Kamis, 27 Maret 2014

Spotlight

Putra Nababan (1)
CINTA PUTRA KEPADA JURNALISTIK

Putra Nababan (39) sebenarnya sudah meneken kontrak dengan sebuah koran di Nebraska, AS. Tetapi tiba-tiba datang telepon dari Jakarta.

“Hei Putra, segeralah kau pulang ke Indonesia. Soeharto mau jatuh,”  Putra menirukan telepon dari ayahnya, Panda Nababan, suatu kali pada tahun 1994.  Saat itu Putra baru saja menyelesaikan sekolah jurnalistiknya di  Mitland  Lutheran  College, Fremont, Nebraska, Amerika. Ia juga sudah meneken kontrak $20 ribu setahun untuk menjadi reporter di sebuah koran di sana.

“Eh, siapa yang tidak mau melihat Soeharto jatuh waktu itu? Eforia banget kita kan? Saya juga begitu, meskipun Pak Harto benar-benar undur diri baru 4 tahun kemudian,” kata Putra.

Telepon itu hanya akal-akalan ayahnya saja. Dia khawatir Putra tidak mau pulang Indonesia. “Papa  saya khawatir, kalau saya lama dikit di Amerika, saya bisa nikah dengan boru sana. Soalnya dia lihat banyak contoh, orangtua kirim anak sekolah ke luar negeri, mereka tidak mau pulang lagi. Ayah saya takut kalau saya kehilangan akar  Batak, ha … ha … ha … ha,”  Putra tertawa.

Di Jakarta, ia magang reporter di majalah Forum Keadilan. Ayahnya wakil pemimpin umum di majalah ini. Pemimpin redaksinya, Karni Ilyas. Tetapi, kata Putra, dia tidak minta perlakuan khusus. Sebagai calon reporter, kerap ia diplonco oleh senior-seniornya. Ada yang suruh bikinin kopi tiap hari. Ada yang kalau sedang liputan menyuruhnya menenteng kameranya. Pokoknya, benar-benar diplonco. 

Kata Putra, “Bapak saya ndak tahu sama sekali kalau saya dikerjain anak buahnya. Nenteng kamera fotografer senior pun saya lakukan. Suatu kali, mereka mau ke Cilangkap. Mereka suruh saya nunggu di depan kantor Departemen Perdagangan  dari  jam 5 pagi.  Padahal baru jam 7 mereka datang.  Saya iya saja karena saya sudah lewatin yang lebih berat di Amerika.”

Saking nakalnya waktu di SMP, ia diikutkan program pertukaran pelajar ke Iowa City oleh orangtuanya. Usianya baru 14 tahun. Anak kecil dengan  bahasa Inggris patah-patah, tinggal jauh dari orangtua dan mendapatkan orangtua angkat yang sangat disiplin.

“Ah, gentar betul saya waktu itu. Nakal saya langsung luruh. Saya tahu papa melakukan ini karena dia khawatir saya tidak akan jadi orang. Waktu SMP saya itu nakal sekali. Setiap hari pasti berkelahi atau curi mangga tetangga, lemparin rumah orang. Tetapi pas pembagian rapor pasti kena tampar dari papa karena nilainya merah semua,” kenang Putra.

Titik baliknya adalah Amerika. Hanya perlu waktu setahun baginya untuk menyelesaikan SMA. Lalu, ia melanjutkan  ke sekolah jurnalistik. Di Amerika, ia jadi lebih mandiri. Libur musim panas, ia melamar jadi satpam di kampusnya. “Bayaran satpam lebih tinggi dari cleaning service. Jadi, saya pilih satpam. Lumayan sebulan dapat $700,” kata Putra.

Darah Wartawan
Darah wartawan  mengalir deras dalam tubuhnya. Ayahnya  adalah wartawan yang punya nama pada masanya. Panda Nababan telah meliput ke banyak negara dan di seluruh pelosok Indonesia. Meliput sepakbola, perang, kampanye, dan sebagainya. “Kami  jarang ketemu. Papa lebih sering di lapangan. Yang paling saya ingat adalah kalau Natal kami pasti pulang kampung. Saat itulah papa bercerita tentang liputannya. Juga tentang prinsip hidupnya, bahwa apa yang kita miliki jangan membuat kita sombong. Itu semua pemberian Tuhan,” ucap Putra.

Waktu ia memilih jurusan jurnalistik, mamanya tidak setuju. “’Mana cocok kau jadi wartawan?  Lagipula gajinya kecil. Tapi terserah kau sajalah,’ kata mamaku. Jadi, saya pilih jurnalistik,” terang Putra.

Putra tahu,  profesi wartawan tidak menjanjikan kehidupan berlimpah. Apalagi wartawan di Indonesia. Hidupnya hanya pas-pasan. Toh, kata Putra,  ia juga anak seorang wartawan. “Salib itu saya sudah tahu. Di seluruh dunia wartawan ya hidupnya gitu-gitu aja. Waktu lulus saya hanya ditawar $20 ribu per tahun. Bandingkan teman saya yang programmer komputer  dibayar $60 ribu. Yang lulusan ekonomi, padahal saya tahu dia bodoh, dapat $40 ribu per tahun. Bagi saya, jadi wartawan itu sebagai cara saya bersyukur,” kata Putra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar