Selasa, 20 Mei 2014

Motivasi



Menembus Batas Tembok Pemisah

Tidak mudah berbuat baik di dunia yang sudah dilanda dengan kecurigaan semacam ini. Memberi bantuan makanan dan minuman ketika terjadi bencana, bisa dianggap sebagai bagian dari program konversi. 

Memberi bantuan perbaikan sekolah, ada saja orang yang fanatik yang mencoba menggagalkan karena dianggap sebagai politik uang. Menolong orang sakit dengan pengobatan murah untuk rakyat kecil yang tak terjamah oleh jaminan kesehatan pemerintah, diboikot hanya gara-gara dokter dan perawatnya agama tertentu. Sampai ada rekan yang berujar: “Berbuat baik saja susah, apalagi berbuat jahat”.
 Fakta tersebut mudah dijumpai di daerah dan kalangan yang menganggap orang yang berbeda – entah itu suku, ras, dan agama (SARA) – adalah alien yang harus dipertanyakan motivasinya. Banyak pihak yang sudah tidak percaya tentang pemberian tanpa pamrih karena ukhuwah insaniyah (persaudaraan antara sesama manusia).
Ini sempat memiriskan hati ketika tindak pemisahan yang mengatasnamakan agama menjadi semakin gampang terlihat secara kasat mata. Bahkan acapkali pemisahan dengan peraturan daerah ini jauh lebih tebal dari tembok Berlin dan tembok China sekalipun. Ironis, tapi itulah batas yang tak kelihatan yang dibangun manusia melalui SARA yang semestinya menjadi pemersatu.

Curiga Kebaikan
 Hal ini dialami oleh seorang pengusaha yang dengan tulus membantu memberikan beasiswa pada sejumlah mahasiswa perguruan tinggi yang beda agama dengan pengusaha. Di sela-sela pemberian beasiswa tersebut, seorang mahasiswi – mestinya kalangan intelektual yang akan menjadi pemimpin bangsa ini dikemudian hari – bertanya “Kenapa Bapak yang beda suku dan agama dengan kami, mau memberikan beasiswa kepada kami ?”  Sebuah pertanyaan yang menohok ke uluhati tentang apa motivasi di balik pemberian ini.
 Si pengusaha menjawab sambil tersedu dan menyeka air mata karena tak tahan ketika menceritakan hal ini di depan kami saat itu, “Saya tidak punya motivasi apa-apa. Saya hanya ingin kalian lulus tanpa ada masalah soal keuangan. Hanya satu pesan saya, ketika Anda berhasil dan sukses nanti menjadi pemimpin, ingatlah bahwa ada orang yang berbeda suku dan agama pernah menolong kalian. Saya minta, kalian meneruskan tongkat estafet ini dengan memberi bantuan kepada mahasiswa lain yang sangat membutuhkan bantuan kalian”. Kali ini si pengusaha terpaksa harus mengambil sapu tangan untuk menyeka air matanya yang mengalir dengan deras.
 Saya kenal pengusaha ini, tak gampang menunjukkan kesedihannya apalagi sambil menangis. Selama saya menjadi moderator beliau dalam berbagai kesempatan ceramah, hanya dua kali saya melihat beliau menangis ketika menjawab pertanyaan saya. Yakni saat tadi, ketika saya tanya motivasinya memberi beasiswa justru bukan untuk kalangan sendiri – slogan yang sudah akrab dengan telinga kita. Kedua, ketika saya tanya kenapa dia mengundurkan diri dari perusahaan besar yang membesarkan dirinya. Kali ini ia menjawab juga dengan perasaan terharu bahwa ia bukan mengundurkan diri, tapi diminta mengundurkan diri karena dia berasal dari agama tertentu. Baginya, bukan persoalan jabatan apalagi keuangan – dia sudah sangat mapan dalam ukuran manapun di dunia ini, tapi lebih kepada adanya pisau pemisah yang tidak ada kaitannnya dengan prestasi yakni keyakinan.

Hukum Keseimbangan
Batas-batas yang virtual seperti ini ternyata masih sangat tebal di masyarakat kita. Lalu, bagaimana caranya agar kita mampu menembus batas tembok pemisah yang sangat tebal ini?
 Pertama, setiap orang harus menyadari hukum keseimbangan adalah kondisi terbaik yang dapat menciptakan masyarakat yang hidup berdampingan dengan damai. Tanpa keseimbangan, akan ada perbedaan yang semakin besar, yang menyebabkan terbentuknya jurang pemisah yang lebar.

Agar keseimbangan terjadi, maka memberi perhatian pada masyarakat sekitar menjadi amat penting. Kita harus berubah orientasi dari self (diri sendiri) ke arah surrounding (tetangga sekitar) terlebih dulu sebelum terlalu terobsesi dengan bantuan masyarakat di seberang yang jauh di mata dan jauh di hati. Ini yang harus kita lakukan tanpa pandang bulu, tanpa memandang suku, kekayaan dan agama (SUKA).
 Ketika kami melakukan program “act of kindness” beberapa saat silam, kami pernah konsentrasi dengan memberi makanan dan minuman kepada orang yang sama sekali tidak kita kenal. Kita memberi kepada petugas jalan tol, peminta di lampu merah, atau pemulung yang ditemui secara acak di jalanan. Suatu saat, mata kami terarah pada anak tukang penjual rokok di dekat rumah, ketidakseimbangan terjadi. Rumah kami mentereng sedang mereka tinggal di gerobak rokok tempat mereka berjualan.
Timbul ide untuk “mengadopsi” salah satu anak mereka agar mampu bersekolah sampai ke perguruan tinggi. Ketika ini kami lakukan, mereka bukan hanya senang dan terharu, tapi tanpa kami sadari mereka menjadi ‘satpam’ yang mengawasi rumah kami siang malam agar tidak disatroni oleh tamu yang tidak diundang.
Ketika anaknya sudah lulus D3 bidang kesehatan, ia sudah tidak berpikir melanjutkan bisnis ayahnya sebagai penjual rokok pinggir jalan, tapi sudah menjadi perawat di kota asalnya. Ketika terjadi aliran dari self ke surrounding, maka terjadi aliran perdamaian dan putusnya pagar pemisah yang tak kelihatan, yakni jurang majikan dan tuan.

Kedua, ketika aliran dari self ke surrounding sudah berjalan lancar, maka aliran perlu diperbesar dengan membuat surrounding memberkati ke society (masyarakat luas). Bagaimana caranya? Ini bukan soal kemampuan, tapi kemauan. Kita dapat memperlebar keseimbangan dari sekitar ke masyarakat banyak bukan dengan kekuatan kita sendiri, tapi dengan kekuatan sekitar yang sudah kita kenal untuk berbagi buat masyarakat yang lebih luas. Kita bisa jadi mediator, ambasador, fasilitator, integrator, apapun sebutannya, intinya adalah memperluas jangkauan melalui jaringan kita.
 Ketika saya membawa proposal membantu rumah singgah anak terlantar misalnya ke rekan pebisnis lain, bukan saja saya akan selalu berhasil melalui tembok satpam dan sekretaris tapi juga mampu melampaui tembok ketidaktahuan kolega tersebut. Hanya dengan sepuluh  menit bicara, maka tembok pemisah yang tebal itu – yang dirasakan pengurus yayasan dengan si pebisnis – akan runtuh. Tidak sukar buat mereka merogoh kantong untuk menjadi donatur.
 Masalahnya adalah maukah kita atau malukah kita menjadi mediator soal donasi. Ketika pride muncul, maka kekuatan untuk menembus batas tembok pemisah menjadi kecil. Padahal kalau mau, kita mampu melakukannya. Kenapa tidak? (Paulus Bambang WS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar