Memilih “Jalan Keras”
Sebenarnya
Putra bisa saja minta rekomendasi. Hampir semua pemilik koran nasional di
Jakarta adalah kolega bahkan beberapa adalah karib ayahnya. Tetapi, ia tidak
mau melakukan hal itu. “Prinsip saya, saya tidak mau masuk ke media yang
mengenal siapa saya atau siapa papa saya. Saya tidak mau mendapat kemudahan
gara-gara papa saya,” kata Putra.
Putra masuk koran
Merdeka milik BM Diah. Saat itu
pemimpin redaksinya adalah Tribuana Said. Merintis karier dari bawah. Mula-mula
jadi reporter lalu koordinator liputan hingga menjadi redaktur pelaksana. “Saya
ini bukan wartawan salon atau wartawan humas. Spesialisasi saya adalah menembus
sumber yang sukar. Maka jangan heran sekarang kalau banyak tokoh yang saya
kenal. Itu gara-gara saya kejar mereka waktu masih sering di lapangan,”
ujarnya.
Untuk bisa
akrab dengan Megawati Soekarnoputri dan suaminya Taufik Kiemas misalnya, Putra
perlu waktu 8 bulan. “Saya itu mulai dari Kebagusan (rumah Megawati,red) nunggu Megawati. Saya ke sana hampir tiap
hari. Mula-mula kehujanan, kepanasan di luar. Dua bulan kemudian, saya datang dan bisa
langsung ke pos satpam. Trus karena sering lihat saya, Megawati tanya-tanya.
Sekarang, kami sering sarapan bareng dan saya panggil Megawati dengan sapaan ‘mbak’,”
ujarnya.
Putra memang
dikenal ngotot mengejar narasumber. Ia pantang pulang kantor tanpa hasil. Ia
bisa tahan berjam-jam menunggui menteri hingga dini hari. Putra pernah
nongkrong di depan rumah Menteri Oetojo Oesman selama 12 jam gara-gara si
menteri tidak mau keluar rumah untuk diwawancarai.
“Saya biasa
ngejar orang di tempat-tempat yang tidak
umum seperti lapangan golf, ruang VIP bandara. Saya hafal plat nomor setiap
menteri. Juga kalau dia mau kelabui kita, dia putar nomornya,” ujar Putra.
Masuk Televisi
Tahun 2001 Putra
masuk Metrotv. Dunia yang berbeda meskipun sama-sama berbasis jurnalistik. Oleh
Andy Noya, yang lebih dulu di sana, Putra disarankan agar tidak mulai dari
reporter. Apalagi jabatan terahir Putra adalah redaktur pelaksana sebuah koran
nasional beroplah 250 ribu kala itu. Belum lagi kalau dilihat latar belakang
pendidikannya yang lulusan Amerika.
“Saya bilang
sama Andy Noya, ‘Bang saya mau mulai dari nol’. Andy bilang kalau kapasitas
saya terlalu besar sebagai reporter. Tetapi saya ngotot karena saya tahu televisi
ini jenis ‘binatang’ yang lain. Lagipula saya berpikir kalau kelak saya menjadi
pemimpin, jangan sampai saya ditipu sama anak buah. Karena saya tahu persis
prosedurnya,” kata Putra.
Sebagai
mantan redpel, apalagi lulusan Amerika, godaan untuk menyombongkan diri kerap
muncul juga. “Orang Batak itu ada bakat sombongnya. Coba, saya 8 tahun jadi
wartawan, lalu redaktur pelaksana, masa jadi reporter lagi? Saya ingat pesan papa
bahwa begitu orang menyanjungmu itu artinya mereka sedang menampar-nampar mukamu.
Sanjungan itu tidak sehat. Saya ingat betul itu,” kata Putra.
Hampir jebol
juga pertahanannya. Putra bilang, ia bertemu dengan reporter dan cameraman MetroTV yang kurang gaul. Jadi,
mereka tidak mengenal siapa dirinya. “Mereka tidak tahu kalau di lapangan saya
ini jago. Mereka suruh saya angkat tripod, pegang kamera atau cari mobil. Itu saya lakukan. Kerap saya duduk
di belakang dan disuruh pangku kamera. Saya taat karena saya mau belajar,”
ujarnya.
Suatu ketika,
kata Putra, mereka meliput ke kantor Menkopolkam. Seperti biasa, kaca mobil
diturunkan di pos satpam. Saat satpam melongok ke dalam, ia teriak sambil
hormat, “Siap Pak Putra!” Waktu masuk ke dalam, semua asisten menteri memanggil
“Pak Putra” sambil berjabat tangan. “Teman-teman
pada bingung. Waktu pulang mereka tanya,
‘Loe siapa sih, Put’? Kok semua orang di Polkam panggil loe pak? Semuanya kok kenal
loe?’ Dalam hati saya bilang, ‘Rasain loe, he … he … he’.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar