Komunitas yang Peduli
“Saya peduli
Papua!” ujar presiden pada suatu jamuan resmi. Pada saat itu ratusan orang di
Papua sedang mati kelaparan.
“Kita
menganggarkan dana perbaikan nasib guru Papua”, kata tokoh DPR. Akan tetapi
belum lagi dikirim ke Papua, dana itu sudah digerogoti tokoh itu. Ia membeli
mobil mewah, sedangkan ibu guru Papua pergi ke sekolah menyeberangi sungai
deras berpegangan pada seutas tali.
Di mimbar
pendeta berkata, “Gereja di Jakarta adalah tangan kanan, gereja di Papua tangan
kiri. Sebab itu kita peduli Papua!” Seusai kebaktian pendeta di Jakarta itu
makan besar di restoran, sedangkan pendeta di pegunungan Papua mengorek-ngorek
tanah untuk mencari ubi sebagai makan siang.
Itukah yang
namanya peduli? Mei 2013 ini genap 50 tahun Papua kembali ke pangkuan RI, namun
Papua ketinggalan di segala bidang. Gunung diobok-obok pertambangan dan hutan
digunduli untuk dijual ke luar negeri, tetapi uangnya lari ke Jakarta,
sedangkan rakyat Papua tetap merana.
Peduli memang
tidaklah gampang. Di STT Jakarta dalam subpelajaran Pendidikan Kepedulian ilmu
Pendidikan Agama Kristen, nyata bahwa untuk bisa peduli kita harus melewati
beberapa tahap perkembangan. Paling awal adalah tahap engah atau tahu duduk
perkara. Lalu tahap minat. Lalu mengamati detail. Lalu menafsirkan. Lalu
memaknai. Lalu mempertanyakan diri. Lalu mengerti. Dan seterusnya. Pokoknya,
tidak gampang.
Namun jelas,
syarat terawal untuk bisa peduli adalah engah alias tahu persoalan. Nah,
bagaimana mungkin gereja bisa peduli kalau pendetanya sendiri tidak tahu duduk
perkara? Lalu bagaimana mungkin pendeta itu tahu kalau diberi tahu saja ia
tidak mau tahu?
Warga Jemaat = Penonton Sepakbola?
Ribuan penonton sepak bola itu serempak bersorak.
Lalu mereka terdiam lagi dengan wajah yang tegang. Kemudian tiba-tiba mereka
serempak bersorak lagi. Mereka sehati dan sejiwa. Tetapi begitu pertandingan bubar, mereka tidak
peduli satu sama lain. Semua berdesak-desakan menuju
pintu keluar.
Agaknya gereja juga mirip penonton sepak bola itu. Orang
banyak dalam gereja itu bersorak. Mereka sehati dan sejiwa. Tetapi setelah
ibadah bubar, hati dan jiwa mereka langsung ikut bubar. Mobil mereka saling
berebut jalan untuk keluar dari lahan parkir. Bahkan
ketika mobil mereka hampir bersenggolan, mereka mengomel dan saling pelotot. Padahal
beberapa menit sebelumnya mereka sama-sama berseru, “Puji Tuhan!” Tidak ada
satu mobil pun yang membuka jendela dan menawarkan tumpangan kepada nenek dari
gereja itu yang sedang menunggu taksi. Tidak ada yang menolong kakek dari
gereja itu untuk menyeberang jalan. Mereka tidak peduli satu sama lain.
Apa artinya peduli? Sering
peduli diartikan secara sempit. Peduli cuma diartikan menyumbang. Partai yang
membagi sembako mengaku diri peduli, padahal itu cuma bagi-bagi dengan tujuan
mencari muka.
Peduli punya arti yang lebih dalam. Peduli
berarti prihatin, membela, mengindahkan, menghargai, mencukupi, melindungi,
memelihara, dan merawat.
Gereja dimaksudkan supaya menjadi komunitas orang-orang
yang saling peduli. Rasul Paulus menulis, “...
jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita; jika satu anggota
dihormati, semua anggota turut bersuka cita” (1 Kor. 12:26).
Tetapi mana mungkin gereja menjadi komunitas saling peduli?
Saling kenal pun tidak. Jangankan sesama anggota, pendeta pun tidak kenal
anggotanya.
Lagi
pula, meskipun saling kenal sama sekali belum berarti bahwa anggota-anggota
komunitas itu saling peduli.
5 Macam Kematangan Diri
Untuk bersikap peduli dibutuhkan syarat-syarat kematangan
diri. Paling tidak, dibutuhkan lima macam kematangan diri.
Pertama,
kematangan usia. Mustahil anak di bawah usia sepuluh tahun
bisa peduli. Biasanya kita belajar peduli terhadap saudara atau teman mulai
usia belasan tahun. Tetapi ada orang dewasa, sudah menikah dan punya anak,
namun belum bisa peduli. Bahkan ada orang sampai lanjut usia tetap tidak bisa
peduli.
Dari mana kita belajar peduli? Sikap peduli tumbuh dalam
proses perkembangan waktu karena teladan. Kita melihat pendidik kita peka
terhadap penderitaan orang lain. Sedikit demi sedikit kita belajar peduli
karena berhadapan dengan penderitaan orang lain.
Kedua,
kematangan sudut pandang. Kita belajar peduli ketika kita bisa
melihat keadaan, bukan dari sudut pandang kita sendiri, melainkan dari sudut
pandang orang lain. Kita belajar memahami keadaan dia dan dunianya, seolah-olah
kita berada dalam dunianya itu. Kita masuk ke dalam dunia orang lain. Kita ikut
merasakan dambaannya dan juga kekecewaannya. Ketika kita duduk mendengarkan
dambaan dan kekecewaannya, kita bukan sekadar berada dengan dia, melainkan
berada untuk dia.
Ketiga,
kematangan untuk menerima orang lain. Peduli berarti bisa menerima orang
itu sebagaimana dia adanya, bukan sebagaimana kita inginkan. Mungkin orang ini
cerewet, suka mengomel, marah-marah, kurang tahu berterima kasih, mendendam dan
putus asa, tetapi itulah perasaan dan keadaannya.
Jika kita peduli pada orang itu, maka perasaannya yang
terburuk pun kita sikapi dengan serius. Di sini terletak kelemahan banyak
pendeta karena pendeta sering kali menanggapi perasaan itu justru dengan
menghalangi komunikasi. Pendeta itu berkata, “Ibu anak Tuhan, Ibu tidak boleh
membenci.” Padahal yang diperlukan ibu ini bukan pemberitahuan tidak boleh
membenci, melainkan cara mengolah dan mengatasi perasaan bencinya.
Keempat,
kematangan untuk menerima diri sendiri. Peduli
berarti bertindak sebagaimana kita adanya. Kalau ketulusan kita hanya satu
liter, janganlah kita mengobral perkataan sebanyak sepuluh liter. Kalau kita
merasa setengah terpaksa, jangan kita memakai topeng muka senyum serba manis.
Kalau kita melakukan ini sekadar kewajiban, jangan kita sebut ini pelayanan.
Kita tidak bisa peduli selama kita masih berpura-pura.
Kelima,
kematangan untuk memberi diri. Memberi waktu, memberi tenaga dan memberi suatu
pemberian sungguh mulia. Tetapi peduli berarti lebih dari itu. Peduli berarti
memberi diri sendiri. Hubungan kita dengan dia bukan lagi sekadar hubungan dua
entitas seperti hubungan kursi dan meja, melainkan kita memandang dia sebagai
bagian dari kita dan memandang diri kita sebagai bagian dari dirinya. Kita
membuat diri menjadi orang andalannya.
Menjadi Seperti Kristus Bagi Sesama
Itulah kedalaman arti sikap peduli. Buah dari sikap peduli
adalah bahwa hidup dia menjadi hidup kita dan hidup kita menjadi hidup dia.
Kita saling melibatkan diri. Kita mempedulikan dia seperti kita mempedulikan
diri kita sendiri. Mungkin itu maksud Kristus ketika Ia menyuruh, “Kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat. 22:39).
Gereja disuruh menjadi komunitas yang peduli, baik ke
dalam maupun kepada masyarakat luas. Sebagaimana Kristus telah mempedulikan
kita, begitulah kita disuruh untuk mempedulikan orang lain.
Tangan kita berubah menjadi tangan Kristus ketika kita
menyuapkan sesendok bubur ke mulut nenek jompo. Senyum kita berubah menjadi
senyum Kristus ketika kita melihat nenek itu menikmati bubur tadi. Telinga
kita berubah menjadi telinga Kristus ketika kita mendengarkan rintihan nenek
itu. Air mata kita berubah menjadi air mata Kristus ketika ikut menangis dengan
nenek itu. (Andar Ismail)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar