Kamis, 27 Maret 2014

Spotlight

Putra Nababan (2)
Memilih “Jalan Keras”

Sebenarnya Putra bisa saja minta rekomendasi. Hampir semua pemilik koran nasional di Jakarta adalah kolega bahkan beberapa adalah karib ayahnya. Tetapi, ia tidak mau melakukan hal itu. “Prinsip saya, saya tidak mau masuk ke media yang mengenal siapa saya atau siapa papa saya. Saya tidak mau mendapat kemudahan gara-gara papa saya,” kata Putra.

Putra masuk koran Merdeka milik BM Diah. Saat itu pemimpin redaksinya adalah Tribuana Said. Merintis karier dari bawah. Mula-mula jadi reporter lalu koordinator liputan hingga menjadi redaktur pelaksana. “Saya ini bukan wartawan salon atau wartawan humas. Spesialisasi saya adalah menembus sumber yang sukar. Maka jangan heran sekarang kalau banyak tokoh yang saya kenal. Itu gara-gara saya kejar mereka waktu masih sering di lapangan,” ujarnya. 

Untuk bisa akrab dengan Megawati Soekarnoputri dan suaminya Taufik Kiemas misalnya, Putra perlu waktu 8 bulan. “Saya itu mulai dari Kebagusan (rumah Megawati,red)  nunggu Megawati. Saya ke sana hampir tiap hari. Mula-mula kehujanan, kepanasan di luar.  Dua bulan kemudian, saya datang dan bisa langsung ke pos satpam. Trus karena sering lihat saya, Megawati tanya-tanya. Sekarang, kami sering sarapan bareng dan saya panggil Megawati dengan sapaan ‘mbak’,” ujarnya.

Putra memang dikenal ngotot mengejar narasumber. Ia pantang pulang kantor tanpa hasil. Ia bisa tahan berjam-jam menunggui menteri hingga dini hari. Putra pernah nongkrong di depan rumah Menteri Oetojo Oesman selama 12 jam gara-gara si menteri tidak mau keluar rumah untuk diwawancarai.

“Saya biasa ngejar orang  di tempat-tempat yang tidak umum seperti lapangan golf, ruang VIP bandara. Saya hafal plat nomor setiap menteri. Juga kalau dia mau kelabui kita, dia putar nomornya,” ujar Putra.

Masuk Televisi
Tahun 2001 Putra masuk Metrotv. Dunia yang berbeda meskipun sama-sama berbasis jurnalistik. Oleh Andy Noya, yang lebih dulu di sana, Putra disarankan agar tidak mulai dari reporter. Apalagi jabatan terahir Putra adalah redaktur pelaksana sebuah koran nasional beroplah 250 ribu kala itu. Belum lagi kalau dilihat latar belakang pendidikannya yang lulusan Amerika.

“Saya bilang sama Andy Noya, ‘Bang saya mau mulai dari nol’. Andy bilang kalau kapasitas saya terlalu besar sebagai reporter. Tetapi saya ngotot karena saya tahu televisi ini jenis ‘binatang’ yang lain. Lagipula saya berpikir kalau kelak saya menjadi pemimpin, jangan sampai saya ditipu sama anak buah. Karena saya tahu persis prosedurnya,” kata Putra.

Sebagai mantan redpel, apalagi lulusan Amerika, godaan untuk menyombongkan diri kerap muncul juga. “Orang Batak itu ada bakat sombongnya. Coba, saya 8 tahun jadi wartawan, lalu redaktur pelaksana, masa jadi reporter lagi? Saya ingat pesan papa bahwa begitu orang menyanjungmu itu artinya mereka sedang menampar-nampar mukamu. Sanjungan itu tidak sehat. Saya ingat betul itu,” kata Putra.

Hampir jebol juga pertahanannya. Putra bilang, ia bertemu dengan reporter dan cameraman MetroTV yang kurang gaul. Jadi, mereka tidak mengenal siapa dirinya. “Mereka tidak tahu kalau di lapangan saya ini jago. Mereka suruh saya angkat tripod, pegang kamera atau  cari mobil. Itu saya lakukan. Kerap saya duduk di belakang dan disuruh pangku kamera. Saya taat karena saya mau belajar,” ujarnya.

Suatu ketika, kata Putra, mereka meliput ke kantor Menkopolkam. Seperti biasa, kaca mobil diturunkan di pos satpam. Saat satpam melongok ke dalam, ia teriak sambil hormat, “Siap Pak Putra!” Waktu masuk ke dalam, semua asisten menteri memanggil “Pak Putra” sambil berjabat tangan.  “Teman-teman pada bingung. Waktu  pulang mereka tanya, ‘Loe siapa sih, Put’? Kok semua orang di Polkam panggil loe pak? Semuanya kok kenal loe?’ Dalam hati saya bilang, ‘Rasain loe, he … he … he’.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar