Kamis, 22 Mei 2014

Esensi


Komunitas yang Peduli


“Saya peduli Papua!” ujar presiden pada suatu jamuan resmi. Pada saat itu ratusan orang di Papua sedang mati kelaparan.

“Kita menganggarkan dana perbaikan nasib guru Papua”, kata tokoh DPR. Akan tetapi belum lagi dikirim ke Papua, dana itu sudah digerogoti tokoh itu. Ia membeli mobil mewah, sedangkan ibu guru Papua pergi ke sekolah menyeberangi sungai deras berpegangan pada seutas tali.

Di mimbar pendeta berkata, “Gereja di Jakarta adalah tangan kanan, gereja di Papua tangan kiri. Sebab itu kita peduli Papua!” Seusai kebaktian pendeta di Jakarta itu makan besar di restoran, sedangkan pendeta di pegunungan Papua mengorek-ngorek tanah untuk mencari ubi sebagai makan siang.

Itukah yang namanya peduli? Mei 2013 ini genap 50 tahun Papua kembali ke pangkuan RI, namun Papua ketinggalan di segala bidang. Gunung diobok-obok pertambangan dan hutan digunduli untuk dijual ke luar negeri, tetapi uangnya lari ke Jakarta, sedangkan rakyat Papua tetap merana.

Peduli memang tidaklah gampang. Di STT Jakarta dalam subpelajaran Pendidikan Kepedulian ilmu Pendidikan Agama Kristen, nyata bahwa untuk bisa peduli kita harus melewati beberapa tahap perkembangan. Paling awal adalah tahap engah atau tahu duduk perkara. Lalu tahap minat. Lalu mengamati detail. Lalu menafsirkan. Lalu memaknai. Lalu mempertanyakan diri. Lalu mengerti. Dan seterusnya. Pokoknya, tidak gampang.

Namun jelas, syarat terawal untuk bisa peduli adalah engah alias tahu persoalan. Nah, bagaimana mungkin gereja bisa peduli kalau pendetanya sendiri tidak tahu duduk perkara? Lalu bagaimana mungkin pendeta itu tahu kalau diberi tahu saja ia tidak mau tahu?  

Warga Jemaat = Penonton Sepakbola?

Ribuan penonton sepak bola itu serempak bersorak. Lalu mereka terdiam lagi dengan wajah yang tegang. Kemudian tiba-tiba mereka serempak bersorak lagi. Mereka sehati dan sejiwa. Tetapi begitu pertandingan bubar, mereka tidak peduli satu sama lain. Semua berdesak-desakan menuju pintu keluar.

Agaknya gereja juga mirip penonton sepak bola itu. Orang banyak dalam gereja itu bersorak. Mereka sehati dan sejiwa. Tetapi setelah ibadah bubar, hati dan jiwa mereka langsung ikut bubar. Mobil mereka saling berebut jalan untuk keluar dari lahan parkir. Bahkan ketika mobil mereka hampir bersenggolan, mereka mengo­mel dan saling pelotot. Padahal beberapa menit sebelumnya mereka sama-sama berseru, “Puji Tuhan!” Tidak ada satu mobil pun yang membuka jendela dan menawarkan tumpangan kepada nenek dari gereja itu yang sedang menunggu taksi. Tidak ada yang menolong kakek dari gereja itu untuk menyeberang jalan. Mereka tidak peduli satu sama lain.

Apa artinya peduli? Sering peduli diartikan secara sempit. Peduli cuma diartikan menyumbang. Partai yang membagi sembako meng­aku diri peduli, padahal itu cuma bagi-bagi dengan tujuan mencari muka.

Peduli punya arti yang lebih dalam. Peduli berarti prihatin, mem­bela, mengindahkan, menghargai, mencukupi, melindungi, memeli­hara, dan merawat.

Gereja dimaksudkan supaya menjadi komunitas orang-orang yang saling peduli. Rasul Paulus menulis, “... jika satu anggota men­derita, semua anggota turut menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersuka cita” (1 Kor. 12:26).

Tetapi mana mungkin gereja menjadi komunitas saling peduli? Saling kenal pun tidak. Jangankan sesama anggota, pendeta pun tidak kenal anggotanya. Lagi pula, meskipun saling kenal sama sekali belum berarti bahwa anggota-anggota komunitas itu saling peduli.

5 Macam Kematangan Diri

Untuk bersikap peduli dibutuhkan syarat-syarat kematangan diri. Paling tidak, dibutuhkan lima macam kematangan diri.

Pertama, kematangan usia. Mustahil anak di bawah usia sepuluh tahun bisa peduli. Biasanya kita belajar peduli terhadap sau­dara atau teman mulai usia belasan tahun. Tetapi ada orang dewasa, sudah menikah dan punya anak, namun belum bisa peduli. Bahkan ada orang sampai lanjut usia tetap tidak bisa peduli.
Dari mana kita belajar peduli? Sikap peduli tumbuh dalam proses perkembangan waktu karena teladan. Kita melihat pendidik kita peka terhadap pen­deritaan orang lain. Sedikit demi sedikit kita belajar peduli karena berhadapan dengan penderitaan orang lain.

Kedua, kematangan sudut pandang. Kita belajar peduli ketika kita bisa melihat keadaan, bukan dari sudut pandang kita sendiri, melain­kan dari sudut pandang orang lain. Kita belajar memahami keadaan dia dan dunianya, seolah-olah kita berada dalam dunianya itu. Kita masuk ke dalam dunia orang lain. Kita ikut merasakan dambaannya dan juga kekecewaannya. Ketika kita duduk mendengarkan dambaan dan kekecewaannya, kita bukan sekadar berada dengan dia, melain­kan berada untuk dia.

Ketiga, kematangan untuk menerima orang lain. Peduli berarti bisa menerima orang itu sebagaimana dia adanya, bukan sebagai­mana kita inginkan. Mungkin orang ini cerewet, suka mengomel, marah-marah, kurang tahu berterima kasih, mendendam dan putus asa, tetapi itulah perasaan dan keadaannya.

Jika kita peduli pada orang itu, maka perasaannya yang terburuk pun kita sikapi dengan serius. Di sini terletak kelemahan banyak pendeta karena pendeta sering kali menanggapi perasaan itu justru dengan menghalangi komunikasi. Pendeta itu berkata, “Ibu anak Tuhan, Ibu tidak boleh membenci.” Padahal yang diperlukan ibu ini bukan pemberitahuan tidak boleh membenci, melainkan cara mengolah dan mengatasi perasaan bencinya.

Keempat, kematangan untuk menerima diri sendiri. Peduli ber­arti bertindak sebagaimana kita adanya. Kalau ketulusan kita hanya satu liter, janganlah kita mengobral perkataan sebanyak sepuluh liter. Kalau kita merasa setengah terpaksa, jangan kita memakai topeng muka senyum serba manis. Kalau kita melakukan ini sekadar kewajib­an, jangan kita sebut ini pelayanan. Kita tidak bisa peduli selama kita masih berpura-pura.

Kelima, kematangan untuk memberi diri. Memberi waktu, mem­beri tenaga dan memberi suatu pemberian sungguh mulia. Tetapi peduli berarti lebih dari itu. Peduli berarti memberi diri sendiri. Hubungan kita dengan dia bukan lagi sekadar hubungan dua entitas seperti hubungan kursi dan meja, melainkan kita memandang dia sebagai bagian dari kita dan memandang diri kita sebagai bagian dari dirinya. Kita membuat diri menjadi orang andalannya.

Menjadi Seperti Kristus Bagi Sesama
Itulah kedalaman arti sikap peduli. Buah dari sikap peduli adalah bahwa hidup dia menjadi hidup kita dan hidup kita menjadi hidup dia. Kita saling melibatkan diri. Kita mempedulikan dia seperti kita mempedulikan diri kita sendiri. Mungkin itu maksud Kristus ketika Ia menyuruh, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat. 22:39).
Gereja disuruh menjadi komunitas yang peduli, baik ke dalam maupun kepada masyarakat luas. Sebagaimana Kristus telah mem­pedulikan kita, begitulah kita disuruh untuk mempedulikan orang lain.
Tangan kita berubah menjadi tangan Kristus ketika kita menyuapkan sesendok bubur ke mulut nenek jompo. Senyum kita berubah men­jadi senyum Kristus ketika kita melihat nenek itu menikmati bubur tadi. Telinga kita berubah menjadi telinga Kristus ketika kita mendengar­kan rintihan nenek itu. Air mata kita berubah menjadi air mata Kristus ketika ikut menangis dengan nenek itu. (Andar Ismail)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar