PASKAH – Si Anak Tiri
Saat
Natal, gereja sibuk hiruk-pikuk, sedangkan saat Paskah gereja kalem-kalem saja.
Saat Natal panitia mencari dana sana-sini sampai pusing tujuh keliling,
sedangkan saat Paskah panitianya saja tidak dibentuk. Semua kalender
mencantumkan Natal, namun Paskah tidak tercantum, bahkan pada kalender terbitan
gereja dan lembaga Kristiani pun Paskah dilupakan. Kebangetan! Mengapa Paskah
jadi anak tiri?
PASKAH: Sentrum
Gerejawi
Padahal
bukan Natal, melainkan Paskah yang merupakan sentrum siklus tahun gerejawi.
Sudah sejak abad ke-1 para rasul (yang semula beragama Yahudi dan beribadah
pada hari Sabat) beralih ke hari Minggu dengan dasar bahwa tiap hari Minggu pun
adalah hari Paskah. Natal baru dikenal 300 tahun kemudian.
Lagipula
kita mengaku bahwa Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat bukan karena Ia
dilahirkan (semua orang juga dilahirkan), melainkan karena Ia dibangkitkan.
Jadi, sungguh kurang patut bahwa
Paskah dilewati secara hambar-hampa, sepi-sirep dan adem-ayem. Tetapi jangan
Anda salah paham. Bukan maksud saya agar kita megulangi kesalahan yang telah
kita perbuat terhadap Natal, yakni merayakannya secara hingar-bingar,
gembrang-gembreng dan riuh-rendah. Natal sudah dikomersialisasi, janganlah
Paskah ikut terkontaminasi.
Paskah Sebagai Klimaks
Semua
novel mempunyai klimaks. Biasanya klimaks itu terdapat pada bab yang terakhir.
Banyak novel memang asyik dibaca kalau klimaksnya tersimpan sebagai rahasia dan
nanti kita menemukannya sebagai kejutan.
Tetapi
ada juga novel yang lebih mudah dimengerti kalau justru bab terakhirnya dulu
yang kita baca.
Keempat
kitab Injil adalah seperti novel yang baru bisa dimengerti kalau dibaca mulai
dari bab terakhirnya, yaitu bab tentang Paskah. Kebangkitan Yesus adalah
klimaks dari seluruh hidup Tuhan Yesus. Tanpa membaca berita pembangkitan-Nya,
kita sulit memahami arti kelahiran, pengajaran, penderitaan, dan kematian
Yesus.
Kitab-kitab Injil ditulis bukan karena Yesus telah dilahirkan
dan disalibkan, melainkan karena Ia telah
dibangkitkan. Dengan kata lain, jika seandainya Yesus lahir dan mati,
tetapi tidak dibangkitkan, maka kitab-kitab Injil tidak akan ada. Itu berarti
bahwa iman Kristen tidak akan ada, dan Gereja Kristen tidak akan berdiri.
Itulah
yang dimaksudkan Paulus ketika ia menulis, “Tetapi
andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan
sia-sialah juga kepercayaan kamu” (1 Kor. 15:14).
Begitu
pentingnya kebangkitan Yesus, sehingga Gereja Purba
menjadikan Paskah sebagai pusat perayaan-perayaan Kristen. Bahkan
sebelum tahun 313, Gereja hanya mengenal satu perayaan Kristen, yaitu Paskah.
Baru
sesudah tahun 313, Gereja mengenal perayaan Natal. Dalam perkembangan waktu,
perayaan Natal makin lama makin meriah. Kecenderungan itu membekas hingga kini.
Hal
itu sebenarnya bukan persoalan. Yang menjadi persoalan
adalah kalau Gereja sekarang cenderung untuk menganaktirikan Paskah jika
dibandingkan dengan Natal. Kemeriahan menyambut Paskah tampaknya tidak seimbang
dengan kemeriahan menyambut Natal.
Coba
Anda bandingkan. Dalam rangka Natal ada begitu banyak kegiatan, bagaimana dalam
rangka Paskah? Untuk Natal ada anggaran belanja, apakah untuk Paskah
anggarannya kira-kira sebanding dengan itu?
Juga
perorangan dan keluarga-keluarga menyambut Paskah jauh lebih sepi dari Natal.
Coba saya numpang tanya, berapa kartu
ucapan Selamat Natal Anda kirimkan dan Anda terima? Tetapi pada hari Paskah,
apakah Anda juga mengirimkan dan menerima kartu ucapan Selamat Paskah?
Anda
berkata, jarang ada yang menjual kartu ucapan Selamat Paskah. Anda benar,
ternyata penerbit dan dan toko buku Kristen pun ikut-ikutan menganaktirikan
Paskah.
Dalam
hubungan ini dapat pula disinyalir betapa sedikitnya tempat yang disediakan
untuk Paskah dalam liturgi dan khotbah. Padahal enam minggu sebelum Paskah
adalah minggu Minggu-minggu Pra-Paskah. Bahkan tujuh minggu sesudah Paskah
adalah Minggu-minggu Paskah.
Masa Raya Gerejawi
Enam
minggu sebelum dan tujuh minggu sesudah Paskah adalah masa raya Gerejawi, di
mana peristiwa kebangkitan Tuhan Yesus menjadi titik tolak penyorotan dalam
liturgi dan pemberitaan firman.
Soalnya
bukanlah bagaimana kita mengurangi kemeriahan
Natal, melainkan bagaimana menambahkan kemeriahan Paskah. Bahkan,
sebenarnya bukan menambahkan, melainkan memulihkan. Sebab pada awal lahirnya Gereja, Paskah dirayakan sebagai pusat
perayaan Kristen.
Harap
Anda jangan salah paham. Yang saya maksud dengan kemeriahan bukanlah pesta dan
bermewah-mewah, melainkan keagungan dan kegembiraan.
Yang
sekarang diperlukan adalah kemauan melangkah untuk mengembalikan Paskah kepada
tempatnya yang semula, yaitu sebagai pusat perayaan Gereja.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar