CINTA PUTRA KEPADA
JURNALISTIK
Putra Nababan (39) sebenarnya sudah
meneken kontrak dengan sebuah koran di Nebraska, AS. Tetapi tiba-tiba datang
telepon dari Jakarta.
“Hei Putra,
segeralah kau pulang ke Indonesia. Soeharto mau jatuh,” Putra menirukan telepon dari ayahnya, Panda
Nababan, suatu kali pada tahun 1994.
Saat itu Putra baru saja menyelesaikan sekolah jurnalistiknya di Mitland
Lutheran College, Fremont,
Nebraska, Amerika. Ia juga sudah meneken kontrak $20 ribu setahun untuk menjadi
reporter di sebuah koran di sana.
“Eh, siapa
yang tidak mau melihat Soeharto jatuh waktu itu? Eforia banget kita kan? Saya
juga begitu, meskipun Pak Harto benar-benar undur diri baru 4 tahun kemudian,”
kata Putra.
Telepon itu
hanya akal-akalan ayahnya saja. Dia khawatir Putra tidak mau pulang Indonesia.
“Papa saya khawatir, kalau saya lama
dikit di Amerika, saya bisa nikah dengan boru
sana. Soalnya dia lihat banyak contoh, orangtua kirim anak sekolah ke luar
negeri, mereka tidak mau pulang lagi. Ayah saya takut kalau saya kehilangan
akar Batak, ha … ha … ha … ha,” Putra tertawa.
Di Jakarta,
ia magang reporter di majalah Forum
Keadilan. Ayahnya wakil pemimpin umum di majalah ini. Pemimpin redaksinya,
Karni Ilyas. Tetapi, kata Putra, dia tidak minta perlakuan khusus. Sebagai
calon reporter, kerap ia diplonco oleh senior-seniornya. Ada yang suruh bikinin kopi tiap hari. Ada yang kalau
sedang liputan menyuruhnya menenteng kameranya. Pokoknya, benar-benar
diplonco.
Kata Putra,
“Bapak saya ndak tahu sama sekali
kalau saya dikerjain anak buahnya.
Nenteng kamera fotografer senior pun saya lakukan. Suatu kali, mereka mau ke
Cilangkap. Mereka suruh saya nunggu di depan kantor Departemen Perdagangan dari
jam 5 pagi. Padahal baru jam 7
mereka datang. Saya iya saja karena saya
sudah lewatin yang lebih berat di
Amerika.”
Saking nakalnya waktu di SMP, ia diikutkan
program pertukaran pelajar ke Iowa City oleh orangtuanya. Usianya baru 14
tahun. Anak kecil dengan bahasa Inggris
patah-patah, tinggal jauh dari orangtua dan mendapatkan orangtua angkat yang
sangat disiplin.
“Ah, gentar
betul saya waktu itu. Nakal saya langsung luruh. Saya tahu papa melakukan ini
karena dia khawatir saya tidak akan jadi orang. Waktu SMP saya itu nakal
sekali. Setiap hari pasti berkelahi atau curi mangga tetangga, lemparin rumah orang. Tetapi pas
pembagian rapor pasti kena tampar dari papa karena nilainya merah semua,”
kenang Putra.
Titik
baliknya adalah Amerika. Hanya perlu waktu setahun baginya untuk menyelesaikan
SMA. Lalu, ia melanjutkan ke sekolah
jurnalistik. Di Amerika, ia jadi lebih mandiri. Libur musim panas, ia melamar
jadi satpam di kampusnya. “Bayaran satpam lebih tinggi dari cleaning service. Jadi, saya pilih
satpam. Lumayan sebulan dapat $700,” kata Putra.
Darah Wartawan
Darah
wartawan mengalir deras dalam tubuhnya.
Ayahnya adalah wartawan yang punya nama
pada masanya. Panda Nababan telah meliput ke banyak negara dan di seluruh
pelosok Indonesia. Meliput sepakbola, perang, kampanye, dan sebagainya.
“Kami jarang ketemu. Papa lebih sering di
lapangan. Yang paling saya ingat adalah kalau Natal kami pasti pulang kampung.
Saat itulah papa bercerita tentang liputannya. Juga tentang prinsip hidupnya,
bahwa apa yang kita miliki jangan membuat kita sombong. Itu semua pemberian Tuhan,”
ucap Putra.
Waktu ia
memilih jurusan jurnalistik, mamanya tidak setuju. “’Mana cocok kau jadi
wartawan? Lagipula gajinya kecil. Tapi
terserah kau sajalah,’ kata mamaku. Jadi, saya pilih jurnalistik,” terang
Putra.
Putra
tahu, profesi wartawan tidak menjanjikan
kehidupan berlimpah. Apalagi wartawan di Indonesia. Hidupnya hanya pas-pasan. Toh, kata Putra, ia juga anak seorang wartawan. “Salib itu saya
sudah tahu. Di seluruh dunia wartawan ya hidupnya gitu-gitu aja. Waktu lulus saya
hanya ditawar $20 ribu per tahun. Bandingkan teman saya yang programmer komputer dibayar $60 ribu. Yang lulusan ekonomi,
padahal saya tahu dia bodoh, dapat $40 ribu per tahun. Bagi saya, jadi wartawan
itu sebagai cara saya bersyukur,” kata Putra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar