Ester Indahyani Jusuf
“Saya
Tak Akan Berpaling”
Tragedi
Berdarah Mei 1998 melatari perjuangan Ester
Indahyani Jusuf dalam penegakan HAM dan melawan rasialisme di bumi pertiwi.
Bersama Arnold Fransiskus Purba
(alm), Hotma Timbul Hutapea, Azet Hutabarat, Enin Supriyanto, Henry Lie dan
Johny Junaedy, Ester Jusuf
mendirikan Yayasan Solidaritas Nusa
Bangsa (SNB) sebagai alat perjuangan melawan rasialisme di Indonesia. Gerakan
ini mendapat dukungan luas dari masyarakat.
Mula-mula mereka mengadvokasi kasus
rasial yang terjadi di banyak wilayah di Indonesia. Namun seiring kesadaran
warga yang semakin tinggi, dan setelah
banyak peraturan dan kebijakan rasial dicabut oleh negara, mereka berfokus pada
upaya penyadaran soal persamaan hak dan kewajiban. Bahwa manusia dilahirkan
mempunyai hak dan kewajiban yang sama di muka hukum. “Pendidikan menjadi jalan masuk
kami untuk membangun kesadaran itu,” kata Ester.
Belakangan mereka
mendirikan Yayasan
Rebung Cendani untuk membantu anak menemukan jati dirinya sebagai manusia
merdeka. Mereka memberikan pendampingan
pada tingkat pendidikan dasar yang berwawasan lingkungan hidup dan berangkat
dari hak-hak anak seperti tercantum dalam Konvensi Hak Anak (KHA).
Sanggar yang berlokasi di pinggiran kota Depok, Jawa Barat itu
memberikan pendampingan pada komunitas anak dan remaja melalui Taman Bacaan Masyarakat Cendani (TBMC), Pendidikan
Lingkungan Hidup berbasis konservasi, pendidikan Multi Kultural, Media Anak (Koran Anak) dan
pendampingan masyarakat melalui diskusi warga. Ester menjadi direktur pelaksana sanggar ini.
Ibu tiga orang anak ini menampik semua yang ia lakukan
ini luar biasa. Menurutnya, banyak yang melakukan jauh lebih berani dan lebih besar darinya. “Namun karena Tuhan mau
angkat saya, maka saya ada di posisi saya sekarang. Dan itu mesti saya gunakan
maksimal untuk kemuliaan Tuhan. Jalan Tuhan sungguh tak terselami,” katanya.
“Selama ini
banyak media yang menulis berlebihan tentang saya. Padahal kalau bertemu ya,
saya ini biasa saja, he-he-he,” ujar Ester ketawa, suatu pagi awal Mei lalu. Berikut
ini percakapannya dengan Majalah INSPIRASI.
Apakah gerakan antirasialisme dan antidiskriminasi yang Anda
gelorakan hanya terkait etnis Tionghoa saja?
Tidak. Bahwa awal mula gerakan kami
dilatari oleh peristiwa 1998, iya. Tapi
kami tidak hanya terkait etnis Tionghoa. Sebab etnis mayoritas pun
mengalami diskriminasi di negeri ini. Memang kalau ada kasus yang terkait etnis
Tionghoa akan mendapat perhatian secara nasional. Padahal apa yang dialami
etnis Betawi di Jakarta, Papua dan Madura di Kalimantan, diskriminasi juga. Tapi
sekarang saya lebih concern pada
anak-anak.
Secara
umum bagaimana Anda menilai kondisi
penegakan HAM di Indonesia saat ini?
Penegakan
HAM masih amat bergantung pada kekuatan dan tawar-menawar politik dari para
pemegang kekuasaan. Pelanggaran HAM masa lalu atau masa sekarang masih jauh
dari harapan untuk bisa diselesaikan.
Pelanggaran
HAM berat seperti Tragedi Kemanusiaan Mei 1998 saja berkas perkara berhenti di
Kejaksaan Agung sejak tahun 2003 sampai sekarang. Yang ada hanya perdebatan
hukum tentang hal-hal yang tidak prinsip, prosedural. Esensi perdebatan
hanyalah upaya perlindungan terhadap pihak-pihak yang akan dimintai
pertanggungjawaban terhadap kejahatan berat itu. Perkara pelanggaran HAM berat
tahun 1965 jauh lebih berat upaya penyelesaiannya, baik secara sosial, hukum
maupun politik.
Saran
saya, selama keadilan maksimal belum bisa diberikan pada para korban, negara
dapat memberi prioritas penanganan nasib mereka, misal pemulihan hak-hak
mereka, ganti rugi dan rehabilitasi.
Langkah ini adalah bagian dari itikad baik untuk menyembuhkan luka para korban.
Bagaimana Anda menilai
korban pelanggaran HAM yang justru melemahkan upaya penegakan HAM?
Ini memang fenomena yang tidak
diharapkan. Tetapi, itulah realita. Orang yang semula menjadi korban
pelanggaran HAM begitu mudah menukar idealismenya hanya karena uang atau
kesempatan.
Saya tak ingin menghakimi mereka.
Tetapi, tindakan mereka itu merugikan penegakan HAM secara umum. Pandangan pada
HAM atau kemanusiaan menjadi demikian rendahnya. Ini tantangan untuk mereka
yang terus berteriak soal penegakan HAM. Apalagi, tak ada jaminan apa-apa untuk
mereka yang terus memperjuangkan penegakan HAM.
Apa yang mendorong Anda
terus menggeluti bidang ini?
Kalau hukum dan HAM secara umum
memang tak ada hal yang khusus. Pada saat lulus SMA, papa dan seorang pendeta
meminta saya masuk fakultas hukum sehingga suatu saat saya bisa membela orang-orang lemah. Bagi saya sederhana
saja; jika Tuhan izinkan, saya mau masuk fakultas hukum yang baik dan tidak
menyuap orang. Ya, seperti jalan di karpet merah, Tuhan memberikan jalan itu. Sampai sekarang secara organisasi
semua berjalan dengan baik.
Jadi,
tidak ada peristiwa khusus?
Tidak ada
peristiwa khusus, tetapi dengan banyak mengalami peristiwa membuat saya tak mungkin mundur lagi. Dulu, kadang kala
ingin mundur, ingin berhenti. Lelah juga. Tetapi, mengingat para korban, ya mau
mundur bagaimana caranya? Siapa yang mau membantu mereka?
Ketika saya lelah, saya ingat wajah korban pelanggaran HAM.
Saya berjanji agar keadilan terungkap. Tetapi janji kan bisa diingkari. Akan tetapi,
setelah berjalan dan bertemu ribuan korban, bagaimana mundurnya? Tidak mungkin.
Kita sudah melihat ribuan korban ketidakadilan. Siapa yang mau menyentuh mereka?
Jika negara peduli dan masyarakat mendukungnya, mungkin saatnya saya mundur.
Masalahnya selesai.
Mengapa
Anda memilih penegakan HAM?
Tuhan membuka mata saya untuk
melihat banyak ketidakadilan dan pelanggaran hukum dan HAM, termasuk melihat
banyak aturan dan kebijakan hukum yang tidak adil. Apa
yang saya lakukan adalah pertanggungjawaban iman dan respons atas cinta Tuhan. Saya percaya Tuhan memimpin
tiap langkah hidup saya. Tuhan amat cinta dan baik pada saya. Dan ini yang
membuat saya tidak akan berpaling
sedikit pun.
Pernahkah
Anda mendapat ancaman-ancaman karena kegiatan ini?
Ancaman bukan hal yang penting untuk
jadi fokus pemikiran. Saya memilih fokus pada pekerjaan.
Bagaimana
cara gereja atau lembaga Kristen lainnya dapat berperan dalam penegakan HAM?
Kita selama ini baru sebatas melayani
"diri sendiri". Diri sendiri maksud saya adalah jemaat sendiri. Para
pimpinan gereja atau lembaga Kristen harus mendorong jemaat keluar untuk hidup
kudus, menjadi garam dan terang, masuk seperti tanaman sesawi yang tumbuh
mengakar dalam struktur masyarakat dalam segala bidang, terutama ekonomi dan
pendidikan. Ada gereja yang sudah melakukannya, tetapi masih banyak yang
apatis.
Apa
arti menjadi orang Kristen bagi Anda?
Menjadi
orang Kristen adalah menerima anugerah Tuhan dan hidup dalam iman.
Bagaimana
Anda menjalani hari-hari bersama keluarga?
Saya
dan anak-anak belajar bersama untuk hidup benar dan bertanggung jawab pada Tuhan.
Kami tahu ini tidak mudah tapi itu adalah pilihan.
BIODATA
Ester Indahyani Jusuf
(Sim Ai Ling)
· Tempat/Tanggal
Lahir : Malang, 15 Januari 1971
· Gereja : Gereja Reformed Injili
Indonesia
Pendidikan
·
1990-1996
: Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Aktivitas:
·
1995-1998
: Pembela Umum Publik Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Jakarta
·
1998-
sekarang : Ketua Pengurus Solidaritas Nusa Bangsa (SNB)
·
1998-
sekarang : Pembicara untuk berbagai forum dan diskusi antidiskriminasi rasial,
baik nasional maupun international
·
2002-2003:
Pendiri dan pengurus Yayasan Kasut Perdamaian, Pendiri dan Pengurus Lembaga
Kajian Masalah Kebangsaan (elkasa), Sekretaris Tim Ad Hoc Komnas HAM untuk
Kasus Kerusuhan Mei 1998, Fellow Ashoka Foundation
·
2005-sekarang
: Anggota Dewan Etik Asosiasi Penasihat Hukum dan Pembela HAM Indonesia,
Pengurus Yayasan Pengkajian Hukum Indonesia.
·
2008-
sekarang : Gunawan, Ester, Hotma and Partners
·
2009-sekarang
: Wakil Pimred Majalah Sinergi Indonesia,
Redaksi Majalah Suara Baru, Pendiri Info Praktis (Web pendidikan hukum awam)
·
2011-
sekarang: Direktur Pelaksana Yayasan Rebung Cendeni
Penghargaan
·
1999
: Forum of Human Rights
·
2000:
Majalah MATRA
·
2001:
Yap Thiam Hien
·
2003
: Ashoka Foundation
·
2008
: Elham
Tidak ada komentar:
Posting Komentar