Jumat, 13 Juni 2014

Esensi



Kalau Agama Dijadikan Kewajiba

Hampir tiga ratus tahun umat Kristen dibenci. Pegawai negeri yang beragama Kristen dipecat. Gereja dibakar. 

Akan tetapi pada tahun 312 tiba-tiba angin berubah arah. Muncul penguasa baru bernama Konstantinus yang merangkul gereja. Umat Kristen tidak diliciki lagi. Sebaliknya, umat Kristen malah dimanja. Pemerintah membangun gedung gereja. Pendeta digaji oleh negara. Undang-undang mewajibkan tiap orang beribadah di gereja tiap hari Minggu. Agama dijadikan kewajiban.
Lalu berbondong-bondonglah tiap orang menjadi beragama. Tiap orang memamerkan dirinya beragama. Tiap orang berceloteh menyebut-nyebut nama Allah.

Maka pada tahun 380 Kaisar Theodosius menetapkan agama Kristen sebagai agama negara. Bercampur-aduklah agama dan negara. Negara membiayai agama dan agama memengaruhi negara. Maka agama itu menjadi kuat dan besar. Maka tersingkirlah aliran, kepercayaan, dan agama-agama kecil. Maka muncullah teokrasi. Maka pudarlah demokrasi.

PIAGAM KEWAJIBAN BERAGAMA
Akhir-akhir ini, kalau hari sangat panas saya sering tertidur di kursi pada siang hari. Untung hanya beberapa menit saja, tetapi dalam beberapa menit itu bisa terjadi rupa-rupa hal.

Pada suatu siang, saya merasa duduk di gereja. Sebentar lagi ada pertemuan gereja-gereja . Di daerah ini memang ada banyak gereja. Boleh dikata, semua penduduk daerah ini beragama Kristen, mulai dari gubernur sampai petugas RT/RW.

Para penatua dan pendeta dari tiap gereja sudah mulai berdatangan. Demikian pula pejabat-pejabat pemerintah seperti kepala polisi, panglima tentara, para hakim dan jaksa, gubernur, walikota, bupati dan sebagainya.
Acara tunggal pertemuan ini adalah pengesahan piagam. Piagam apa? Saya tidak tahu.

Setelah berdoa, ketua sidang langsung berkata,”Anggota majelis yang terhormat, hari ini kita akan mengesahkan piagam yang terdiri dari tujuh kata: Tiap penduduk wajib melaksanakan peraturan agamanya masing-masing.”
Semua hadirin langsung bersorak, “Puji Tuhan!” Tetapi saya menjadi sangat terkejut dan bingung. Masakan agama dijadikan kewajiban? Ini sangat keliru. Beragama adalah penghayatan dan kesadaran, bukan keharusan dan kewajiban. Keringat saya menetes.

Tiba-tiba seorang ibu yang tampak bijak bertanya, ”Mohon dijelaskan, apa implikasinya dan bagaimana pelaksanaannya?”
Ketua sidang menjelaskan, “Itu berarti tiap orang wajib hadir dalam ibadah Minggu, wajib mengirim anak ke Sekolah Minggu, wajib membaca Alkitab tiap hari di rumah dan sejumlah kewajiban lain.”

Seorang pemuda menimpali, ”Apakah juga wajib memberi persembahan?”
Ketua langsung menjawab, ”Tentu saja. Tiap orang berkewajiban memberi perpuluhan. Yang lalai akan terkena sanksi.” Para pendeta yang duduk di depan saya langsung bertepuk tangan. Ada pula yang berbisik, ”Gereja kita akan jadi kaya! Nanti kita dapat Mercedez Benz!”

PERLAWANAN
Tiba-tiba ketua sidang berkata, ”Di sini saya melihat Pak Andar. Pak Andar ini sudah 35 tahun menjadi pendeta. Saya minta Pak  Andar memberi pandangan tentang piagam ini. Tetapi harus pakai ayat Alkitab.”

Dengan ragu-ragu saya berdiri dan berkata, “Saudara sekalian, dalam Roma 13, saya lupa tepatnya ayat berapa….” Tiba-tiba seorang ibu yang duduk paling depan menyodorkan Alkitab sambil berkata, “Bapak pakailah ini. Bapak bacalah bunyi ayat yang tepat.”

Saya membuka Alkitab dan melanjutkan, ”Pada ayat 4 tertulis: ‘Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu.’ Saudara sekalian, pemerintah mempunyai otoritas mengatur rakyat dalam bidang ketertiban, keamanan, sosial, ekonomi dan sebagainya. Kalau bidang-bidang itu diatur oleh pemerintah, itu mendatangkan kebaikan untuk rakyat. 

"Sebaliknya, ada bidang-bidang yang tidak patut diatur oleh pemerintah, sebab kalau diatur oleh pemerintah justru akan merugikan rakyat, misalnya urusan mencari jodoh, mengatur rumah tangga, mendidik anak dan juga memilih agama serta mengatur kehidupan beragama. Itu urusan pribadi tiap orang. Agama tidak perlu diakui dan juga tidak perlu diurus oleh pemerintah. Beragama atau tidak, itu adalah hak yang paling asasi pada seorang individu. Pelaksanaan kehidupan beragama adalah urusan pribadi yang tidak boleh diatur apalagi diwajibkan oleh institusi di luar dirinya.”

Hadirin memelototi saya dengan wajah tegang. Lalu saya berkata lagi, “Pengaturan dan pewajiban itu justru akan merugikan agama itu sendiri, sebab yang akan timbul adalah kemunafikan. Beribadah sepatutnya timbul dari kesadaran, bukan dari kewajiban. Tugas saya sebagai pendidik adalah membuat umat berminat untuk beribadah. Kalau umat sampai harus diwajibkan beribadah, itu berarti saya adalah pendidik yang tidak becus. Kalau kita beragama hanya karena takut sanksi, maka kita cuma berpura-pura. Ini bukan kesaksian. 

"Bahkan ada kemungkinan, pemerintah juga hanya berpura-pura dan para pejabat rajin mempertunjukkan diri hadir pada upacara agama, padahal di belakang itu mereka korup. Sebab itu dukungan kita kepada pemerintah selalu bersifat kritis dan selektif. Menurut Roma 13, pemerintah bisa benar dan baik, namun menurut Wahyu 13 pemerintah juga bisa keliru dan jahat. Kesimpulannya, piagam yang mewajibkan penduduk menjalankan agama justru akan membuat rakyat menjadi kerdil dan tidak dewasa. Piagam ini sama sekali tidak bersifat mendidik. Sebab itu, saya menolak piagam ini. Sekian.”

PEMUNGUTAN SUARA
Suasana menjadi sunyi. Tidak ada yang bertepuk tangan. Ada satu dua orang yang mengangguk. Namun kebanyakan orang tampak gelisah dan marah. Mereka menggeleng-gelengkan kepala. Dari belakang terdengar suara-suara ejekan, “Ah, Pak Andar cuma sok pinter!”

Lalu berdirilah seorang bapak yang berwajah garang. Ia berteriak, ”Itu pandangan tidak realistis. Piagam ini justru mau menolong gereja. Nanti kebaktian kita jadi penuh dan persembahan melimpah. Tidak ada orang yang berani jalan-jalan ke mal hari Minggu. Siapa tidak hadir dalam ibadah akan dihukum penjara satu minggu. Siapa tidak memberi perpuluhan akan dipenjara satu bulan. Ini bagus,bukan? Orang jadi takut pada Tuhan. Dan  firman Allah bersabda: semua orang harus takut pada Tuhan.”

Hadirin langsung menggema,”Haleluyah!” Lalu ketua sidang menegaskan ,” Sekarang lebih baik kita memungut suara saja.” Lalu dengan  cepat kertas suara dibagi, diisi dan dihitung.

Ketua sidang kemudian mengumumkan,”Anggota majelis yang terhormat, jumlah kertas suara ada 420. Hasilnya sebagai berikut: Abstain 7; Menolak 13; Setuju 400. Jadi, sidang menyetujui piagam ini! Berlaku mulai saat ini! Sekian! Sidang ditutup! Tuhan  memberkati!”

Saya meninggalkan tempat dengan loyo. Sungguh keliru bahwa kita mengundang pemerintah mencampuri urusan pribadi kita. Ini betul-betul keliru, masakan orang diawasi dan dipaksa untuk beribadah.

PERINTAH PENANGKAPAN
Tiba-tiba pintu rumah saya diketuk. Ada empat orang polisi masuk. “Maaf, Pak Pendeta, kami membawa surat penangkapan. Bapak harus masuk penjara. Bapak telah melanggar piagam kewajiban hidup beragama!”

Saya heran dan terkejut. Apa-apaan ini? Belum lagi saya bertanya, polisi itu melanjutkan,”Kami punya bukti, tadi sepulangnya dari sidang di gereja, Bapak mampir di Restoran Bakmi Gajah Mada. Bapak makan satu bakmi kuah dan satu pangsit serta minum satu gelas teh.” Saya langsung membela diri, ”Benar! Tapi saya sudah bayar!”

Polisi itu berkata, ”Pak Pendeta, bukan itu soalnya. Kami ada bukti dari kamera tersembunyi. Bapak telah melanggar piagam. Bapak makan tanpa berdoa terlebih dahulu. Bapak dijerat pasal: Barang siapa lalai berdoa, dijatuhi hukuman penjara lima hari!”
Keringat saya mengucur deras. Dipenjara? Celaka tiga belas!

Tiba-tiba saya terbangun. Napas saya terengah-engah. Baju saya basah oleh keringat. Wah, untung cuma mimpi. Mengapa hubungan agama dan negara membuat saya mimpi buruk? Mengapa saya mimpi celaka tiga belas? Jangan-jangan karena ini tanggal 13. [Andar Ismail]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar