Senin, 26 Mei 2014

Monday Spirit



Harga Secangkir Kopi Hitam

 Saya termasuk salah seorang penggemar kopi hitam. Paling tidak, setiap hari saya menikmati satu sampai dua gelas kopi. Sekalipun demikian saya berusaha untuk menikmati kopi yang “biasa”. Artinya kopi yang orang kebanyakan pun menikmatinya. Dan, saya bersyukur karena cocok dengan merek tertentu, yang pastinya buatan dalam negeri.
Ada beberapa alasan saya memilih merek tersebut. Pertama, tentu karena saya merasa cocok dengan rasa dan aromanya. Kedua, merek tersebut sudah merakyat sehingga tidak terlalu sulit untuk mendapatkannya. Ketiga, harganya terjangkau. Selama ini saya berusaha untuk tidak menyukai apalagi menikmati makanan, minuman atau apa saja yang berharga mahal – karena jika demikian saya sendirilah yang akan dibuat repot.
Karena kopi yang saya gemari adalah kopi untuk semua lapisan, saya dapat menikmatinya di mana saja. Mulai dari penjaja kopi keliling dengan sepedanya, warung tegal dengan kursi kayunya, kafe-kafe yang bermusik serta berpendingin udara, bahkan sampai hotel bintang.
Hanya saja, yang menarik buat saya, dengan kopi yang sama dan tempat yang berbeda, harga yang dipatok berbeda-beda. Ketika membelinya di pedagang keliling, saya hanya membayar Rp 2.500. Namun, saat saya menikmatinya di hotel berbintang, harganya melambung sepuluh kali lipat. Padahal, rasanya sama – aromanya pun tidak berbeda.

Nilai Pembeda
Apa yang menyebabkan perbedaan harga secangkir kopi? Penyebabnya adalah wadah yang dipakai, tempat, dan suasananya. Ketika saya membeli secangkir kopi di pedagang keliling, wadah yang saya pakai minum adalah gelas plastik seperti gelas air mineral. Saya menikmatinya di pinggiran trotoar dekat sepeda penjual yang menuangkan air panasnya dari termos di belakang sepedanya.
Ketika saya menikmati kopi yang sama di warung tegal, saya memakai gelas kaca sederhana, dengan kursi kayu dan kipas angin kecil yang berputar di atas kepala. Tentunya sedikit lebih nyaman walaupun tidak terlalu nyaman. Udara di sekitar masih terasa panas. Asap rokok pengunjung lain juga sesekali menyesakkan napas.
Sementara, ketika saya memesan kopi yang sama di kafe-kafe, tempat yang digunakan adalah cangkir yang lebih cantik dengan piring kecil sebagai alasnya, diantar oleh pelayan dengan seragam yang rapih dan berdasi. Ruangannya nyaman dengan musik lembut yang diputar. Mereka yang ingin menikmati kopi dengan mengisap rokok disediakan tempat sendiri, sehingga tidak mengganggu pengunjung yang tidak merokok.
Saat saya memesan di hotel bintang lima, saya menikmatinya di ruang privat. Saya dapat memesannya dari kamar tempat saya menginap. Lalu pelayan mengantarnya dengan sopan dan meletakkannya di meja, menyerahkan bon pembayarannya untuk saya tanda tangani dan masuk dalam tagihan kamar yang saya pakai. Dan, yang tidak boleh dilupa adalah memberikan tip kepada pelayan hotel yang sudah mengantarkannya kepada saya.
Dengan demikian jelaslah bahwa yang membedakan harganya adalah tempat dan cara penyajiannya. Kopinya sama, merk dagangnya juga sama. Tetapi tempat yang dipakai dan cara penyajiannya membuat nilai jualnya menjadi berbeda. Semakin pantas tempat dan cara penyajiannya, semakin besar pula apresiasi yang akan diberikan.

Pribadi yang Pantas
Jadikanlah diri kita sebagai pribadi yang pantas untuk diapresiasi dengan baik. Untuk itu, tampilkanlah diri kita dengan pantas. Tunjukkanlah kepantasan itu di depan sesama kita, di antara rekan seprofesi, di antara mereka yang terhubung dengan kita. Dean Alfange dalam tulisannya I do not choose to be a common man mengungkapkan demikian:
Aku tidak memilih menjadi insan biasa,
memang hakku untuk menjadi luar biasa.
Aku mencari kesempatan bukan perlindungan.
Aku tidak ingin menjadi warga yang terkungkung, rendah diri, dan terpedaya karena dilindungi pihak berkuasa.
Aku siap menghadapi resiko terencana, berangan-angan, dan membina, untuk gagal dan sukses.

Aku menolak menukar insentif dengan derma.
Aku memilih tantangan hidup daripada derma.
Aku memilih tantangan hidup daripada kehidupan yang terjamin.
Kenikmatan mencapai sesuatu bukan utopia yang basi.

Selamat menjadi yang pantas: menampilkan diri dengan pantas dan berada di tempat yang pantas. (Imanuel Kristo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar