Bukan MENGAPA, Melainkan BAGAIMANA?
Bacaan: Mazmur 62:6-9
Kita sering mendengar orang berkata, ”Baru kemarin si
Badu berulang tahun. Namun, sekarang ia sudah tiada!” Atau perkataan,
”Dulu Lita seorang olahragawan yang hebat, tapi mengapa kini ia cacat?” Atau
juga perkataan, ”Selama puluhan tahun ini Andy menjadi pengusaha yang
terkenal, tapi mengapa sekarang hidupnya kekurangan?” Orang merasa heran dan
bertanya-tanya, mengapa peristiwa-peristiwa seperti itu bisa terjadi? Mengapa
orang tak selamanya sukses? Mengapa kejayaan manusia itu tidak abadi?
Warna Warni Kehidupan
Hal ini makin menegaskan bahwa kehidupan manusia tidak
melulu senang. Hidup manusia tak selamanya bahagia. Ada saat-saat tertentu berbagai masalah,
kemelut, dan pergumulan datang dalam kehidupan ini. Tidak jarang datangnya bertubi-tubi.
Masalah yang satu belum selesai, datang masalah yang lain. Masalah yang lain
belum beres, muncul masalah yang lainnya lagi. Begitulah seterusnya.
Semua manusia pasti ingin hidup senang, bahagia, dan sejahtera. Tidak ada
yang ingin hidupnya penuh masalah, penderitaan, dan air mata. Tapi sayang,
keinginan itu tidak selalu terpenuhi. Suka atau tidak suka, kesimpulannya
tetap. Hidup manusia di dunia ini tidak selamanya senang, indah, dan bahagia.
Hidup manusia di dunia ini kadang kala diwarnai masalah, pergumulan, dan
penderitaan. Berbagai masalah tetap akan dihadapi dan dialami oleh setiap
orang. Siapa pun dia. Tanpa kecuali.
Sikap Yang Benar
Yang menjadi persoalan itu bukanlah mengapa hidup manusia
di dunia ini penuh masalah dan penderitaan? Bukan! Persoalan sebenarnya adalah
bagaimana sikap manusia dalam menghadapi masalah dan penderitaan dalam hidup
ini? Sekali lagi, yang jadi pertanyaan bukan, ”Mengapa saya menderita?”,
melainkan, ”Bagaimana sikap saya dalam menghadapi penderitaan?”
Banyak orang menjadi bingung, panik, bahkan putus asa
ketika menghadapi masalah dan penderitaan. Bahkan tidak sedikit yang sampai
menempuh jalan pintas dengan mengakhiri hidupnya. Tahun
1990, misalnya, sebuah sekte keagamaan di Meksiko melakukan bunuh diri massal.
Para anggota sekte itu mencoba lari dari kenyataan hidup yang berat dan mencari
kehidupan yang lebih tenang dengan melakukan bunuh diri. Mereka berkata bahwa
”tuhan” mereka telah menunggu kedatangan mereka ”di sana”.
Ini contoh orang yang menempuh jalan pintas karena tak kuat
menghadapi masalah berat dalam hidupnya.
Mendekat Pada Allah
Tentu bukan demikian sikap yang harus dimiliki oleh orang
percaya dalam menghadapi masalah dan penderitaan. Daud contohnya! Dalam
hidupnya, Daud pun banyak menghadapi masalah dan penderitaan. Bagaimana sikap Daud dalam
mengatasi keadaan yang berat itu? Apakah Daud menjadi panik dan putus asa?
Apakah Daud mencari perlindungan pada orang-orang yang berkuasa? Ataukah Daud lalu meminta
pertolongan kepada ”orang-orang pintar”? Ternyata tidak! Alkitab menunjukkan
bahwa Daud datang mendekat dan menyerahkan semua pergumulannya kepada
Allah.
Inilah sikap yang tepat dan benar. Daud tahu bahwa kuasa
Allah jauh lebih besar daripada semua masalah dan penderitaan yang dialaminya.
Setelah Daud mendekat dan berserah kepada Allah, Daud merasa tenang. Dia merasa
Allah
hadir dalam hidupnya dan menyertainya. Oleh karena itu, Daud berkata, ”Hanya
Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah.”
Arti perkataan Daud ini ialah ketika Daud mendekat dan
menyerahkan
masalahnya kepada Allah, ia merasakan Allah itu seperti gunung batu, tempat
berlindung yang kokoh, yang tetap tegar sekalipun dihantam ombak, gelombang,
dan badai.
Daud juga merasakan bahwa Allah itu seperti kota yang berbenteng kuat, yang
melindungi orang-orang di dalamnya. Pada zaman itu kota yang tidak ada
bentengnya adalah kota yang lemah, yang mudah diserang dan dihancurkan musuh.
Percaya Setiap Waktu
Daud mampu menghadapi dan mengatasi masalahnya bukan
karena ia hebat, bukan karena ia kuat, melainkan karena Allah yang memberi
kekuatan dan menolongnya. Daud menegaskan hal ini pada ayat 8, ”Pada Allah ada
keselamatanku dan kemuliaanku; gunung batu kekuatanku, tempat perlindunganku
ialah Allah.” Berdasarkan pengalamannya itu, Daud lalu mengajak semua orang
percaya untuk mencontoh sikapnya, yaitu percaya pada Allah, dan menyerahkan semua
penderitaan dan masalah dalam hidup ini kepada Allah. Allah pasti bertindak. Allah
pasti menolong umat-Nya.
Kata Daud, ”Percayalah kepada-Nya setiap waktu, hai umat,
curahkanlah isi hatimu di hadapan-Nya; Allah ialah tempat perlindungan kita.”
Di sini Daud juga menekankan bahwa percaya kepada Allah itu harus setiap waktu, bukan
sewaktu-waktu. Tak ada artinya percaya pada Allah jika hanya
sewaktu-waktu. Sebab percaya yang sewaktu-waktu, sebenarnya sama saja dengan
tidak percaya kepada Allah.
Pergumulan yang Sama
Keadaan dan situasi kita sekarang jelas berbeda dengan keadaan dan situasi
bangsa Israel pada masa pemerintahan Raja Daud. Namun demikian, tetap saja ada
kesamaannya. Pada zaman ini kita pun mempunyai tantangan hidup – sama seperti yang dialami Daud.
Kita pun menghadapi banyak masalah dan pergumulan, bahkan pergumulan berat –
sama seperti
Daud. Semua itu dapat membuat kita menderita.
Kalau mau jujur, kita pasti sepakat bahwa tak seorang pun
ingin menderita. Tak seorang pun mau hidup dalam pergumulan. Sebaliknya, setiap
orang menginginkan kesenangan dan merindukan kebahagiaan. Napoleon Bonaparte
pernah berkata, ”(Sebenarnya) penderitaan itu lebih mengerikan daripada
kematian.” Artinya, menurut Napoleon, lebih baik mati daripada hidup dalam penderitaan. Sayangnya, penderitaan dan
masalah hidup tak dapat kita hindari. Penderitaan dan masalah hidup selalu datang tanpa
permisi dan tanpa diundang.
Berharap
pada Allah
Dalam mazmurnya Daud menasihati dan mengajak semua orang percaya
untuk mendekat dan berharap kepada Allah. Itulah sikap yang benar dalam
menghadapi penderitaan dan masalah hidup. Nasihat Daud tersebut juga berlaku
bagi kita pada masa kini.
Tidak ada artinya jika kita sekadar menjadi Kristen tanpa
pernah berharap dan berserah kepada Tuhan Yesus. Tidak ada artinya kita selalu
berdoa bila itu hanya sebatas ucapan di bibir tanpa disertai iman. Juga tak ada
artinya kita rajin beribadah bila itu sekadar rutinitas dan kebiasaan,
sedangkan sikap hidup kita tidak sesuai dengan ibadah kita.
Bunga Plastik
Janganlah kita menjadi orang Kristen ”bunga plastik” yang dari jauh kelihatan indah,
tetapi sebenarnya cuma bunga palsu. Bunga itu tampaknya hidup, tetapi
sebetulnya mati. Jangan sampai hidup kita juga demikian. Sepintas lalu kita
tampaknya beriman teguh. Namun, ada masalah sedikit saja kita sudah jatuh.
Orang Kristen ”bunga plastik” adalah orang Kristen yang hidup tanpa kepercayaan dan
pengharapan kepada Tuhan. Tuhan Yesus sama sekali tidak berkenan terhadap orang Kristen
yang demikian.
Sebaliknya, yang Yesus inginkan adalah orang Kristen yang
menaruh kepercayaan dan pengharapan penuh kepada-Nya. Baik waktu suka maupun
waktu duka. Baik ketika merasakan sukacita maupun ketika berada dalam penderitaan
dan pergumulan. Tuhan Yesus tidak pernah dan tidak akan pernah meninggalkan
orang-orang yang selalu berharap kepada-Nya. Dialah gunung batu dan kota
benteng yang kokoh bagi umat-Nya. Dalam Matius 11:28, Tuhan Yesus sendiri
berkata dan memberi jaminan kepada orang yang datang kepada-Nya, ”Marilah
kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan
kepadamu.” Sungguh indah perkataan Tuhan Yesus ini.
Jejak Kaki
Saya teringat sebuah cerita. Pada suatu malam, seseorang
tidur dan bermimpi. Ia sedang berjalan bersama Tuhan di tepi pantai. Setelah
berjalan beberapa saat, orang itu lalu melihat ke belakang. Tampaklah berjajar
empat jejak kaki di sepanjang pasir pantai tersebut. Sepasang jejak kakinya
dan sepasang jejak kaki Tuhan. Namun, ketika mereka berjalan semakin jauh
dan melelahkan, ia menoleh lagi ke belakang. Yang ia lihat di atas pasir pantai
hanya tinggal sepasang jejak kaki saja.
Orang itu terheran-heran dan bertanya kepada Tuhan, ”Tuhan,
mengapa yang kelihatan sekarang hanya sepasang jejak kaki saja? Bukankah pada saat
itu aku
sedang mengalami pergumulan yang hebat? Di mana Engkau ketika itu Tuhan?” Tuhan
menjawab, ”Anak-Ku, engkau telah begitu lelah dalam perjalanan ini. Jadi, Aku
menggendong engkau. Kau tidak perlu berjalan lagi. Akulah yang berjalan bagimu.”
(Yohannes
Vivere Pericoloso Palar, Pendeta Jemaat GPIB Bukit Benuas, Balikpapan
(2008-sekarang).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar