Rabu, 16 April 2014

Artikel



PASKAH – Si Anak Tiri


Saat Natal, gereja sibuk hiruk-pikuk, sedangkan saat Paskah gereja kalem-kalem saja. Saat Natal panitia mencari dana sana-sini sampai pusing tujuh keliling, sedangkan saat Paskah panitianya saja tidak dibentuk. Semua kalender mencantumkan Natal, namun Paskah tidak tercantum, bahkan pada kalender terbitan gereja dan lembaga Kristiani pun Paskah dilupakan. Kebangetan! Mengapa Paskah jadi anak tiri?

PASKAH: Sentrum Gerejawi
Padahal bukan Natal, melainkan Paskah yang merupakan sentrum siklus tahun gerejawi. Sudah sejak abad ke-1 para rasul (yang semula beragama Yahudi dan beribadah pada hari Sabat) beralih ke hari Minggu dengan dasar bahwa tiap hari Minggu pun adalah hari Paskah. Natal baru dikenal 300 tahun kemudian.

Lagipula kita mengaku bahwa Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat bukan karena Ia dilahirkan (semua orang juga dilahirkan), melainkan karena Ia dibangkitkan.

Jadi, sungguh kurang patut bahwa Paskah dilewati secara hambar-hampa, sepi-sirep dan adem-ayem. Tetapi jangan Anda salah paham. Bukan maksud saya agar kita megulangi kesalahan yang telah kita perbuat terhadap Natal, yakni merayakannya secara hingar-bingar, gembrang-gembreng dan riuh-rendah. Natal sudah dikomersialisasi, janganlah Paskah ikut terkontaminasi.

Paskah Sebagai Klimaks
Semua novel mempunyai klimaks. Biasanya klimaks itu terdapat pada bab yang terakhir. Banyak novel memang asyik dibaca kalau klimaksnya tersimpan sebagai rahasia dan nanti kita menemukannya sebagai kejutan.
Tetapi ada juga novel yang lebih mudah dimengerti kalau justru bab terakhirnya dulu yang kita baca.

Keempat kitab Injil adalah seperti novel yang baru bisa dimengerti kalau dibaca mulai dari bab terakhirnya, yaitu bab tentang Paskah. Kebangkitan Yesus adalah klimaks dari seluruh hidup Tuhan Yesus. Tanpa membaca berita pembangkitan-Nya, kita sulit memahami arti kelahiran, pengajaran, penderitaan, dan kematian Yesus.

Kitab-kitab Injil ditulis bukan karena Yesus telah dilahirkan dan disalibkan, melainkan karena Ia telah dibangkitkan. Dengan kata lain, jika seandainya Yesus lahir dan mati, tetapi tidak dibangkitkan, maka kitab-kitab Injil tidak akan ada. Itu berarti bahwa iman Kristen tidak akan ada, dan Gereja Kristen tidak akan  berdiri.

Itulah yang dimaksudkan Paulus ketika ia menulis, “Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu” (1 Kor. 15:14).

Begitu pentingnya kebangkitan Yesus, sehingga Gereja Purba menjadikan Paskah sebagai pusat perayaan-perayaan Kristen. Bahkan sebelum tahun 313, Gereja hanya mengenal satu perayaan Kristen, yaitu Paskah.
Baru sesudah tahun 313, Gereja mengenal perayaan Natal. Dalam perkembangan waktu, perayaan Natal makin lama makin meriah. Kecenderungan itu membekas hingga kini.

Hal itu sebenarnya bukan persoalan. Yang menjadi persoalan adalah kalau Gereja sekarang cenderung untuk menganaktirikan Paskah jika dibandingkan dengan Natal. Kemeriahan menyambut Paskah tampaknya tidak seimbang dengan kemeriahan menyambut Natal.

Coba Anda bandingkan. Dalam rangka Natal ada begitu banyak kegiatan, bagaimana dalam rangka Paskah? Untuk Natal ada anggaran belanja, apakah untuk Paskah anggarannya kira-kira sebanding dengan itu?

Juga perorangan dan keluarga-keluarga menyambut Paskah jauh lebih sepi dari Natal. Coba saya numpang tanya, berapa kartu ucapan Selamat Natal Anda kirimkan dan Anda terima? Tetapi pada hari Paskah, apakah Anda juga mengirimkan dan menerima kartu ucapan Selamat Paskah?

Anda berkata, jarang ada yang menjual kartu ucapan Selamat Paskah. Anda benar, ternyata penerbit dan dan toko buku Kristen pun ikut-ikutan menganaktirikan Paskah.

Dalam hubungan ini dapat pula disinyalir betapa sedikitnya tempat yang disediakan untuk Paskah dalam liturgi dan khotbah. Padahal enam minggu sebelum Paskah adalah minggu Minggu-minggu Pra-Paskah. Bahkan tujuh minggu sesudah Paskah adalah Minggu-minggu Paskah.

Masa Raya Gerejawi
Enam minggu sebelum dan tujuh minggu sesudah Paskah adalah masa raya Gerejawi, di mana peristiwa kebangkitan Tuhan Yesus menjadi titik tolak penyorotan dalam liturgi dan pemberitaan firman.

Soalnya bukanlah bagaimana kita mengurangi kemeriahan Natal, melainkan bagaimana menambahkan kemeriahan Paskah. Bahkan, sebenarnya bukan menambahkan, melainkan memulihkan. Sebab pada awal lahirnya Gereja, Paskah dirayakan sebagai pusat perayaan Kristen.

Harap Anda jangan salah paham. Yang saya maksud dengan kemeriahan bukanlah pesta dan bermewah-mewah, melainkan keagungan dan kegembiraan.
Yang sekarang diperlukan adalah kemauan melangkah untuk mengembalikan Paskah kepada tempatnya yang semula, yaitu sebagai pusat perayaan Gereja.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar