Kamis, 27 Maret 2014

Motivasi



Visito Incognito
BLUSUKAN ALA PAP AND MAM


Blusukan mendadak menjadi kata yang populer. Dulu istilahnya turba alias turun ke bawah, lalu didefinisikan kembali oleh para jurnalis melihat Jokowi yang suka melanglang buana ke daerah ‘blusuk’ (artinya terpencil dan tak terjamah). Karena sifatnya yang ‘blusukan’, artinya tidak memakai norma safari gaya petinggi yang penuh dengan sandiwara maka  blusukan juga berarti sidak alias inpeksi mendadak alias visito incognito.

Ilustrasi tujuan gemba [blog.leansystems.org]
Sebenarnya gaya ini sudah lama dilansir khususnya oleh praktisi manajemen  Jepang dengan semboyan yang terkenal Go to Genba (petinggi yang mendatangi tempat kerja karyawan secara langsung untuk mendengar laporan kerja yang sesungguhnya). Tapi gaya ini menjadi trend karena Jokowi melakukannya tidak setengah hati melainkan menjadi cara kerja beliau yang ingin tahu permasalahan sampai ke akar rumput tanpa make up oleh jajaran di tengah.

Blusukan tanpa rekayasa akan membuat yang memblusuk dan yang diblusuki mendapat data dari tangan pertama. Ini membuat kejutan bagi berbagai pihak yang sangat senang dengan data sekunder maupun informasi rangkuman yang sudah disesuaikan dengan selera si penerima. Tak heran, blusukan membuat hasil menjadi semakin mendekati fakta, bukan fiktif atau fiksi semata.

Blusukan Fisik: Inspeksi Kamar Anak
Inspirasi ini membuat kami berdua melakukan blusukan dengan target operasi anak kami sendiri. Blusukan pertama adalah soal aspek fisik, yakni pembenahan dengan gaya 4R (Resik, Rapi, Rawat, Ringkas). Artinya, membuang semua hal yang tak diperlukan lagi di kamar agar lebih bersih dan barang yang sudah tidak ingin dipakai bisa disumbangkan ke orang lain yang sangat membutuhkan.

Mulai dari diri sendiri, saya melakukan blusukan di kamar saya. Hasilnya sangat mengejutkan. Ada sekitar 20-30 persen barang yang siap didonasikan karena sudah tidak tersentuh lebih dari enam  bulan. Bahkan, lembaran kertas dan file yang memenuhi rak buku di kamar, ada yang sudah tak tersentuh lebih dari tiga tahun. Dengan blusukan diri sendiri saya pun menemukan banyak file penting, foto penting dan buku penting yang sampai saat ini sudah saya anggap sebagai barang hilang.

Blusukan ke kamar anak, hasilnya setali tiga uang alias sama saja. Banyak tersimpan barang yang sudah tidak pernah disentuh karena sudah bukan masanya lagi. Banyak pula temuan surat-surat rahasia anak yang terlipat-lipat rapi yang berisi kata cinta monyet kepada rekan sekolahnya sampai nilai ulangan yang di bawah standar orangtuanya.

Blusukan Virtual: Orangtua vs Akun Sosial

Blusukan kedua, ini yang juga penting dilakukan adalah blusukan tempat virtual anak-anak kita. Artinya, apa yang mereka simpan di gudang virtual entah itu di email, facebook, twitter, blog, dan media sosial lainnya. Ini yang membuat saya mulai berdetak keras. Beruntung saya memiliki semua akun yang mengundang anak saya ikut dalam group saya (tentunya ada akun mereka yang rahasia, ini yang saya belum bisa tembus). Ketika saya simak satu-satu, saya terhanyut dalam tawa dan tangis. Ternyata mereka melampiaskan emosinya justru pada akun virtual bukan pada kami.

Mereka lebih jujur pada akun bukan pada orangtuanya. Ini yang membuat saya terpukul, kenapa? Kenapa akun memberi lapangan yang lebih luas dibandingkan dengan orangtuanya. Jawabannya sangat sederhana, dengan akun yang online mereka langsung bisa menulis di mana saja, kapan saja, dan dengan cara apa saja tanpa mengihiraukan perasaan, waktu, dan sikap orang lain. Kalau lapor ke kami, anak tidak bisa melakukannya setiap saat, tidak berani melakukannya ketika kejadian tiba karena papa sedang rapat di kantor dan mama sedang berada di resto.

Blusukan ke dunia virtual ini membuat saya sadar, bahwa curahan hati anak perlu menjadi perhatian kita. Harus ada waktu untuk menjadi tempat sampah yang baik bagi mereka, sekaligus tempat reparasi kapan saja dan di mana saja.Dalam hal ini saya salut sama istri saya yang senantiasa meluangkan waktu untuk ber-chatting ria dengan anak dan senang membaca profil di smart phone mereka. Istri bisa segera menangkap perasaan anak, bahkan ketika mereka sedang sarapan di “Bondi Beach” Sydney.

Blusukan Emosional: Membaca Simpanan Emosional

Blusukan ketiga adalah blusukan yang lebih sulit yakni blusukan emosional. Artinya, mengerti perasaan mereka terhadap saudara kandungnya maupun perasaan mereka terhadap kita, orangtuanya. Blusukan ini didapat dari ide anak saya ketika kita mau melewatkan tahun 2012 yang lalu dengan memberi kesempatan masing-masing membuka simpanan emosi soal orang lain. Dengan catatan “yang positif dan yang membangun”, kata Daniel mengingatkan kita semua.

Ketika blusukan emosional ini dibuka, saya sangat terharu melihat anak dan istri saya menganga ketika saya membacakan satu-satu simpanan saya. Tak ada yang surprise karena saya sering melakukannya. Tetapi, ketika saya menuliskannya dengan rapi dan memberikan simpanan ini ke masing-masing, mereka tidak perlu blusukan ke file hati saya lagi.

Sebaliknya, ketika kami berdua – tanpa sepengetahuan anak-anak karena sebetulnya tidak diperkenankan – membaca simpanan emosional mereka tentang kami, kami terharu dan terkejut. “Mama, terima kasih sudah senantiasa menelpon dan mengetahui keberadaan saya. Pada mulanya saya anggap sebagai hal yang menggangu, tapi ketika saya melihat ke teman-teman yang dibiarkan orangtuanya, saya bangga sekali punya mama yang memperhatikan saya.” Istri saya terkesima.

Bahkan, ketika istri saya selalu menolak untuk dibelikan atau berbelanja barang branded seperti Prada, Hermes, dan LV. Diam-diam hal ini diperhatikan oleh anak-anak. Anak saya Daniel, ia berkomentar, “Saya akan cari my future wife kayak mama. Bisa menikmati makanan bintang lima ataupun kaki lima. Selalu mencari non branded walaupun you can afford it.”

Blusukan Spiritual

Dari blusukan fisik, virtual mapun emosional saya menemukan pemandangan baru yang lebih jelas tentang siapa anak saya, apa yang mereka pikirkan, dan apa yang mereka akan ambil dari kami sebagai teladannya.

Tinggal satu yang kami harus selancari, yakni blusukan spiritual. Bagaimana kondisi spiritual si anak, ini juga tugas yang tak boleh dilupakan. Beruntung kami menyediakan waktu diskusi bersama, doa bersama, pelayanan bersama. Setidaknya kami bisa meraba sisi ini walau dari luar saja.

(Paulus Bambang WS; Blog www.paulusbambangws.com dan twitter @paulusBWS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar