Perlukah
Perpres KUB?
Pemerintah, melalui Menteri Suryadharma Ali,
telah berkali-kali mengklaim bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki
kerukunan umat beragama yang terbaik di dunia. “Saya selalu katakan bahwa kerukunan umat beragama di
Indonesia terbaik di dunia,” kata Menteri Suryadharma Ali dalam acara
Silaturahmi Tokoh Agama Jawa Barat bertajuk “Kerukunan Umat Beragama Sebagai
Pilar Kekuatan Bangsa”, di Bandung, Jawa Barat, 15 November 2013. Ia mengaku
pernah mengemukakan terkait kerukunan itu kepada kalangan internasional.
Pasalnya,
masih banyak pihak dari lembaga maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM)
internasional yang mencampuri urusan kerukunan di Indonesia. “Bicara soal
agama di Indonesia, banyak pihak yang ingin ikut campur baik dari LSM maupun
lembaga-lembaga internasional termasuk pemimpin negara-negara tertentu. Biar pun
di negerinya agama tidak diurusi, tapi manakala ada masalah keagamaan di
Indonesia, mereka cerewet, ikut atur-atur, mengecam, dan sebagainya,“ tukas
Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini.
Suryadharma menjelaskan, Indonesia merupakan negara berpenduduk mayoritas Islam. Dikatakan, setiap perayaan hari besar keagamaan ditetapkan menjadi libur nasional. “Presiden dan wakil presiden serta menag rayakan Idul Fitri maupun Idul Adha itu biasa. Tapi presiden, wapres, dan menag juga ikut hadiri perayaan Natal, demikian juga hari besar agama Budha, Hindu, dan Kong Hu Cu. Cari negara mana seperti Indonesia. Ketika saya ungkap itu, tamu dari luar negeri tak bisa berkata apa-apa,” ujarnya.
Selanjutnya Suryadharma berharap kerukunan beragama di Tanah Air tetap berlangsung baik. Apalagi, menurutnya, kerukunan adalah sesuatu yang sensitif. “Kalau hari ini kita rukun, belum tentu besok bisa rukun. Kita berharap kerukunan itu tidak ada surutnya. Kerukunan antar umat beragama di Indonesia terus naik, kuat, semakin kokoh, dan sejati,” tandasnya.
Harapan Menteri Suryadharma agar
kerukunan beragama di Indonesia berlangsung baik di masa-masa mendatang
tentunya juga merupakan harapan kita semua. Karena itulah kita juga berharap
agar para pemimpin negara ini memiliki visi dan misi yang jelas, pemahaman yang
baik dan benar, serta kompetensi untuk mengelola kerukunan itu bersama-sama
dengan masyarakat. Namun terus-terang kita meragukannya, sebab tampak sekali
bahwa hal yang dibangga-banggakan oleh Menteri Suryadharma dari kerukunan di
dalam negeri itu nyatanya hanyalah persoalan seremonial belaka.
Presiden
datang ke acara Natal Nasional, misalnya, apa hebatnya? Apalagi kalau presiden
datang hanya untuk memberi sambutan, tak lama kemudian pergi. Bukankah itu tak
lebih dari kewajiban seremonial para pemimpin di negara yang rakyatnya sangat
pluralistik ini? Hal seperti itukah yang layak dibanggakan sebagai bukti
konkret kerukunan umat beragama di Indonesia?
Lagi
pula, kalau benar umat beragama di Indonesia rukun-rukun saja, lantas mengapa
pemerintah memandang penting untuk membuat peraturan khusus untuk itu? Bertahun-tahun
silam pemerintah pernah menyiapkan Rancangan Undang-undang Kerukunan Umat
Beragama (RUU KUB), tapi lalu gagal masuk Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) sehingga tak pernah dibahas oleh DPR. Tapi ia segera bermetamorfosis
menjadi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No. 9
dan No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil
Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum
Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah. Mungkin inilah yang
sebagian isinya kemudian diusulkan oleh Kementerian Agama untuk ditingkatkan
menjadi Peraturan Presiden (Perpres) tentang Kerukunan Umat Beragama (KUB).
KUB Jelmaan Perber (PBM)?
Draf rancangan perpres 27 pasal itu sudah beredar (dan
saya sudah membacanya). Jika dibaca isinya, ternyata sebagian besar merupakan copy paste dari PBM No. 9 dan No. 8 Tahun 2006 yang
menyebut-nyebut soal Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk Rumah Ibadat, Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan peran/fungsi pemerintah daerah terkait itu.
Sekarang
mari kita persoalkan. Pada kenyataannya, PBM Tahun 2006 itu tidak dilaksanakan
dengan baik dan benar di berbagai daerah sejak ia diterbitkan. Banyak kelompok
umat beragama, misalnya, yang mengajukan permohonan untuk mendapatkan IMB agar
bisa membangun rumah ibadahnya. Tapi, sesudah semua syarat dipenuhi, nyatanya IMB itu tak pernah didapatkan dan
tanpa penjelasan sama sekali mengapa pemerintah daerah tidak memberikannya. Ada
juga yang nasibnya terkatung-katung bertahun-tahun tanpa jawaban sama sekali.
Bukankah dalam hal itu sebenarnya pemerintah daerah terkait bisa digugat ke
pengadilan karena tidak menjalankan PBM Tahun 2006 itu?
Disebutkan
bahwa salah satu tugas pemerintah adalah menyosialisasikan peraturan itu (baik
dalam PBM Tahun 2006 maupun dalam draf Perpres KUB), bagaimana mungkin hal itu
dipenuhi dengan baik jika pada kenyataannya justru banyak aparat pemerintah
daerah yang tidak memahaminya? Maka jangan heran jika dalam praktiknya di
lapangan selama ini, ketika muncul suatu masalah terkait pendirian sebuah rumah
ibadah, pemerintah jadi gamang dan bahkan tak jarang justru bersikap tak adil
terhadap salah satu pihak yang terlibat masalah itu.
Dalam
kasus GKI Yasmin di Kota Bogor, misalnya, alih-alih mengupayakan ketenteraman
dan ketertiban, pemerintah daerah setempat justru menjadi sumber masalah.
Bayangkan, sudah membatalkan IMB yang pernah diberikan secara resmi kepada GKI
Yasmin, bahkan di ranah hukum pun walikota Bogor berani membangkang Mahkamah
Agung dan Ombudsman. Seandainya draf Perpres KUB ini kelak diterima untuk
disahkan, apakah presiden berani bertindak terhadap pemerintah daerah yang mbalelo seperti Walikota Bogor Diani
Budiarto itu?
Lantas, sekali lagi, apa pentingnya membuat rancangan
Perpres KUB ini? Betulkah FKUB, sebagaimana disebut di dalamnya, berkompeten
untuk menyelenggarakan dialog antarumat beragama? Betulkah pemerintah daerah
mampu memelihara kerukunan umat beragama? Tidakkah jika hal itu menjadi tugas
dan tanggung jawab pemerintah, yang bakal terjadi justru pemerintah tergoda
untuk mengatur bahkan mengintervensi umat beragama seperti yang sudah dialami
oleh Jamaah Ahmadiyah Indonesia?
Seharusnya pemerintah memikirkan hal ini secara serius, bahwa yang
penting dibuat adalah sebuah konsensus nasional tentang “apa itu kebebasan
beragama” dan merumuskannya dalam sebuah perundang-undangan semisal UU
Kebebasan Beragama. UU ini harus menyebut secara tegas beberapa hal berikut.
Pertama, kebebasan setiap warga
untuk memilih keyakinan mana pun sebagai agamanya, tak hirau agama tersebut
termasuk atau tak termasuk dalam kategori “agama-agama yang diakui” atau tidak.
Kedua, kebebasan setiap warga untuk
beribadah dengan cara atau corak peribadahan sesuai yang diajarkan oleh
komunitas agamanya.
Akhirnya, ingatlah ini: kerukunan tak perlu diatur secara kaku. Ia masuk dalam ranah perilaku, yang aturannya sudah tercakup dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Lain halnya dengan kebebasan beragama, yang memerlukan jaminan hukum atas pelaksanaannya. Sebab kebebasan adalah nilai (value), yang harus dilindungi oleh hukum agar penghayatannya di masyarakat semakin mendalam.
[Victor Silaen, Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan, Ketua Pengurus Yakoma-PGI]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar