Uang Saku bagi Sapi
Seorang
peternak sapi kedatangan petugas peternakan yang sedang mengadakan pengecekan.
Setelah berkeliling di sekitar peternakan, petugas itu bertanya: “Kau beri
makan apa sapi-sapimu setiap pagi dan petang setiap harinya?” Peternak itu menjawab: “Aku memberi
makan rumput dan dedak. Sesekali aku beri vitamin untuk pertumbuhan dan
produksi susunya!”.
Mendengar jawaban demikian, petugas
itu berkata, “Kalau begitu kau didenda karena memberi makan binatang peliharaan
bukan dengan makanan yang pantas. Apakah kau mau makan makanan seperti yang dimakan
sapi-sapimu?” Lalu dikeluarkanlah
surat denda. Peternak itu harus mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar
dendanya – sekalipun dia tidak mengerti apa kesalahannya.
Sapi Makan Daging
Beberapa waktu kemudian, petugas yang sama datang kembali ke peternakannya. Dia kembali menanyakan pertanyaan yang sama: “Kau beri makan apa sapi-sapimu setiap pagi dan petang setiap harinya?” Mengingat jawaban yang diberikan beberapa waktu lalu dan dianggap salah sehingga dia harus membayar denda, maka sekarang dia menjawab: “Mereka menikmati makan yang sama dengan aku: hamburger dengan daging sapi plus dua butir telur mata sapi setiap paginya – dan makan malam ala carte, ditambah dengan juice buah.”
Mendengar jawaban tersebut, sang
petugas menggeleng-gelengkan kepalanya, dan berkata: “Kamu keterlaluan, masak
sapi makan daging sapi dan telur mata sapi? Itu akan membuat sapi belajar
saling menyerang dan memberlakukan pola hidup kanibal. Kamu didenda!”.
Kali ketiga, petugas yang sama datang
kembali. Pertanyaan yang sama diajukan lagi: “Kau beri makan apa sapi-sapimu
setiap pagi dan petang, di setiap harinya?”
Belajar dari dua kali peristiwa sebelumnya, sekarang dia menjawab: “Aku
memberi sapi-sapiku uang saku Rp10.000 setiap harinya. Mereka bebas memilih
makan pagi dan makan malamnya.”
Itu hanyalah sebuah anekdot, yang
melaluinya kita diingatkan betapa seringnya kita menyampaikan sesuatu yang
tidak berkualitas dan terkesan asal-asalan dalam kesempatan penting – yang
seharusnya kita dapat menampilkan kualitas diri kita secara pantas di depan
sesama. Jika hal itu kita lakukan, sesungguhnya kita sedang mengabaikan momen
berharga yang membuat orang lain dapat memperhitungkan diri kita bukan sebagai
pribadi yang biasa.
Membekali Diri
Seorang tukang kayu hanya membutuhkan lima belas sampai tiga puluh menit untuk menebang sebatang pohon. Tetapi, dia memerlukan waktu tiga jam untuk mengasah mata kampaknya sehingga tajam. Harry S. Truman memberikan testimoninya demikian: “Saya telah mempelajari kehidupan pria-pria besar dan wanita-wanita terkenal, dan saya menemukan bahwa mereka yang mencapai puncak keberhasilan adalah mereka yang melakukan pekerjaan-pekerjaan yang ada di hadapan mereka dengan segenap tenaga, semangat dan kerja keras”.
Semua itu tidak mungkin terwujud tanpa
persiapan yang baik. Kepantasan kita bukanlah pemberian. Kepantasan juga bukan
sesuatu yang cuma-cuma untuk mendapatkannya. Semua itu kita sendirilah yang
menciptakannya.
Bisa saja kita sekadar berpartisipasi
untuk apa yang kita bersama dengan orang lain lakukan. Namun, itu saja tidak
cukup jika kita ingin menunjukkan kepantasan kita. Berpartisipasi secara aktif
dan memberikan kontribusi yang berkualitas akan menghadirkan dampak yang
berbeda.
Dialog antara petugas peternakan yang
ada di anekdot di atas adalah bentuk penghadiran diri yang sangat terbatas dan
bahkan tidak berkualitas. Di awal mungkin sebagian orang dapat menerimanya
sebagai sesuatu yang “wajar” atau sekadar kekeliruan kecil. Namun, jika hal itu
terus diulang akan menjadi pola. Hasilnya, orang akan sulit menghargai kita.
Mulailah menata setiap perkataan yang
kita ucapkan. Sikap dan perilaku yang kita munculkan serta pola tanngap dan
respons kita terhadap segala hal. Buatlah orang lain tertarik untuk menempatkan
diri kita sebagai pribadi yang pantas.[Imanuel Kristo]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar