of Colored People), sebuah LSM pembela  hak-hak sipil warga kulit hitam mendaftarkan sembilan murid kulit hitam di Sekolah Little Rock yang  seluruh muridnya berkulit putih. Kepala sekolah setuju. Rencananya, 9 orang  murid itu akan mulai masuk pada musim gugur 1957.

NAACP berpegang pada “Brown v. Board of Education” yangdikeluarkan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat (AS) pada 1954 yang menyatakan menghapus praktik pembedaan orang karena warna kulitnya. Keputusan mahkamah ini menyatakan bahwa seluruh praktik segregasi di sekolah-sekolah AS tidak sah dan berlawanan dengan konstitusi. Seluruh sekolah diharuskan untuk mengintegrasikan murid-murid berkulit hitam dengan murid-murid kulit putih. De-segregasi juga diharuskan di tempat-tempat publik yang lain.

Rencana itu diprotes kelompok kulit putih yang pro segregasi. Mereka berdemo di depan sekolah dan menghalang-halangi  9 murid masuk ke gerbang sekolah. Ternyata Gubernur negara bagian Arkansas Orval Faubus mendukung mereka. Ia bahkan mengirimkan pasukan Garda Nasional dari Arkansas untuk membantu kaum kulit putih mencegah 9 murid hitam memasuki halaman sekolah.

Melihat tindakan gubernur Arkansas yang melawan keputusan Mahkamah Agung, Presiden Dwight D. Eisenhower turun tangan. Dia meminta Gubernur Faubus menemuinya secara pribadi, dan memerintahkan agar dia tak membangkang dari keputusan Mahkamah. Gubernur Faubus rupanya tak menggubris.

Presiden Eisenhower akhirnya mengirim pasukan Divisi Airborne 101 dari Angkatan Darat AS ke Arkansas untuk melindungi sembilan murid kulit hitam itu. Tindakan Presiden Eisenhower membuahkan hasil. Pada 23 September 1957, untuk kali pertama, sembilan murid itu berhasil masuk sekolah dengan dikawal oleh 1.200 pasukan AD Amerika.

Membangkang Putusan MA
Peristiwa hampir serupa terjadi di Indonesia. Walikota Bogor, Diani Budiarto, membangkang dari keputusan Mahkamah Agung. Secara formal pembangunan GKI Yasmin sudah memiliki kekuatan hukum tetap dengan keluarnya putusan Mahkamah Agung dan Ombudsman RI.

Masalah yang berlarut-larut itu muncul karena adanya larangan bagi jemaat GKI Yasmin untuk beribadah di bangunan yang berada di Jalan K.H. Abdullah bin Nuh, Bogor, Jawa Barat. Sampai saat ini jemaat belum bebas beribadah karena penolakan warga masih kerap terjadi. Apa yang dilakukan oleh walikota ini persis dengan yang dilakukan Gubernur Orval Faubus dari Arkansas. Bedanya Presiden SBY tidak mengambil tindakan apa pun untuk menegakkan konstitusi.

Rancangan Perpres
Belakangan muncul Rancangan Peraturan Presiden (Perpres)  tentang Kerukunan Umat Beragama (KUB) yang dibuat oleh Kementrian Agama. Perpres ini “11-12” isinya dengan RUU KUB tahun 2003 yang juga dibuat instansi yang sama, namun telah lenyap entah ke mana. Intinya, pemerintah hendak mengatur kerukunan antar umat beragama. Hemat pemerintah, gesekan antar umat beragama selama ini bisa diselesaikan lewat Perpres KUB ini.

Pada sisi lain rencana, tersebut mendapat tentangan dari lembaga-lembaga gereja  yang tergabung dalam Forum Umat Kristiani Indonesia (FUKRI), dan lembaga seperti Maarif Institute dan Wahid Institute. Menurut mereka, logikanya saja keliru; kerukunan itu sesuatu yang tumbuh secara alamiah dan sudah ada dalam masyarakat sejak dahulu. Tugas pemerintah adalah menjamin kebebasan beragama sesuai pasal 29 UUD. Justru yang membuat tidak rukun, kelompok-kelompok intoleran. Dan, pemerintah tidak menindak mereka secara tegas.

Dua pendekatan ini—dengan logikanya masing-masing—yang akan  kami dedah dalam rubrik FOKUS. Apakah aturan-aturan itu sekadar akal-akalan atau benar-benar akan memberi jaminan kerukunan? Dengan tahu akar persoalannya, kita dapat berpikir dan bersikap dengan tepat pula. Selamat membaca. (Lex)   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar