Temanku Ingram Shia
Sering
kita kira bahwa terkabulnya doa tergantung pada isi doa dan orangnya yang
berdoa. Maka kita pun pasang aksi jika berdoa.
Berbagai ungkapan ketika berdoa (foto: www.newheights.ca) |
Isi
doa kita ukur panjang lebar ke sana ke sini, penuh dengan kata-kata pemanis
mulut yang muluk-muluk dan yang terdengar hebat.
Doa
pun diucapkan dengan suara gagah bak pidato berapi-api, bahkan terkadang dengan
berteriak sehingga pengeras suara berdenging nyaring.
Nada
doa bersifat menekan dan meyakinkan, mendesak dan setengah memaksa, seolah-olah
Allah itu bisa kita atur dan pengaruhi.
Makin
panjang sebuah doa, makin dianggap mujarab. Kalau perlu sepanjang malam.
Orang
anggap itulah doa yang didengar Allah. Maka diadakanlah pelatihan doa, dan yang
lulus disebut pendoa, seolah-olah ada orang yang lebih pandai dan lebih
berwenang untuk berdoa.
Tanda
tanya besar mungkin perlu dibubuhi di sini. Apakah sebenarnya faktor
terkabulnya doa, isi, suara, dan panjangnya doa kita ataukah kebijakan dan
kemurahan hati Allah?
Ingram, Yatim
Piatu
Orangnya pendiam. Perawakannya sedang. Air mukanya
tenang. Rambutnya masih hitam. Semula saya menduga ia seumur dengan saya,
ternyata ia sebelas tahun lebih tua. Itulah Ingram Shia, Rektor Sekolah Tinggi
Teologi Taiwan di Taipei. Akan tetapi, yang akan saya ceritakan di sini
bukanlah Ingram sebagai rektor, melainkan Ingram sebagai anak belasan tahun
seperti yang dituturkannya kepada saya pada suatu senja.
Anak-anak yatim piatu di China (foto: bookbuzz.com) |
Ingram mengalami masa
kecil ketika Taiwan berada dalam keadaan susah akibat pendudukan Jepang.
Ayahnya, seorang pendeta, meninggal ketika Ingram berusia 13 tahun. Untuk
membiayai hidup, ibunya menerima rupa-rupa panggilan kerja. Tiga tahun kemudian
ibunya menjadi sakit dan semakin lemah lalu meninggal dunia. Tinggallah Ingram
yang berusia 16 tahun yang bertanggung jawab atas tiga orang adiknya yang masih
kecil.
Pada hari-hari pertama
setelah kematian ibunya, banyak anggota gereja mengirimkan makanan. Namun,
setelah itu kiriman makanan semakin langka. Sementara itu, Ingram belum juga
berhasil mendapatkan pekerjaan. Akibatnya, keempat anak
ini tidak mempunyai persediaan makanan lagi.
Pada malam hari, adik
bungsu Ingram yang berusia empat tahun sering terbangun dan menangis karena
lapar. Untuk menahan lapar itu, Ingram mengenyangkan adiknya dengan beberapa
gelas air. Setelah kenyang dengan air, adiknya itu pun tertidur lagi.
Doa
Bapa Kami
Anak-anak Berdoa (foto: catatansekolahminggu.blogspot.com) |
Namun pada suatu malam,
adik bungsu itu tetap saja menangis karena lapar. Ingram bingung, ia tidak tahu
apa yang harus diperbuatnya. Tiba-tiba seorang adiknya yang lain berkata,
”Kakak berdoa untuk dia”. Tetapi Ingram tidak tahu harus berdoa apa. Lalu
seorang adiknya yang lain mengusulkan, ”Doa Bapa Kami saja”. Kalau Doa Bapa
Kami memang mereka hafal. Lalu mereka pun mengucapkan Doa Bapa Kami.
Tetapi ketika mereka sampai pada kalimat, ”... berikanlah kami pada hari ini makanan … ”, keempat anak itu tiba-tiba menangis dengan meraung-raung sampai akhirnya mereka tertidur dalam isak tangis.
Tetapi ketika mereka sampai pada kalimat, ”... berikanlah kami pada hari ini makanan … ”, keempat anak itu tiba-tiba menangis dengan meraung-raung sampai akhirnya mereka tertidur dalam isak tangis.
Keesokan paginya Ingram
dikejutkan oleh bunyi ketukan pintu. Ternyata itu pendeta mereka yang datang
membawa sebuah karung. ”Tadi malam kami mendapat ubi. Ini untuk kalian. Dan
saya membawa kabar. Ada lowongan kerja untuk kamu. Mulai sebentar pukul delapan
…”
ubi jalar (foto: health.kompas.com) |
Langsung keempat anak
itu sibuk membuat api untuk merebus ubi dan Ingram sigap untuk pergi bekerja.
Dua minggu kemudian Ingram mendapat pembayaran upahnya yang pertama. Uang itu
diterimanya pada hari yang sungguh tepat, sebab pada hari itu ubi yang terakhir
dari karung sudah habis.
Mengenang kisah itu
Ingram berkata, ”Saya tidak tahu harus berkata apa dalam doa pada malam itu.
Walaupun begitu, Tuhan memberi apa yang kami perlukan.”
Panci
kemiskinan
Inilah salah satu
misteri hubungan manusia dengan Allah. Dalam menyatakan pertolongan-Nya, Allah
tidak tergantung pada kata-kata yang kita ucapkan. Doa tidaklah tergantung pada
perkataan kita. Demikian cerita yang dituturkan Ingram ketika pada suatu petang
kami berada di kapal ferry ”Belle of
Louisville” yang menyusuri Sungai Mississippi. Pemandangan alam di
sepanjang sungai pada petang itu sungguh indah. Matahari senja seolah-olah
menyepuh semua warna menjadi kemerah-merahan: awan, pohon ek, rumah papan,
perahu bermotor yang ditambatkan, dan burung pemakan ikan yang
menyambar-nyambar ombak sungai. Tetapi, perhatian Ingram dan saya tenggelam
dalam dunia lain, dunia masa kecil kami masing-masing: Ingram di Taipei dan
saya di Bandung.
Belle of Louisville (foto: www.ket.org) |
Ketika kapal ferry itu
merapat di dermaga Louisville, Ingram menekan lengan saya kuat-kuat dan dengan
penuh perasaan ia berbisik, ”We emerged
from the same pot of poverty.”(Kita muncul dari panci kemiskinan yang
sama.)
Saya terdiam sebentar lalu menjawab, ”You’re right. Your father and my father as
well died of tuberculosis” (Kau benar. Baik ayahmu maupun ayahku meninggal
karena tuberkulosa). Ingram lalu memandang saya dan berkata, ”And both your mother and my mother died of
heart failure” (Dan ibumu serta ibuku juga meninggal karena kelemahan
jantung.) Mata Ingram tampak basah menggenang air mata. Demikian
juga mata saya. (Andar Ismail)
Koq saya cari di Google Ingram Shia, Rektor Sekolah Tinggi Teologi Taiwan di Taipei nggak pernah ada, apa ini cerita fiksi?
BalasHapus