PERSEPSI
“Penulis bagi surat kabar The
Washington Post mengadakan suatu eksperimen menguji persepsi orang. Ia
meminta seorang pemain biola terkenal melakukan pertunjukan tanpa membuka
identitas dirinya di stasiun kereta di Washington, DC, pada suatu pagi di bulan
Januari. Ribuan orang melintasinya ketika ia memainkan biolanya, tetapi hanya
sedikit yang berhenti untuk mendengarkannya. Setelah 45 menit, hanya US$ 32 (Rp
370ribu) disumbangkan orang ke dalam kotak biola yang terbuka milik sang
maestro.
Dua hari sebelumnya, pria ini—Joshua Bell—telah memainkan biola
Stradivarius seharga US$ 3.5 juta (Rp 40,25 miliar) miliknya dalam sebuah
konser yang tiketnya terjual habis seharga US$100 (Rp 1,15 juta) per tiket untuk menyaksikan
pertunjukannya.” Begitu kiriman Our Daily Bread versi Indonesia dari rekan
saya Prasetia dari Bali.
Saya tersenyum simpul. Tak kenal maka tak sayang, begitu kesimpulan
saya ketika membaca pesan ini secara cepat. Rupanya kisah ini tidak berhenti
sampai di situ. Saya terus teringat dan membuat saya membacanya berulang kali.
Akhirnya, saya mendapat beberapa pencerahan yang amat bermakna tentang
persepsi.
Pertama, persepsi
manusia itu sangat subyektif.
Sulit untuk mendapat manusia yang sangat
obyektif dalam kehidupan alam nyata. Masing masing manusia membawa persepsi dan
tendensi bahkan kesimpulan sebelum menilai orang lain. Sangat sedikit manusia
yang bisa menilai orang lain dengan obyektivitas tinggi tanpa dipengaruhi oleh bias
kecenderungan dan keinginan. Soal bagus jelek adalah soal persepsi dan
pemahaman yang sangat subyektif.
Bagi yang tidak mengerti seni bermain biola, gesekan biola Joshua
adalah biasa saja. Orang yang lalu lalang di stasiun kereta, adalah orang biasa
yang hanya bisa menghargai seni itu dengan bilangan $32 untuk 45 menit
pertunjukkan. Melihat fakta ini, apakah Joshua lantas berpikir bahwa karyanya
ternyata tidak memiliki nilai jual tinggi? Tentu saja tidak. Joshua tahu,
setiap orang memiliki hak mutlak untuk memberi persepsi. Dan persepsi bagi
pemain biola jalanan adalah kualitas nomor buncit yang hanya pantas mendapat
donasi uang receh.
Karya Picasso, Van Gough atau Basuki Abdullah selalu dipersepsikan
karya seni tingkat tinggi yang hanya bisa dimiliki oleh orang super kaya.
Apapun lukisannya, bagaimana pun bentuknya, pasti mendapat harga jual yang
lebih tinggi dibandingkan pelukis muda yang sedang naik daun. Sekali lagi bukan
soal kualitas tapi soal persepsi.
Kedua, persepsi tidak mudah diubah.
Perlu upaya keras dan
konsisten untuk mengubah persepsi orang pada kita. Sebagus apapun permainan
Bell, ketika dimainkan di hadapan publik yang memang tidak mengerti seni, maka
tidak akan dihargai, karena publik berpikir pemain biola jalanan adalah pemain
murahan. Itu sebabnya Guy Laliberte dan Daniel Gauthier, pemilik Cirque du
Soleil, mengubah persepsi duet pemain akrobat jalanan di taman menjadi
permainan di panggung tetap dengan gaya panggung seperti opera elite. Ia mampu
mengubah sirkus seharga US$10 menjadi US$90 dengan mengubah sirkus gaya baru
yang pantas dibayar setara dengan 'Panthom of the Opera'.
Seorang anak balita diberi dua pilihan hadiah yakni kunci mobil dan
sekeranjang coklat warna warni, mana yang akan dipilih? Mungkin seratus persen
anak balita akan memilih sekeranjang coklat dibandingkan kunci mobil. Kenapa ?
Sederhana saja, bagi anak balita coklat lebih penting dari mobil. Mereka belum
mengerti nilai jual sebuah mobil dibandingkan dengan sekeranjang coklat. Sekali
lagi ini bukan soal fakta tapi soal persepsi.
Ketiga, persepsi terhadap bungkus luar lebih kuat dibandingkan
dengan isi yang di dalam.
Style
kadang amat penting untuk membungkus substance.
Kalau publik tahu bahwa ia adalah Joshua Bell, maka stasiun itu akan mendadak
lumpuh. Banyak fans yang mendadak sontak mengunjungi stasiun kecil itu. Bukan
untuk menikmati musiknya, tapi sekadar berkenalan dengan aktornya. Bukan untuk
melihat performance-nya, tapi hanya
untuk melihat fisiknya. Kepiawaiannya mendadak tereliminasi dengan keberadaannya. Yang
dibutuhkan oleh fans macam begini adalah kemauannya untuk berfoto dan memberi
tanda tangan. Kalaupun harus dipasang tarif, saya yakin Joshua akan mendapat
puluhan kali dalam 45 menit dibandingkan memainkan musik Symphone 9 karya Bach tanpa diketahui siapa jati diri pemain itu.
Dikenal akan meningkatkan nilai jual dari seseorang yang kadang lebih besar
dari orang itu sendiri.
Iman yang Mengalahkan Persepsi
Dari kesimpulan atas kisah sederhana tadi, sudah selayaknya kita
jadikan pegangan dalam kehidupan kita ini. Persepsi sangat penting untuk kita
menjadi transformator di keluarga, karier, dan komunitas. Ada dua persepsi yang
harus kita kelola dengan saksama yakni persepsi orang lain terhadap diri kita (external perception) dan persepsi kita
terhadap diri kita sendiri (internal
perception). Keduanya harus selaras, tidak boleh ada konflik karena
perbedaan akan membuat hidup menjadi hipokrit dan tidak natural.
Kalau external perception
kita kurang baik dikarenakan perbuatan di masa lalu kita, apalagi kalau sudah
jadi label, harus dilawan secara konsisten dengan perubahan perilaku sehingga
terjadi perubahan persepsi. Tidak boleh dibiarkan dan dianggap lalu dengan
kata-kata yang kelihatannya rohani, tapi sebenarnya menunjukkan kekalahan
seperti “yang penting Tuhan tahu, soal persepsi orang emangnya gue pikirin”.
Tidak mungkin seseorang memiliki hidup yang berdampak pada orang lain,
ketika orang di sekitar mempersepsikan dirinya sebagai pribadi yang cacat dan
bernoda. Keseriusan berubah harus ditunjang dengan komunikasi atas perubahan
itu sendiri. Ini bukan untuk diri kita secara personal, tapi menolong seluruh
keluarga dan komunitas yang akan kita ikuti.
Sebaliknya, kalau yang menjadi hambatan adalah persepsi diri yang
kurang baik, ini harus dikelola secara personal pula. Anda membutuhkan
konselor, motivator, inspirator, fasilitator, dan coach yang bertujuan untuk mengubah persepsi diri yang salah dan
menggali persepsi atas potensi yang masih ada di dalam. Semua hanya bersumber
pada persepsi, mulai dari pengetahuan di kepala, perasaan di emosi, dan
keyakinan di hati.
Semua bergantung pada diri sendiri, apakah kita mau dipersepsikan
sebagai orang yang “lebih dari pemenang” atau sekadar sebagai “pemenang”.
Apakah kita mau mempersepsikan diri sekadar “garam dan terang” atau “garam
dunia dan terang dunia”. Ini berpulang pada kita masing masing. Siapa yang kita
persepsikan sebagai Tuhan yang membentuk kita dengan suatu tujuan tertentu. Ini
adalah iman yang mengalahkan persepsi. Hanya dengan ini kita akan mampu berdiri
teguh apa pun keadaannya. (Paulus Bambang WS)
* Paulus Bambang WS penulis buku laris Built to
Bless, Lead to Bless Leader, dan Balancing
Your Life
Tidak ada komentar:
Posting Komentar