Akal-Akalan
Memasung Kebebasan
Kepastian
hukum untuk dapat mendirikan tempat ibadah yang berkorelasi langsung dengan
kebebasan beribadah yang telah dijamin oleh UUD belakangan ini semakin menjadi masalah serius di sejumlah
tempat di negeri kita yang tercinta ini.
Tanpa
kepastian dan penegakan hokum, sebagus apapun produk hokum, hanya menjadi macan
kertas. Bahkan, pidato dan pernyataan pejabat tinggi negara semacam menteri hingga
presiden hanya sebatas retorika. Dua masalah di dua negara berikut ini dapat
menjadi perenungan kita dalam menanggapi Rancangan Peraturan
Presiden (Perpres) tentang Kerukunan
Umat Beragama (KUB) yang menjadi sorotan Majalah INSPIRASI bulan April ini.
Segregasi di Sekolah Little
Rock Amerika
Little Rock High School, Arkansas, Amerika tahun 1957.
Heboh terjadi gara-gara NAACP (National Association for the Advancement of
Colored People), sebuah LSM pembela hak-hak
sipil warga kulit hitam mendaftarkan sembilan murid kulit hitam di Sekolah
Little Rock yang seluruh muridnya
berkulit putih. Kepala sekolah setuju. Rencananya, 9 orang murid itu akan mulai masuk pada musim gugur
1957.
NAACP berpegang pada “Brown v. Board of Education” yangdikeluarkan oleh Mahkamah Agung
Amerika Serikat (AS) pada 1954 yang menyatakan menghapus praktik pembedaan
orang karena warna kulitnya. Keputusan mahkamah ini menyatakan bahwa
seluruh praktik segregasi di sekolah-sekolah AS tidak sah dan berlawanan dengan
konstitusi. Seluruh sekolah diharuskan untuk mengintegrasikan murid-murid
berkulit hitam dengan murid-murid kulit putih. De-segregasi juga diharuskan di
tempat-tempat publik yang lain.
Rencana itu diprotes kelompok kulit putih yang pro
segregasi. Mereka berdemo di depan sekolah dan menghalang-halangi 9 murid masuk ke gerbang sekolah. Ternyata Gubernur
negara bagian Arkansas Orval Faubus mendukung mereka. Ia bahkan mengirimkan
pasukan Garda Nasional dari Arkansas untuk membantu kaum kulit putih mencegah 9
murid hitam memasuki halaman sekolah.
Melihat tindakan gubernur Arkansas yang melawan
keputusan Mahkamah Agung, Presiden Dwight D. Eisenhower turun tangan. Dia
meminta Gubernur Faubus menemuinya secara pribadi, dan memerintahkan agar dia
tak membangkang dari keputusan Mahkamah. Gubernur Faubus rupanya tak
menggubris.
Presiden Eisenhower akhirnya mengirim pasukan Divisi Airborne 101 dari Angkatan Darat AS ke Arkansas untuk melindungi sembilan murid kulit hitam itu. Tindakan Presiden Eisenhower membuahkan hasil. Pada 23 September 1957, untuk kali pertama, sembilan murid itu berhasil masuk sekolah dengan dikawal oleh 1.200 pasukan AD Amerika.
Membangkang Putusan MA
Peristiwa hampir serupa terjadi di Indonesia. Walikota
Bogor, Diani Budiarto, membangkang dari keputusan Mahkamah Agung. Secara formal
pembangunan GKI Yasmin sudah memiliki kekuatan hukum tetap dengan keluarnya
putusan Mahkamah Agung dan Ombudsman RI.
Masalah yang berlarut-larut itu muncul karena adanya
larangan bagi jemaat GKI Yasmin untuk beribadah di bangunan yang berada di
Jalan K.H. Abdullah bin Nuh, Bogor, Jawa Barat. Sampai saat ini jemaat belum
bebas beribadah karena penolakan warga masih kerap terjadi. Apa yang dilakukan
oleh walikota ini persis dengan yang dilakukan Gubernur Orval Faubus dari
Arkansas. Bedanya Presiden SBY tidak mengambil tindakan apa pun untuk
menegakkan konstitusi.
Rancangan Perpres
Belakangan muncul Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Kerukunan Umat Beragama (KUB) yang
dibuat oleh Kementrian Agama. Perpres ini “11-12” isinya dengan RUU KUB tahun
2003 yang juga dibuat instansi yang sama, namun telah lenyap entah ke mana.
Intinya, pemerintah hendak mengatur kerukunan antar umat beragama. Hemat
pemerintah, gesekan antar umat beragama selama ini bisa diselesaikan lewat
Perpres KUB ini.
Pada sisi lain rencana, tersebut mendapat tentangan
dari lembaga-lembaga gereja yang
tergabung dalam Forum Umat Kristiani Indonesia (FUKRI), dan lembaga seperti
Maarif Institute dan Wahid Institute. Menurut mereka, logikanya saja keliru; kerukunan
itu sesuatu yang tumbuh secara alamiah dan sudah ada dalam masyarakat sejak
dahulu. Tugas pemerintah adalah menjamin kebebasan beragama sesuai pasal 29
UUD. Justru yang membuat tidak rukun, kelompok-kelompok intoleran. Dan,
pemerintah tidak menindak mereka secara tegas.
Dua pendekatan ini—dengan logikanya masing-masing—yang akan kami dedah dalam rubrik FOKUS. Apakah
aturan-aturan itu sekadar akal-akalan atau benar-benar akan memberi jaminan
kerukunan? Dengan tahu akar persoalannya, kita dapat berpikir dan bersikap dengan
tepat pula. Selamat membaca. (Lex)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar