Kalau
Agama Dijadikan Kewajiba
Hampir tiga ratus tahun umat Kristen
dibenci. Pegawai negeri yang beragama Kristen dipecat. Gereja dibakar.
Akan tetapi pada tahun 312 tiba-tiba
angin berubah arah. Muncul penguasa baru bernama Konstantinus yang merangkul
gereja. Umat Kristen tidak diliciki lagi. Sebaliknya, umat Kristen malah dimanja.
Pemerintah membangun gedung gereja. Pendeta digaji oleh negara. Undang-undang
mewajibkan tiap orang beribadah di gereja tiap hari Minggu. Agama dijadikan
kewajiban.
Lalu berbondong-bondonglah tiap
orang menjadi beragama. Tiap orang memamerkan dirinya beragama. Tiap orang
berceloteh menyebut-nyebut nama Allah.
Maka pada tahun 380 Kaisar
Theodosius menetapkan agama Kristen sebagai agama negara. Bercampur-aduklah
agama dan negara. Negara membiayai agama dan agama memengaruhi negara. Maka
agama itu menjadi kuat dan besar. Maka tersingkirlah aliran, kepercayaan, dan
agama-agama kecil. Maka muncullah teokrasi. Maka pudarlah demokrasi.
PIAGAM
KEWAJIBAN BERAGAMA
Akhir-akhir ini, kalau hari sangat
panas saya sering tertidur di kursi pada siang hari. Untung hanya beberapa
menit saja, tetapi dalam beberapa menit itu bisa terjadi rupa-rupa hal.
Pada suatu siang, saya merasa duduk
di gereja. Sebentar lagi ada pertemuan gereja-gereja . Di daerah ini memang ada
banyak gereja. Boleh dikata, semua penduduk daerah ini beragama Kristen, mulai
dari gubernur sampai petugas RT/RW.
Para penatua dan pendeta dari tiap
gereja sudah mulai berdatangan. Demikian pula pejabat-pejabat pemerintah
seperti kepala polisi, panglima tentara, para hakim dan jaksa, gubernur,
walikota, bupati dan sebagainya.
Acara tunggal pertemuan ini adalah
pengesahan piagam. Piagam apa? Saya tidak tahu.
Setelah berdoa, ketua sidang
langsung berkata,”Anggota majelis yang terhormat, hari ini kita akan
mengesahkan piagam yang terdiri dari tujuh kata: Tiap penduduk wajib
melaksanakan peraturan agamanya masing-masing.”
Semua hadirin langsung bersorak,
“Puji Tuhan!” Tetapi saya menjadi sangat terkejut dan bingung. Masakan agama
dijadikan kewajiban? Ini sangat keliru. Beragama adalah penghayatan dan
kesadaran, bukan keharusan dan kewajiban. Keringat saya menetes.
Tiba-tiba seorang ibu yang tampak
bijak bertanya, ”Mohon dijelaskan, apa implikasinya dan bagaimana
pelaksanaannya?”
Ketua sidang menjelaskan, “Itu
berarti tiap orang wajib hadir dalam ibadah Minggu, wajib mengirim anak ke
Sekolah Minggu, wajib membaca Alkitab tiap hari di rumah dan sejumlah kewajiban
lain.”
Seorang pemuda menimpali, ”Apakah
juga wajib memberi persembahan?”
Ketua langsung menjawab, ”Tentu
saja. Tiap orang berkewajiban memberi perpuluhan. Yang lalai akan terkena
sanksi.” Para pendeta yang duduk di depan saya langsung bertepuk tangan. Ada
pula yang berbisik, ”Gereja kita akan jadi kaya! Nanti kita dapat Mercedez
Benz!”
PERLAWANAN
Tiba-tiba ketua sidang berkata, ”Di
sini saya melihat Pak Andar. Pak Andar ini sudah 35 tahun menjadi pendeta. Saya
minta Pak Andar memberi pandangan
tentang piagam ini. Tetapi harus pakai ayat Alkitab.”
Dengan ragu-ragu saya berdiri dan
berkata, “Saudara sekalian, dalam Roma 13, saya lupa tepatnya ayat berapa….”
Tiba-tiba seorang ibu yang duduk paling depan menyodorkan Alkitab sambil
berkata, “Bapak pakailah ini. Bapak bacalah bunyi ayat yang tepat.”
Saya membuka Alkitab dan
melanjutkan, ”Pada ayat 4 tertulis: ‘Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk
kebaikanmu.’ Saudara sekalian, pemerintah mempunyai otoritas mengatur rakyat
dalam bidang ketertiban, keamanan, sosial, ekonomi dan sebagainya. Kalau
bidang-bidang itu diatur oleh pemerintah, itu mendatangkan kebaikan untuk
rakyat.
"Sebaliknya, ada bidang-bidang yang tidak patut diatur oleh pemerintah,
sebab kalau diatur oleh pemerintah justru akan merugikan rakyat, misalnya
urusan mencari jodoh, mengatur rumah tangga, mendidik anak dan juga memilih
agama serta mengatur kehidupan beragama. Itu urusan pribadi tiap orang. Agama
tidak perlu diakui dan juga tidak perlu diurus oleh pemerintah. Beragama atau
tidak, itu adalah hak yang paling asasi pada seorang individu. Pelaksanaan
kehidupan beragama adalah urusan pribadi yang tidak boleh diatur apalagi
diwajibkan oleh institusi di luar dirinya.”
Hadirin memelototi saya dengan wajah
tegang. Lalu saya berkata lagi, “Pengaturan dan pewajiban itu justru akan
merugikan agama itu sendiri, sebab yang akan timbul adalah kemunafikan.
Beribadah sepatutnya timbul dari kesadaran, bukan dari kewajiban. Tugas saya
sebagai pendidik adalah membuat umat berminat untuk beribadah. Kalau umat
sampai harus diwajibkan beribadah, itu berarti saya adalah pendidik yang tidak
becus. Kalau kita beragama hanya karena takut sanksi, maka kita cuma
berpura-pura. Ini bukan kesaksian.
"Bahkan ada kemungkinan, pemerintah juga
hanya berpura-pura dan para pejabat rajin mempertunjukkan diri hadir pada
upacara agama, padahal di belakang itu mereka korup. Sebab itu dukungan kita
kepada pemerintah selalu bersifat kritis dan selektif. Menurut Roma 13,
pemerintah bisa benar dan baik, namun menurut Wahyu 13 pemerintah juga bisa
keliru dan jahat. Kesimpulannya, piagam yang mewajibkan penduduk menjalankan
agama justru akan membuat rakyat menjadi kerdil dan tidak dewasa. Piagam ini
sama sekali tidak bersifat mendidik. Sebab itu, saya menolak piagam ini.
Sekian.”
PEMUNGUTAN
SUARA
Suasana menjadi sunyi. Tidak ada
yang bertepuk tangan. Ada satu dua orang yang mengangguk. Namun kebanyakan
orang tampak gelisah dan marah. Mereka menggeleng-gelengkan kepala. Dari
belakang terdengar suara-suara ejekan, “Ah, Pak Andar cuma sok pinter!”
Lalu berdirilah seorang bapak yang
berwajah garang. Ia berteriak, ”Itu pandangan tidak realistis. Piagam ini
justru mau menolong gereja. Nanti kebaktian kita jadi penuh dan persembahan
melimpah. Tidak ada orang yang berani jalan-jalan ke mal hari Minggu. Siapa
tidak hadir dalam ibadah akan dihukum penjara satu minggu. Siapa tidak memberi
perpuluhan akan dipenjara satu bulan. Ini bagus,bukan? Orang jadi takut pada
Tuhan. Dan firman Allah bersabda: semua
orang harus takut pada Tuhan.”
Hadirin langsung
menggema,”Haleluyah!” Lalu ketua sidang menegaskan ,” Sekarang lebih baik kita
memungut suara saja.” Lalu dengan cepat
kertas suara dibagi, diisi dan dihitung.
Ketua sidang kemudian
mengumumkan,”Anggota majelis yang terhormat, jumlah kertas suara ada 420.
Hasilnya sebagai berikut: Abstain 7; Menolak 13; Setuju 400. Jadi, sidang
menyetujui piagam ini! Berlaku mulai saat ini! Sekian! Sidang ditutup!
Tuhan memberkati!”
Saya meninggalkan tempat dengan
loyo. Sungguh keliru bahwa kita mengundang pemerintah mencampuri urusan pribadi
kita. Ini betul-betul keliru, masakan orang diawasi dan dipaksa untuk
beribadah.
PERINTAH
PENANGKAPAN
Tiba-tiba pintu rumah saya diketuk.
Ada empat orang polisi masuk. “Maaf, Pak Pendeta, kami membawa surat
penangkapan. Bapak harus masuk penjara. Bapak telah melanggar piagam kewajiban
hidup beragama!”
Saya heran dan terkejut. Apa-apaan
ini? Belum lagi saya bertanya, polisi itu melanjutkan,”Kami punya bukti, tadi
sepulangnya dari sidang di gereja, Bapak mampir di Restoran Bakmi Gajah Mada.
Bapak makan satu bakmi kuah dan satu pangsit serta minum satu gelas teh.” Saya
langsung membela diri, ”Benar! Tapi saya sudah bayar!”
Polisi itu berkata, ”Pak Pendeta,
bukan itu soalnya. Kami ada bukti dari kamera tersembunyi. Bapak telah
melanggar piagam. Bapak makan tanpa berdoa terlebih dahulu. Bapak dijerat
pasal: Barang siapa lalai berdoa, dijatuhi hukuman penjara lima hari!”
Keringat saya mengucur deras.
Dipenjara? Celaka tiga belas!
Tiba-tiba saya terbangun. Napas saya
terengah-engah. Baju saya basah oleh keringat. Wah, untung cuma mimpi. Mengapa
hubungan agama dan negara membuat saya mimpi buruk? Mengapa saya mimpi celaka
tiga belas? Jangan-jangan karena ini tanggal 13. [Andar Ismail]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar