Rabu, 16 April 2014

Fokus



Perlukah Perpres KUB?

Pemerintah, melalui Menteri Suryadharma Ali, telah berkali-kali mengklaim bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki kerukunan umat beragama yang terbaik di dunia. “Saya selalu katakan bahwa kerukunan umat beragama di Indonesia terbaik di dunia,” kata Menteri Suryadharma Ali dalam acara Silaturahmi Tokoh Agama Jawa Barat bertajuk “Kerukunan Umat Beragama Sebagai Pilar Kekuatan Bangsa”, di Bandung, Jawa Barat, 15 November 2013. Ia mengaku pernah mengemukakan terkait kerukunan itu kepada kalangan internasional. 

Pasalnya, masih banyak pihak dari lembaga maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional yang mencampuri urusan kerukunan di Indonesia. “Bicara soal agama di Indonesia, banyak pihak yang ingin ikut campur baik dari LSM maupun lembaga-lembaga internasional termasuk pemimpin negara-negara tertentu. Biar pun di negerinya agama tidak diurusi, tapi manakala ada masalah keagamaan di Indonesia, mereka cerewet, ikut atur-atur, mengecam, dan sebagainya,“ tukas Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini.

Suryadharma menjelaskan, Indonesia merupakan negara berpenduduk mayoritas Islam. Dikatakan, setiap perayaan hari besar keagamaan ditetapkan menjadi libur nasional. “Presiden dan wakil presiden serta menag rayakan Idul Fitri maupun Idul Adha itu biasa. Tapi presiden, wapres, dan menag juga ikut hadiri perayaan Natal, demikian juga hari besar agama Budha, Hindu, dan Kong Hu Cu. Cari negara mana seperti Indonesia. Ketika saya ungkap itu, tamu dari luar negeri tak bisa berkata apa-apa,” ujarnya. 

Selanjutnya Suryadharma berharap kerukunan beragama di Tanah Air tetap berlangsung baik. Apalagi, menurutnya, kerukunan adalah sesuatu yang sensitif. “Kalau hari ini kita rukun, belum tentu besok bisa rukun. Kita berharap kerukunan itu tidak ada surutnya. Kerukunan antar umat beragama di Indonesia terus naik, kuat, semakin kokoh, dan sejati,” tandasnya.

Kerukunan Seremonial
Harapan Menteri Suryadharma agar kerukunan beragama di Indonesia berlangsung baik di masa-masa mendatang tentunya juga merupakan harapan kita semua. Karena itulah kita juga berharap agar para pemimpin negara ini memiliki visi dan misi yang jelas, pemahaman yang baik dan benar, serta kompetensi untuk mengelola kerukunan itu bersama-sama dengan masyarakat. Namun terus-terang kita meragukannya, sebab tampak sekali bahwa hal yang dibangga-banggakan oleh Menteri Suryadharma dari kerukunan di dalam negeri itu nyatanya hanyalah persoalan seremonial belaka.

Presiden datang ke acara Natal Nasional, misalnya, apa hebatnya? Apalagi kalau presiden datang hanya untuk memberi sambutan, tak lama kemudian pergi. Bukankah itu tak lebih dari kewajiban seremonial para pemimpin di negara yang rakyatnya sangat pluralistik ini? Hal seperti itukah yang layak dibanggakan sebagai bukti konkret kerukunan umat beragama di Indonesia?

Lagi pula, kalau benar umat beragama di Indonesia rukun-rukun saja, lantas mengapa pemerintah memandang penting untuk membuat peraturan khusus untuk itu? Bertahun-tahun silam pemerintah pernah menyiapkan Rancangan Undang-undang Kerukunan Umat Beragama (RUU KUB), tapi lalu gagal masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sehingga tak pernah dibahas oleh DPR. Tapi ia segera bermetamorfosis menjadi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No. 9 dan No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah. Mungkin inilah yang sebagian isinya kemudian diusulkan oleh Kementerian Agama untuk ditingkatkan menjadi Peraturan Presiden (Perpres) tentang Kerukunan Umat Beragama (KUB).

KUB Jelmaan Perber (PBM)?
Draf rancangan perpres 27 pasal itu sudah beredar (dan saya sudah membacanya). Jika dibaca isinya, ternyata sebagian besar merupakan copy paste dari PBM No. 9 dan No. 8 Tahun 2006 yang menyebut-nyebut soal Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk Rumah Ibadat, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan peran/fungsi pemerintah daerah terkait itu. 


Sekarang mari kita persoalkan. Pada kenyataannya, PBM Tahun 2006 itu tidak dilaksanakan dengan baik dan benar di berbagai daerah sejak ia diterbitkan. Banyak kelompok umat beragama, misalnya, yang mengajukan permohonan untuk mendapatkan IMB agar bisa membangun rumah ibadahnya. Tapi, sesudah semua syarat dipenuhi,  nyatanya IMB itu tak pernah didapatkan dan tanpa penjelasan sama sekali mengapa pemerintah daerah tidak memberikannya. Ada juga yang nasibnya terkatung-katung bertahun-tahun tanpa jawaban sama sekali. Bukankah dalam hal itu sebenarnya pemerintah daerah terkait bisa digugat ke pengadilan karena tidak menjalankan PBM Tahun 2006 itu?

Disebutkan bahwa salah satu tugas pemerintah adalah menyosialisasikan peraturan itu (baik dalam PBM Tahun 2006 maupun dalam draf Perpres KUB), bagaimana mungkin hal itu dipenuhi dengan baik jika pada kenyataannya justru banyak aparat pemerintah daerah yang tidak memahaminya? Maka jangan heran jika dalam praktiknya di lapangan selama ini, ketika muncul suatu masalah terkait pendirian sebuah rumah ibadah, pemerintah jadi gamang dan bahkan tak jarang justru bersikap tak adil terhadap salah satu pihak yang terlibat masalah itu.

Dalam kasus GKI Yasmin di Kota Bogor, misalnya, alih-alih mengupayakan ketenteraman dan ketertiban, pemerintah daerah setempat justru menjadi sumber masalah. Bayangkan, sudah membatalkan IMB yang pernah diberikan secara resmi kepada GKI Yasmin, bahkan di ranah hukum pun walikota Bogor berani membangkang Mahkamah Agung dan Ombudsman. Seandainya draf Perpres KUB ini kelak diterima untuk disahkan, apakah presiden berani bertindak terhadap pemerintah daerah yang mbalelo seperti Walikota Bogor Diani Budiarto itu?

Lantas, sekali lagi, apa pentingnya membuat rancangan Perpres KUB ini? Betulkah FKUB, sebagaimana disebut di dalamnya, berkompeten untuk menyelenggarakan dialog antarumat beragama? Betulkah pemerintah daerah mampu memelihara kerukunan umat beragama? Tidakkah jika hal itu menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah, yang bakal terjadi justru pemerintah tergoda untuk mengatur bahkan mengintervensi umat beragama seperti yang sudah dialami oleh Jamaah Ahmadiyah Indonesia?

Kebebasan Beragama
Seharusnya pemerintah memikirkan hal ini secara serius, bahwa yang penting dibuat adalah sebuah konsensus nasional tentang “apa itu kebebasan beragama” dan merumuskannya dalam sebuah perundang-undangan semisal UU Kebebasan Beragama. UU ini harus menyebut secara tegas beberapa hal berikut.

Pertama, kebebasan setiap warga untuk memilih keyakinan mana pun sebagai agamanya, tak hirau agama tersebut termasuk atau tak termasuk dalam kategori “agama-agama yang diakui” atau tidak. Kedua, kebebasan setiap warga untuk beribadah dengan cara atau corak peribadahan sesuai yang diajarkan oleh komunitas agamanya.

Akhirnya, ingatlah ini: kerukunan tak perlu diatur secara kaku. Ia masuk dalam ranah perilaku, yang aturannya sudah tercakup dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Lain halnya dengan kebebasan beragama, yang memerlukan jaminan hukum atas pelaksanaannya. Sebab kebebasan adalah nilai (value), yang harus dilindungi oleh hukum agar penghayatannya di masyarakat semakin mendalam.

[Victor Silaen, Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan, Ketua Pengurus Yakoma-PGI]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar