Menembus Batas Tembok Pemisah
Tidak mudah berbuat baik di dunia yang sudah dilanda dengan kecurigaan semacam
ini. Memberi bantuan makanan dan minuman ketika terjadi bencana, bisa dianggap
sebagai bagian dari program konversi.
Memberi bantuan perbaikan sekolah, ada saja orang yang fanatik yang mencoba
menggagalkan karena dianggap sebagai politik uang. Menolong orang sakit dengan
pengobatan murah untuk rakyat kecil yang tak terjamah oleh jaminan kesehatan
pemerintah, diboikot hanya gara-gara dokter dan perawatnya agama tertentu.
Sampai ada rekan yang berujar: “Berbuat baik saja susah, apalagi berbuat
jahat”.
Fakta tersebut mudah dijumpai di daerah dan kalangan yang menganggap orang
yang berbeda – entah itu suku, ras, dan agama (SARA) – adalah alien yang harus dipertanyakan motivasinya.
Banyak pihak yang sudah tidak percaya tentang pemberian tanpa pamrih karena ukhuwah insaniyah (persaudaraan antara
sesama manusia).
Ini sempat memiriskan hati ketika tindak pemisahan yang mengatasnamakan
agama menjadi semakin gampang terlihat secara kasat mata. Bahkan acapkali
pemisahan dengan peraturan daerah ini jauh lebih tebal dari tembok Berlin dan
tembok China sekalipun. Ironis, tapi itulah batas yang tak kelihatan yang dibangun manusia melalui SARA
yang semestinya menjadi pemersatu.
Curiga Kebaikan
Hal ini dialami oleh seorang pengusaha yang dengan tulus membantu
memberikan beasiswa pada sejumlah mahasiswa perguruan tinggi yang beda agama
dengan pengusaha. Di sela-sela pemberian beasiswa tersebut, seorang mahasiswi – mestinya kalangan
intelektual yang akan menjadi pemimpin bangsa ini dikemudian hari – bertanya
“Kenapa Bapak yang beda suku dan agama dengan kami, mau memberikan beasiswa
kepada kami ?” Sebuah pertanyaan yang
menohok ke uluhati tentang apa motivasi di balik pemberian ini.
Si pengusaha menjawab sambil tersedu dan menyeka air mata karena tak tahan ketika menceritakan hal
ini di depan kami saat itu, “Saya tidak punya motivasi apa-apa. Saya hanya
ingin kalian lulus tanpa ada masalah soal keuangan. Hanya satu pesan saya,
ketika Anda berhasil
dan sukses nanti menjadi pemimpin, ingatlah bahwa ada orang yang berbeda suku
dan agama pernah menolong kalian. Saya minta, kalian meneruskan tongkat estafet
ini dengan memberi bantuan kepada mahasiswa lain yang sangat membutuhkan
bantuan kalian”. Kali ini si pengusaha terpaksa harus mengambil sapu tangan
untuk menyeka air matanya yang mengalir dengan deras.
Saya kenal pengusaha ini, tak gampang menunjukkan kesedihannya apalagi
sambil menangis. Selama saya menjadi moderator beliau dalam berbagai kesempatan
ceramah, hanya dua kali saya melihat beliau menangis ketika menjawab pertanyaan
saya. Yakni saat tadi, ketika saya tanya motivasinya memberi beasiswa justru
bukan untuk kalangan sendiri – slogan yang sudah akrab dengan telinga kita.
Kedua, ketika saya tanya kenapa dia mengundurkan diri dari perusahaan besar
yang membesarkan dirinya. Kali ini ia menjawab juga dengan perasaan terharu
bahwa ia bukan mengundurkan diri, tapi diminta mengundurkan diri karena dia berasal dari agama tertentu.
Baginya, bukan persoalan
jabatan apalagi keuangan – dia sudah sangat mapan dalam ukuran manapun di dunia
ini, tapi lebih kepada adanya pisau pemisah yang tidak ada kaitannnya dengan
prestasi yakni keyakinan.
Hukum Keseimbangan
Batas-batas yang virtual
seperti ini ternyata masih sangat tebal di masyarakat kita. Lalu, bagaimana caranya agar kita mampu
menembus batas tembok pemisah yang sangat tebal ini?
Pertama, setiap orang harus menyadari hukum
keseimbangan adalah kondisi terbaik yang dapat menciptakan masyarakat yang
hidup berdampingan dengan damai. Tanpa keseimbangan, akan ada perbedaan yang
semakin besar, yang
menyebabkan terbentuknya jurang pemisah yang lebar.
Agar keseimbangan terjadi, maka memberi perhatian pada masyarakat sekitar
menjadi amat penting. Kita harus berubah orientasi dari self (diri sendiri) ke arah surrounding (tetangga sekitar) terlebih dulu sebelum terlalu
terobsesi dengan bantuan masyarakat di seberang yang jauh di mata dan jauh di hati. Ini yang harus
kita lakukan tanpa pandang bulu, tanpa memandang suku, kekayaan dan agama
(SUKA).
Ketika kami melakukan program “act of kindness” beberapa saat silam, kami
pernah konsentrasi dengan memberi makanan dan minuman kepada orang yang sama
sekali tidak kita kenal. Kita memberi kepada petugas jalan tol, peminta di
lampu merah, atau pemulung yang ditemui secara acak di jalanan. Suatu saat, mata kami terarah pada anak tukang penjual rokok
di dekat rumah, ketidakseimbangan terjadi. Rumah kami mentereng sedang mereka
tinggal di gerobak rokok tempat mereka berjualan.
Timbul ide untuk “mengadopsi” salah satu anak mereka agar mampu bersekolah
sampai ke perguruan tinggi. Ketika ini kami lakukan, mereka bukan hanya senang
dan terharu, tapi tanpa kami
sadari mereka menjadi ‘satpam’ yang mengawasi rumah kami siang malam agar tidak
disatroni oleh tamu yang tidak diundang.
Ketika anaknya sudah lulus D3 bidang kesehatan, ia sudah tidak berpikir
melanjutkan bisnis ayahnya sebagai penjual rokok pinggir jalan, tapi sudah menjadi perawat di kota
asalnya. Ketika terjadi aliran dari self
ke surrounding, maka terjadi aliran
perdamaian dan putusnya pagar pemisah yang tak kelihatan, yakni jurang majikan dan tuan.
Kedua, ketika aliran dari self ke surrounding
sudah berjalan lancar, maka
aliran perlu diperbesar dengan membuat surrounding
memberkati ke society (masyarakat
luas). Bagaimana caranya? Ini bukan soal kemampuan, tapi kemauan. Kita dapat memperlebar keseimbangan
dari sekitar ke masyarakat banyak bukan dengan kekuatan kita sendiri, tapi dengan kekuatan sekitar yang sudah
kita kenal untuk berbagi buat masyarakat yang lebih luas. Kita bisa jadi
mediator, ambasador, fasilitator,
integrator, apapun sebutannya, intinya adalah memperluas jangkauan
melalui jaringan kita.
Ketika saya membawa proposal membantu rumah singgah anak terlantar misalnya
ke rekan pebisnis lain, bukan saja saya akan selalu berhasil melalui tembok
satpam dan sekretaris tapi juga mampu melampaui tembok ketidaktahuan kolega tersebut.
Hanya dengan sepuluh menit bicara, maka
tembok pemisah yang tebal itu – yang dirasakan pengurus yayasan dengan si
pebisnis – akan runtuh. Tidak sukar buat mereka merogoh kantong untuk menjadi
donatur.
Masalahnya adalah maukah kita
atau malukah kita menjadi mediator
soal donasi. Ketika pride muncul, maka kekuatan untuk menembus batas tembok
pemisah menjadi kecil.
Padahal kalau mau, kita mampu melakukannya. Kenapa tidak? (Paulus Bambang WS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar