Rabu, 26 Maret 2014

Firman Hidup



Bukan MENGAPA,  Melainkan BAGAIMANA?


Bacaan: Mazmur 62:6-9


Kita sering mendengar orang berkata, ”Baru ke­marin si Badu berulang tahun. Namun, sekarang ia su­dah tiada!” Atau perkataan, ”Dulu Lita seorang olah­ragawan yang hebat, tapi mengapa kini ia cacat?” Atau juga perkataan, ”Selama puluhan tahun ini Andy menjadi peng­usaha yang terkenal, tapi mengapa sekarang hidupnya ke­kurangan?” Orang merasa heran dan bertanya-tanya, meng­apa peristiwa-peristiwa seperti itu bisa terjadi? Mengapa orang tak selamanya sukses? Mengapa kejayaan manusia itu tidak abadi?

Warna Warni Kehidupan
Hal ini makin menegaskan bahwa kehidupan manusia tidak melulu senang. Hidup manusia tak selamanya bahagia. Ada saat-saat tertentu berbagai masalah, kemelut, dan pergumulan datang dalam kehidupan ini. Tidak jarang datangnya bertubi-tubi. Masalah yang satu belum selesai, datang masalah yang lain. Masalah yang lain belum beres, muncul masalah yang lainnya lagi. Begitulah seterusnya.

Semua manusia pasti ingin hidup senang, bahagia, dan sejahtera. Tidak ada yang ingin hidupnya penuh masalah, penderitaan, dan air mata. Tapi sayang, keinginan itu tidak selalu terpenuhi. Suka atau tidak suka, kesimpulannya tetap. Hidup manusia di dunia ini tidak selamanya senang, indah, dan bahagia. Hidup ma­nusia di dunia ini kadang kala diwarnai masalah, pergumulan, dan penderitaan. Berbagai masalah tetap akan dihadapi dan dialami oleh setiap orang. Siapa pun dia. Tanpa kecuali.

Sikap Yang Benar
Yang menjadi persoalan itu bukanlah mengapa hidup manusia di dunia ini penuh masalah dan penderitaan? Bukan! Persoalan sebenarnya adalah bagaimana sikap manusia dalam menghadapi masa­lah dan penderitaan dalam hidup ini? Sekali lagi, yang jadi pertanyaan bukan, ”Mengapa saya menderita?”, melainkan, ”Bagaimana sikap saya dalam menghadapi penderitaan?”

Banyak orang menjadi bingung, panik, bahkan putus asa ketika menghadapi masalah dan pende­ritaan. Bahkan tidak sedikit yang sampai menempuh jalan pintas dengan mengakhiri hidupnya. Tahun 1990, misalnya, sebuah sekte keagamaan di Meksiko melakukan bunuh diri massal. Para anggota sekte itu mencoba lari dari kenyataan hidup yang berat dan mencari kehidupan yang lebih tenang dengan melakukan bunuh diri. Mereka berkata bahwa ”tuhan” me­reka telah menunggu kedatangan mereka ”di sana”. Ini con­toh orang yang menempuh jalan pintas karena tak kuat menghadapi masalah berat dalam hidupnya.

Mendekat Pada Allah
Tentu bukan demikian sikap yang harus dimiliki oleh orang percaya dalam menghadapi masalah dan penderita­an. Daud contohnya! Dalam hidupnya, Daud pun banyak menghadapi masalah dan penderitaan. Bagaimana si­kap Daud dalam mengatasi keadaan yang berat itu? Apakah Daud menjadi panik dan putus asa? Apakah Daud men­cari perlindungan pada orang-orang yang berkuasa? Atau­kah Daud lalu meminta pertolongan kepada ”orang-orang pintar”? Ternyata tidak! Alkitab menunjukkan bahwa Daud datang mendekat dan menyerahkan semua pergumulannya kepada Allah.

Inilah sikap yang tepat dan benar. Daud tahu bahwa kuasa Allah jauh lebih besar daripada semua masalah dan penderitaan yang dialaminya. Setelah Daud mendekat dan berserah kepada Allah, Daud merasa tenang. Dia merasa Allah hadir dalam hidupnya dan menyertainya. Oleh ka­rena itu, Daud berkata, ”Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah.”

Arti perkataan Daud ini ialah ketika Daud mendekat dan menye­rahkan masalahnya kepada Allah, ia merasakan Allah itu seperti gunung batu, tempat berlindung yang kokoh, yang tetap tegar sekalipun dihantam ombak, gelombang, dan ba­dai. Daud juga merasakan bahwa Allah itu seperti kota yang berbenteng kuat, yang melindungi orang-orang di dalamnya. Pada zaman itu kota yang tidak ada bentengnya adalah kota yang lemah, yang mudah diserang dan dihancurkan musuh.

Percaya Setiap Waktu
Daud mampu menghadapi dan mengatasi masalahnya bukan karena ia hebat, bukan karena ia kuat, melainkan karena Allah yang memberi kekuatan dan menolongnya. Daud menegaskan hal ini pada ayat 8, ”Pada Allah ada ke­selamatanku dan kemuliaanku; gunung batu kekuatanku, tempat perlindunganku ialah Allah.” Berdasarkan peng­alamannya itu, Daud lalu mengajak semua orang percaya untuk mencontoh sikapnya, yaitu percaya pada Allah, dan menyerahkan semua penderitaan dan masalah dalam hidup ini kepada Allah. Allah pasti bertindak. Allah pasti meno­long umat-Nya.

Kata Daud, ”Percayalah kepada-Nya setiap waktu, hai umat, curahkanlah isi hatimu di hadapan-Nya; Allah ialah tempat perlindungan kita.” Di sini Daud juga menekankan bahwa percaya kepada Allah itu harus setiap waktu, bukan sewaktu-waktu. Tak ada artinya percaya pada Allah jika hanya sewaktu-waktu. Sebab percaya yang se­waktu-waktu, sebenarnya sama saja dengan tidak percaya kepada Allah.


Pergumulan yang Sama
Keadaan dan situasi kita sekarang jelas berbeda dengan keadaan dan situasi bangsa Israel pada masa pemerintahan Raja Daud. Namun demikian, tetap saja ada kesamaannya. Pada zaman ini kita pun mempunyai tantangan hidup – sa­ma seperti yang dialami Daud. Kita pun menghadapi banyak masalah dan pergumulan, bahkan pergumulan berat – sama seperti Daud. Semua itu dapat membuat kita menderita.

Kalau mau jujur, kita pasti sepakat bahwa tak seorang pun ingin menderita. Tak seorang pun mau hidup dalam pergumulan. Sebaliknya, setiap orang menginginkan kese­nangan dan merindukan kebahagiaan. Napoleon Bonaparte pernah berkata, ”(Sebenarnya) penderitaan itu lebih me­ngerikan daripada kematian.” Artinya, menurut Napoleon, lebih baik mati daripada hidup dalam penderitaan. Sayang­nya, penderitaan dan masalah hidup tak dapat kita hindari. Penderitaan dan masalah hidup selalu datang tanpa permisi dan tanpa diundang.

Berharap pada Allah
Dalam mazmurnya Daud menasihati dan mengajak semua orang percaya untuk mendekat dan berharap kepada Allah. Itulah sikap yang benar dalam menghadapi penderitaan dan masa­lah hidup. Nasihat Daud tersebut juga berlaku bagi kita pada masa kini.

Tidak ada artinya jika kita sekadar menjadi Kristen tanpa pernah berharap dan berserah kepada Tuhan Yesus. Tidak ada artinya kita selalu berdoa bila itu hanya sebatas ucapan di bibir tanpa disertai iman. Juga tak ada artinya kita rajin beribadah bila itu sekadar rutinitas dan kebiasaan, sedangkan sikap hidup kita tidak sesuai de­ngan ibadah kita.

Bunga Plastik
Janganlah kita menjadi orang Kristen ”bunga plastik” yang dari jauh kelihatan indah, tetapi se­benarnya cuma bunga palsu. Bunga itu tampaknya hidup, tetapi sebetulnya mati. Jangan sampai hidup kita juga de­mikian. Sepintas lalu kita tampaknya beriman teguh. Na­mun, ada masalah sedikit saja kita sudah jatuh. Orang Kris­ten ”bunga plastik” adalah orang Kristen yang hidup tanpa kepercayaan dan pengharapan kepada Tuhan. Tuhan Yesus sama sekali tidak berkenan terhadap orang Kristen yang demikian.

Sebaliknya, yang Yesus inginkan adalah orang Kristen yang menaruh kepercayaan dan pengharapan penuh kepa­da-Nya. Baik waktu suka maupun waktu duka. Baik ketika merasakan sukacita maupun ketika berada dalam penderi­taan dan pergumulan. Tuhan Yesus tidak pernah dan tidak akan pernah meninggalkan orang-orang yang selalu berha­rap kepada-Nya. Dialah gunung batu dan kota benteng yang kokoh bagi umat-Nya. Dalam Matius 11:28, Tuhan Yesus sendiri berkata dan memberi jaminan kepada orang yang datang kepada-Nya, ”Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” Sungguh indah perkataan Tuhan Yesus ini.

Jejak Kaki
Saya teringat sebuah cerita. Pada suatu malam, seseorang tidur dan bermimpi. Ia sedang berjalan bersama Tuhan di tepi pantai. Setelah berjalan beberapa saat, orang itu lalu melihat ke belakang. Tampaklah berjajar empat je­jak kaki di sepanjang pasir pantai tersebut. Sepasang jejak kakinya dan sepasang jejak kaki Tuhan. Namun, ketika me­reka berjalan semakin jauh dan melelahkan, ia menoleh lagi ke belakang. Yang ia lihat di atas pasir pantai hanya tinggal sepasang jejak kaki saja.

Orang itu terheran-heran dan berta­nya kepada Tuhan, ”Tuhan, mengapa yang kelihatan seka­rang hanya sepasang jejak kaki saja? Bukankah pada saat itu aku sedang mengalami pergumulan yang hebat? Di mana Engkau ketika itu Tuhan?” Tuhan menjawab, ”Anak-Ku, engkau telah begitu lelah dalam perjalanan ini. Jadi, Aku menggendong engkau. Kau tidak perlu berjalan lagi. Aku­lah yang berjalan bagimu.” (Yohannes Vivere Pericoloso Palar, Pendeta Jemaat GPIB Bukit Benuas, Balikpapan (2008-sekarang).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar