Visito Incognito
BLUSUKAN ALA PAP
AND MAM
Blusukan mendadak
menjadi kata yang populer. Dulu istilahnya turba alias turun ke bawah, lalu
didefinisikan kembali oleh para jurnalis melihat Jokowi yang suka melanglang
buana ke daerah ‘blusuk’ (artinya terpencil dan tak terjamah). Karena sifatnya
yang ‘blusukan’, artinya tidak memakai norma safari gaya petinggi yang penuh dengan sandiwara
maka blusukan juga berarti sidak alias
inpeksi mendadak alias visito incognito.
Ilustrasi tujuan gemba [blog.leansystems.org] |
Sebenarnya gaya ini
sudah lama dilansir khususnya oleh praktisi manajemen Jepang dengan semboyan yang terkenal Go to
Genba (petinggi yang mendatangi tempat kerja karyawan secara langsung untuk mendengar
laporan kerja yang sesungguhnya). Tapi gaya ini menjadi trend karena Jokowi melakukannya tidak setengah hati melainkan
menjadi cara kerja beliau yang ingin tahu permasalahan sampai ke akar rumput
tanpa make up oleh jajaran di tengah.
Blusukan tanpa rekayasa
akan membuat yang “memblusuk” dan yang “diblusuki” mendapat data dari tangan pertama. Ini membuat kejutan bagi berbagai pihak yang sangat senang
dengan data sekunder maupun informasi rangkuman yang sudah disesuaikan dengan
selera si penerima. Tak heran, blusukan membuat hasil menjadi semakin mendekati
fakta, bukan fiktif
atau fiksi semata.
Blusukan Fisik: Inspeksi
Kamar Anak
Inspirasi ini membuat
kami berdua melakukan “blusukan” dengan target operasi anak kami sendiri. Blusukan pertama adalah soal aspek fisik, yakni pembenahan dengan gaya 4R (Resik, Rapi, Rawat, Ringkas). Artinya, membuang semua hal yang tak diperlukan lagi di kamar
agar lebih bersih dan barang yang sudah tidak ingin dipakai bisa disumbangkan
ke orang lain yang sangat membutuhkan.
Mulai dari diri sendiri,
saya melakukan blusukan di kamar saya. Hasilnya sangat mengejutkan. Ada sekitar 20-30 persen barang yang siap didonasikan
karena sudah tidak tersentuh lebih dari enam
bulan. Bahkan, lembaran kertas dan file yang memenuhi rak buku di
kamar, ada yang sudah tak tersentuh lebih dari tiga tahun. Dengan blusukan diri
sendiri saya pun menemukan banyak file penting, foto penting dan buku
penting yang sampai saat ini sudah saya anggap sebagai barang hilang.
Blusukan ke kamar anak,
hasilnya setali tiga uang alias sama saja. Banyak tersimpan barang yang sudah
tidak pernah disentuh karena sudah bukan masanya lagi. Banyak pula temuan surat-surat rahasia anak yang terlipat-lipat rapi yang berisi kata cinta monyet kepada rekan
sekolahnya sampai nilai ulangan yang di bawah standar orangtuanya.
Blusukan
Virtual: Orangtua
vs Akun Sosial
Blusukan kedua, ini yang juga
penting dilakukan adalah blusukan tempat
virtual anak-anak kita. Artinya, apa yang mereka simpan di gudang virtual entah itu di
email, facebook, twitter, blog, dan media sosial lainnya. Ini yang membuat saya mulai berdetak keras.
Beruntung saya memiliki semua akun yang mengundang anak saya ikut dalam group
saya (tentunya ada akun mereka yang rahasia, ini yang saya belum bisa tembus). Ketika saya simak satu-satu, saya terhanyut dalam tawa dan tangis. Ternyata mereka melampiaskan emosinya justru pada akun
virtual bukan pada kami.
Mereka lebih jujur pada
akun bukan pada orangtuanya. Ini yang membuat saya terpukul, kenapa? Kenapa
akun memberi lapangan yang lebih luas dibandingkan dengan orangtuanya.
Jawabannya sangat sederhana, dengan akun yang online mereka langsung bisa menulis di
mana saja, kapan saja, dan dengan cara apa saja tanpa mengihiraukan perasaan,
waktu, dan sikap orang
lain. Kalau lapor ke kami, anak tidak bisa melakukannya setiap saat, tidak
berani melakukannya ketika kejadian tiba karena papa sedang rapat di kantor dan
mama sedang berada di resto.
Blusukan ke dunia
virtual ini membuat saya sadar, bahwa curahan hati anak perlu menjadi perhatian
kita. Harus ada waktu untuk menjadi “tempat sampah” yang baik bagi mereka, sekaligus “tempat reparasi” kapan saja dan di mana saja.Dalam hal ini saya salut sama istri saya yang
senantiasa meluangkan waktu untuk ber-chatting ria dengan anak
dan senang membaca “profil” di smart phone
mereka. Istri bisa segera menangkap perasaan anak, bahkan ketika mereka sedang sarapan
di “Bondi Beach” Sydney.
Blusukan Emosional:
Membaca Simpanan Emosional
Blusukan ketiga adalah blusukan yang lebih sulit
yakni blusukan emosional. Artinya, mengerti perasaan mereka terhadap saudara kandungnya
maupun perasaan mereka terhadap kita, orangtuanya. Blusukan ini didapat dari
ide anak saya ketika kita mau melewatkan tahun 2012 yang lalu dengan memberi
kesempatan masing-masing membuka “simpanan” emosi soal orang lain. Dengan catatan “yang positif dan
yang membangun”, kata Daniel mengingatkan kita semua.
Ketika blusukan emosional
ini dibuka, saya sangat terharu melihat anak dan istri saya “menganga” ketika saya membacakan satu-satu simpanan saya. Tak ada yang surprise karena saya sering melakukannya. Tetapi, ketika saya menuliskannya dengan rapi dan memberikan
simpanan ini ke masing-masing, mereka tidak perlu blusukan ke file hati saya lagi.
Sebaliknya, ketika kami
berdua – tanpa sepengetahuan anak-anak karena sebetulnya tidak diperkenankan
– membaca simpanan emosional
mereka tentang kami, kami terharu dan terkejut. “Mama, terima kasih sudah
senantiasa menelpon dan mengetahui keberadaan saya. Pada mulanya saya anggap sebagai hal yang
menggangu, tapi ketika saya melihat ke teman-teman yang dibiarkan orangtuanya, saya bangga sekali
punya mama yang memperhatikan saya.” Istri saya terkesima.
Bahkan, ketika istri saya selalu menolak untuk dibelikan
atau berbelanja barang branded seperti
Prada, Hermes, dan LV. Diam-diam hal ini diperhatikan oleh anak-anak. Anak saya
Daniel,
ia berkomentar, “Saya
akan cari my future wife kayak mama.
Bisa menikmati makanan bintang lima ataupun kaki lima. Selalu mencari non branded walaupun you can
afford it.”
Blusukan Spiritual
Dari blusukan fisik,
virtual mapun emosional saya menemukan pemandangan baru yang lebih jelas
tentang siapa anak saya, apa yang mereka pikirkan, dan apa yang mereka akan “ambil” dari kami sebagai teladannya.
Tinggal satu yang kami
harus selancari, yakni blusukan spiritual. Bagaimana kondisi
spiritual si anak, ini juga tugas yang tak boleh dilupakan. Beruntung kami
menyediakan waktu diskusi bersama, doa bersama, pelayanan bersama. Setidaknya
kami bisa meraba sisi ini walau dari luar saja.
(Paulus Bambang WS; Blog
www.paulusbambangws.com dan twitter @paulusBWS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar