Pantang
Menadahkan Tangan
Mungkin ada di antara Anda mungkin ada yang pernah melihat nenek-nenek
penjual koran di lampu merah fly over Pasar Senen. Orangnya sudah renta,
jalannya pincang lantaran kakinya (maaf) bengkok. Mak Iyah, begitu ia
dipanggil. Mak Iyah identik dengan kemiskinan. Tak punya rumah, tak punya
warisan, tak punya pekerjaan tetap… bahkan anak bungsu dari dua orang anaknya
mengidap—maaf—sakit jiwa. Yang patut disaluti dari Mak Iyah adalah: PANTANG
MENGEMIS atau MENADAHKAN TANGAN.
Mak Iyah menjadi salah satu sosok yang menginspirasi terkait tema Pantang
Menadahkan Tangan pada INSPIRASI edisi Mei ini.
Ada sosok lain: Erwin Tenggono. Sulung dari 6 bersaudara ini lahir dari
keluarga pas-pasan… Mereka tinggal di rumah bedeng seluas 30 meter2.
Sejak kelas IV SD dia harus bangun pagi-pagi buta membantu orangtuanya. Berjualan
pisang goring sebelum sekolah, dilanjutkan jualan amplang, empek-empek usai
sekolah.
Ketika SMA, pagi hingga siang ia menjaga gudang di pasar plus kerjaan
serabutan lainnya. Pulang sekolah saat petang menjelang, ia masih sempatkan
diri menjadi kuli panggul di pasar. Sama dengan Mak Iyah, Erwin Tenggono juga
termasuk orang yang tidak sudi meminta belas kasihan orang lain. Bangun
pagi-pagi, kerja kersa, tidak boleh gengsi, biarpun susah merupakan ajaran
ibunya yang dipegang teguh Erwin. Dari perkampungan kumuh, Erwin berhasil
menjadi presiden direktur di perusahaan farmasi skala internasional. Setelah
pensiun dini, kini Erwin menjadi CEO di Vivere Group.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar