Kamis, 27 Maret 2014

Kafe Etos

TUHAN PUN TERSENTUH

Tersebutlah seorang filsuf bernama Moses Mendelssohn. Ia dikenal sebagai orang yang bijaksana dan penuh belas kasihan. Hanya satu kekurangannya: ia punya cacat di punggungnya.

Mendelssohn jatuh cinta pada Gretschen, gadis cantik putri seorang direktur bank yang kaya raya.  Dan rupanya cintanya tak seimbang. Ia bertepuk sebelah tangan. Sampai-sampai Mendelsohn memutuskan akan pergi sejauh mungkin dari kotanya sesudah mengucapkan selamat tinggal kepada Gretschen.

Setelah mendapat izin dari ayah sang gadis, Mendelsohn menemuinya. Gretschen ia dapati tengah duduk di tingkat atas, sibuk dengan pekerjaan tangannya, dan mendengarkan acuh tak acuh pada apa yang dikatakan Mendelsohn.

Percakapan itu demikian dingin dan kering hingga sampailah mereka pada topik tentang pernikahan. Dan gadis itu bertanya kepada Mendelsohn, “Apakah engkau percaya bahwa semua pernikahan telah ditentukan sebelumnya di surga?”

Pengorbanan Cinta
Mendelsohn berpikir untuk memberikan pendapatnya. Dan kemudian katanya, “Ya, tentu saja aku percaya.” Lalu dengan cepat Mendelssohn meminta izin menceritakan sesuatu yang belum pernah diketahui gadis itu.

“Gretschen yang kusayangi, dengarkanlah kisahku. Seperti juga mungkin engkau telah tahu bahwa ketika seorang anak laki-laki dilahirkan, para malaikat akan sibuk mengumumkannya agar semua mengetahuinya. Pada saat itu pula ditentukan gadis mana yang kelak menjadi isteri anak lelaki tersebut. Jadi, sejak dari surga sana, kami para lelaki sudah ditakdirkan menikah dengan perempuan tertentu, dan itu tidak tergantikan.”

Suasana hening. Dan Mendelssohn meneruskan ceritanya.
“Demikianlah, Gretschen. Ketika aku lahir, para malaikat pun membuat pengumuman. Dan ketika mereka akan mengumumkan siapa yang akan menjadi isteriku, mereka terdiam dengan lidah kelu. Mereka terperanjat karena sadar, yang akan menjadi isteriku adalah seorang gadis yang punya cacat di punggungnya. ”Astaga, isteri Mendelssohn cacat,” teriak para malaikat itu.

Aku juga mendengar suara mereka. Aku juga terkejut, dan tidak rela karena merasa tak adil bagi gadis itu. Maka aku segera berteriak meminta Tuhan meralat keputusannya. ”Jangan Tuhan!”, kataku, ”sebab seorang gadis yang cacat akan merasa tersisih dan menjadi bahan ejekan orang seumur hidup. Tolonglah Tuhan, berikan saja cacat itu kepadaku dan biarlah gadis itu Engkau bentuk secara sempurna.”

Dan, engkau boleh tahu, Gretschen. Tuhan mendengar permohonanku dan aku sangat gembira. Akulah anak laki-laki tersebut dan kamulah gadis itu.”

Menurut hikayat yang sudah diceritakan berabad-abad, Gretschen tersentuh hatinya dan ia akhirnya menjadi isteri yang setia bagi Mendelssohn. (Sumber: Berbijak Sejenak, 100 Cerita Bermakna, Hlm. 3-5)

***

CINTA: Berbagi Kebahagiaan

Kegembiraan melihat  dan membuat orang lain berbahagia adalah salah satu tujuan pelayanan. Untuk itu dibutuhkan bukan hanya kesediaan memberi tanpa pamrih, tetapi  juga kemuliaan hati untuk berkorban. Itulah yang ada pada Mendelssohn ketika mengiba kepada Tuhan di depan para malaikat. Ia ingin melihat gadis itu kelak hidup berbahagia, tidak dicemooh oleh teman-temannya sebaya. Dan Mendelssohn memiliki hati yang mulia untuk bersedia mengambil kekurangan itu.

Dua hal ini: kesediaan memberi tanpa pamrih dan kemuliaan hati untuk memikul beban orang lain, membuat hati Tuhan tersentuh. Ia mengabulkan permintaan Mendelson, dan kelak, gadis yang kepada siapa Mendelsohn mempersembahkan pelayanannya itu – Gretschen yang cantik dan sempurna– juga turut luluh hatinya, dan menerima pinangan Mendelssohn.

Apa yang menggerakkan seseorang supaya dapat menghayati pekerjaannya sebagai pelayanan? Banyak jawaban untuk hal ini. Tetapi hikayat ini menyodorkan cinta sebagai jawabannya. Cinta Mendelssohn kepada Gretschen membuat ia menyediakan diri mengambil pengorbanan yang diperlukan, yakni memuliakan diri memikul beban pilihannya.

Cinta pada pekerjaan (filia) adalah sumber semangat dalam penghayatan kerja sebagai pelayanan. Cinta pada pekerjaan membuat seseorang mampu melihat hal-hal menyenangkan pada tugas-tugas yang bagi orang lain mungkin dianggap beban. Cinta pada pekerjaan juga  menghasilkan kegembiraan ketika membayangkan kebahagiaan yang akan dirasakan oleh mereka yang menikmati hasil karyanya.

Dengan cinta setiap individu mengarahkan energi hidupnya untuk memberi kemampuan terbaiknya tanpa pamrih.  Pemberian itu mengalir melalui saluran kemuliaan hati. Mereka yang menikmati karya dan pelayanan itu mendapatkan kegembiraan, serta pada saat bersamaan, turut memperbarui energi hidup mereka, sehingga mereka senantiasa dimampukan melayani. 
Maka genaplah apa yang dikatakan para bijak, “Jika engkau ingin menggandakan  kebahagiaan, maka satu-satunya cara ialah: bagilah kebahagiaan itu.”

Gagasan untuk Diterapkan:
1.            Milikilah hati seperti Gretschen: membuka hati terhadap sapaan cinta dari pepohonan, rerumputan, atau bebungaan; merasakan kasih mesra dari angin semilir, bengawan mengalir, atau rembulan menghampir; serta menikmati himbauan cinta semesta dari pekerjaan, tugas, dan kewajiban Anda.

2.      Punyailah jiwa seperti Mendelsohn: mampu melihat kemuliaan cinta di hadapan serba kekurangan dirinya, sanggup berkorban demi apa yang dicintainya, serta percaya sepenuhnya pada kekuatan cinta?

[Jansen Sinamo]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar