Selasa, 18 Maret 2014

Esensi



Temanku Ingram Shia



Sering kita kira bahwa terkabulnya doa tergantung pada isi doa dan orangnya yang berdoa. Maka kita pun pasang aksi jika berdoa.

Berbagai ungkapan ketika berdoa (foto: www.newheights.ca)
Isi doa kita ukur panjang lebar ke sana ke sini, penuh dengan kata-kata pemanis mulut yang muluk-muluk dan yang terdengar hebat.

Doa pun diucapkan dengan suara gagah bak pidato berapi-api, bahkan terkadang dengan berteriak sehingga pengeras suara berdenging nyaring.

Nada doa bersifat menekan dan meyakinkan, mendesak dan setengah memaksa, seolah-olah Allah itu bisa kita atur dan pengaruhi.

Makin panjang sebuah doa, makin dianggap mujarab. Kalau perlu sepanjang malam.

Orang anggap itulah doa yang didengar Allah. Maka diadakanlah pelatihan doa, dan yang lulus disebut pendoa, seolah-olah ada orang yang lebih pandai dan lebih berwenang untuk berdoa.

Tanda tanya besar mungkin perlu dibubuhi di sini. Apakah sebenarnya faktor terkabulnya doa, isi, suara, dan panjangnya doa kita ataukah kebijakan dan kemurahan hati Allah?

Ingram, Yatim Piatu

     Orangnya pendiam. Perawakannya sedang. Air mukanya tenang. Rambutnya masih hitam. Semula saya menduga ia seumur dengan saya, ternyata ia sebelas tahun lebih tua. Itulah Ingram Shia, Rektor Sekolah Tinggi Teologi Taiwan di Taipei. Akan tetapi, yang akan saya ceritakan di sini bukanlah Ingram sebagai rektor, melainkan Ingram sebagai anak belasan tahun seperti yang dituturkannya kepada saya pada suatu senja.
Anak-anak yatim piatu di China (foto: bookbuzz.com)
Ingram mengalami masa kecil ketika Taiwan berada dalam keadaan susah akibat pendudukan Jepang. Ayahnya, seorang pendeta, meninggal ketika Ingram berusia 13 tahun. Untuk membiayai hidup, ibunya menerima rupa-rupa panggilan kerja. Tiga tahun kemudian ibunya menjadi sakit dan semakin lemah lalu meninggal dunia. Tinggallah Ingram yang berusia 16 tahun yang bertanggung jawab atas tiga orang adiknya yang masih kecil.


Pada hari-hari pertama setelah kematian ibunya, banyak anggota gereja mengirimkan makanan. Namun, setelah itu kiriman makanan semakin langka. Sementara itu, Ingram belum juga berhasil mendapatkan pekerjaan. Akibatnya, keempat anak ini tidak mempunyai persediaan makanan lagi.
Pada malam hari, adik bungsu Ingram yang berusia empat tahun sering terbangun dan menangis karena lapar. Untuk menahan lapar itu, Ingram mengenyangkan adiknya dengan beberapa gelas air. Setelah kenyang dengan air, adiknya itu pun tertidur lagi.

Doa Bapa Kami

Anak-anak Berdoa (foto: catatansekolahminggu.blogspot.com)
Namun pada suatu malam, adik bungsu itu tetap saja menangis karena lapar. Ingram bingung, ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Tiba-tiba seorang adiknya yang lain berkata, ”Kakak berdoa untuk dia”. Tetapi Ingram tidak tahu harus berdoa apa. Lalu seorang adiknya yang lain mengusulkan, ”Doa Bapa Kami saja”. Kalau Doa Bapa Kami memang mereka hafal. Lalu mereka pun mengucapkan Doa Bapa Kami. 
Tetapi ketika mereka sampai pada kalimat, ”... berikanlah kami pada hari ini makanan … ”, keempat anak itu tiba-tiba menangis dengan meraung-raung sampai akhirnya mereka tertidur dalam isak tangis.
Keesokan paginya Ingram dikejutkan oleh bunyi ketukan pintu. Ternyata itu pendeta mereka yang datang membawa sebuah karung. ”Tadi malam kami mendapat ubi. Ini untuk kalian. Dan saya membawa kabar. Ada lowongan kerja untuk kamu. Mulai sebentar pukul delapan …”
ubi jalar (foto: health.kompas.com)

Langsung keempat anak itu sibuk membuat api untuk merebus ubi dan Ingram sigap untuk pergi bekerja. Dua minggu kemudian Ingram mendapat pembayaran upahnya yang pertama. Uang itu diterimanya pada hari yang sungguh tepat, sebab pada hari itu ubi yang terakhir dari karung sudah habis.
Mengenang kisah itu Ingram berkata, ”Saya tidak tahu harus berkata apa dalam doa pada malam itu. Walaupun begitu, Tuhan memberi apa yang kami perlukan.”

Panci kemiskinan

Inilah salah satu misteri hubungan manusia dengan Allah. Dalam menyatakan pertolongan-Nya, Allah tidak tergantung pada kata-kata yang kita ucapkan. Doa tidaklah tergantung pada perkataan kita. Demikian cerita yang dituturkan Ingram ketika pada suatu petang kami berada di kapal ferry ”Belle of Louisville” yang menyusuri Sungai Mississippi. Pemandangan alam di sepanjang sungai pada petang itu sungguh indah. Matahari senja seolah-olah menyepuh semua warna menjadi kemerah-merahan: awan, pohon ek, rumah papan, perahu bermotor yang ditambatkan, dan burung pemakan ikan yang menyambar-nyambar ombak sungai. Tetapi, perhatian Ingram dan saya tenggelam dalam dunia lain, dunia masa kecil kami masing-masing: Ingram di Taipei dan saya di Bandung.

Belle of Louisville (foto: www.ket.org)
Ketika kapal ferry itu merapat di dermaga Louisville, Ingram menekan lengan saya kuat-kuat dan dengan penuh perasaan ia berbisik, ”We emerged from the same pot of poverty.”(Kita muncul dari panci kemiskinan yang sama.)

Saya terdiam sebentar lalu menjawab, ”You’re right. Your father and my father as well died of tuberculosis” (Kau benar. Baik ayahmu maupun ayahku meninggal karena tuberkulosa). Ingram lalu memandang saya dan berkata, ”And both your mother and my mother died of heart failure” (Dan ibumu serta ibuku juga meninggal karena kelemahan jantung.) Mata Ingram tampak basah menggenang air mata. Demikian juga mata saya. (Andar Ismail)

1 komentar:

  1. Koq saya cari di Google Ingram Shia, Rektor Sekolah Tinggi Teologi Taiwan di Taipei nggak pernah ada, apa ini cerita fiksi?

    BalasHapus