Senin, 30 Juni 2014

Monday Spirit


Uang Saku bagi Sapi

Seorang peternak sapi kedatangan petugas peternakan yang sedang mengadakan pengecekan. Setelah berkeliling di sekitar peternakan, petugas itu bertanya: “Kau beri makan apa sapi-sapimu setiap pagi dan petang setiap harinya?” Peternak itu menjawab: “Aku memberi makan rumput dan dedak. Sesekali aku beri vitamin untuk pertumbuhan dan produksi susunya!”.
Mendengar jawaban demikian, petugas itu berkata, “Kalau begitu kau didenda karena memberi makan binatang peliharaan bukan dengan makanan yang pantas. Apakah kau mau makan makanan seperti yang dimakan sapi-sapimu?” Lalu dikeluarkanlah surat denda. Peternak itu harus mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar dendanya – sekalipun dia tidak mengerti apa kesalahannya.

Sapi Makan Daging
 
Beberapa waktu kemudian, petugas yang sama datang kembali ke peternakannya. Dia kembali menanyakan pertanyaan yang sama: “Kau beri makan apa sapi-sapimu setiap pagi dan petang setiap harinya?” Mengingat jawaban yang diberikan beberapa waktu lalu dan dianggap salah sehingga dia harus membayar denda, maka sekarang dia menjawab: “Mereka menikmati makan yang sama dengan aku: hamburger dengan daging sapi plus dua butir telur mata sapi setiap paginya – dan makan malam ala carte, ditambah dengan juice buah.”
Mendengar jawaban tersebut, sang petugas menggeleng-gelengkan kepalanya, dan berkata: “Kamu keterlaluan, masak sapi makan daging sapi dan telur mata sapi? Itu akan membuat sapi belajar saling menyerang dan memberlakukan pola hidup kanibal. Kamu didenda!”.
Kali ketiga, petugas yang sama datang kembali. Pertanyaan yang sama diajukan lagi: “Kau beri makan apa sapi-sapimu setiap pagi dan petang, di setiap harinya?” Belajar dari dua kali peristiwa sebelumnya, sekarang dia menjawab: “Aku memberi sapi-sapiku uang saku Rp10.000 setiap harinya. Mereka bebas memilih makan pagi dan makan malamnya.”
Itu hanyalah sebuah anekdot, yang melaluinya kita diingatkan betapa seringnya kita menyampaikan sesuatu yang tidak berkualitas dan terkesan asal-asalan dalam kesempatan penting – yang seharusnya kita dapat menampilkan kualitas diri kita secara pantas di depan sesama. Jika hal itu kita lakukan, sesungguhnya kita sedang mengabaikan momen berharga yang membuat orang lain dapat memperhitungkan diri kita bukan sebagai pribadi yang biasa.

Membekali Diri
Robert Collier pernah berkata: “Kesempatan Anda untuk sukses di setiap kondisi selalu dapat diukur oleh seberapa besar kepercayaan Anda pada diri sendiri”. Kepercayaan diri akan muncul dan berkembang hanya ketika kita membekali diri dengan memadai. Buatlah setiap hal yang hendak kita jalani sebagai sesuatu yang penting, sehingga kita perlu mempersiapkan diri sebaik mungkin. 
Seorang tukang kayu hanya membutuhkan lima belas sampai tiga puluh menit untuk menebang sebatang pohon. Tetapi, dia memerlukan waktu tiga jam untuk mengasah mata kampaknya sehingga tajam. Harry S. Truman memberikan testimoninya demikian: “Saya telah mempelajari kehidupan pria-pria besar dan wanita-wanita terkenal, dan saya menemukan bahwa mereka yang mencapai puncak keberhasilan adalah mereka yang melakukan pekerjaan-pekerjaan yang ada di hadapan mereka dengan segenap tenaga, semangat dan kerja keras”.
Semua itu tidak mungkin terwujud tanpa persiapan yang baik. Kepantasan kita bukanlah pemberian. Kepantasan juga bukan sesuatu yang cuma-cuma untuk mendapatkannya. Semua itu kita sendirilah yang menciptakannya.
Bisa saja kita sekadar berpartisipasi untuk apa yang kita bersama dengan orang lain lakukan. Namun, itu saja tidak cukup jika kita ingin menunjukkan kepantasan kita. Berpartisipasi secara aktif dan memberikan kontribusi yang berkualitas akan menghadirkan dampak yang berbeda.
Dialog antara petugas peternakan yang ada di anekdot di atas adalah bentuk penghadiran diri yang sangat terbatas dan bahkan tidak berkualitas. Di awal mungkin sebagian orang dapat menerimanya sebagai sesuatu yang “wajar” atau sekadar kekeliruan kecil. Namun, jika hal itu terus diulang akan menjadi pola. Hasilnya, orang akan sulit menghargai kita.
            Mulailah menata setiap perkataan yang kita ucapkan. Sikap dan perilaku yang kita munculkan serta pola tanngap dan respons kita terhadap segala hal. Buatlah orang lain tertarik untuk menempatkan diri kita sebagai pribadi yang pantas.[Imanuel Kristo]

Jumat, 27 Juni 2014

Sosialita



Jeremy Teti: Buah Penantian Panjang

Ada yang unik saat Panasonic Gobel Awards ke-17 di Jakarta Convention Center lalu. Sudah 5 kali Jeremy Teti masuk nominansi kategori presenter berita, tapi belum pernah menang. Dalam pengaruh sugesti yang dilakukan Uya Kuya, pria kelahiran Atambua, 31 Maret 1968 ini pesismis. 

Ia tidak lagi berharap memenangkan penghargaan bergengsi itu. Ia mengaku kapok dan malu karena sudah minta sanak famil di kampungnya memberikan dukungan dan menyaksikan siaran langsung. Ia bahkan sudah menyiapkan pidato kemenangan.
                Tahun ini saingannya memang berat. Ada Karni Ilyas pemandu acara Indonesia Lawyer Club. Andy F. Noya host Kick Andy, pimred Metro TV Putra Nababan, dan Najwa Shihab. Terlebih lagi kini Jeremy sudah berhenti sebagai penyiar berita di SCTV sejak Agustus 2013.
Namun, kejutan terjadi ketika ia diajak Uya membacakan pemenangnya. Begitu namanya disebut sebagai pemenang kategori Presenter Berita & Talkshow Berita, Jeremy tak percaya. Ia minta kameramen meng-close-up namanya. Ia juga tampak bingung mewakili tv mana. “Kalau dulu masih siaran kan jelas mewakili satsiun tv mana. Tapi mungkin ini juga makna buat saya cukup besar sekali. Penantian cukup lama. Lima tahun lebih, baru dapat sekarang. Ya, ini sebuah bukti perjuangan dan support orang yang besar buat saya,” ujarnya.
Warga Paroki St. Gregorius , Tangerang ini pun mendaraskan syukurnya. “Terima kasih Tuhan akhirnya saya dapat juga.. Tuhan sudah memberikan pengharagaan melalui award ini. Mudah-mudahan dengan ini saya makin dekat dengan Tuhan, semakin lebih bijaksana dalam hidup saya dan semakin banyak orang yang mencintai saya.”
                Piala Panasonic sudah dimenangkan, tapi masih ada penantian lainnya: memenangkan hati perempuan yang akan menjadi pendamping hidupnya. (Gie)

Kamis, 26 Juni 2014

Kisah Nyata



Anak Panti Sukses Usaha Bridal

Ia dikenal sebagai pengusaha bridal yang sukses. Kerasnya hidup masa kecil menjadi pelecut untuk berjuang mendapatkan hidup layak.

Berjuang Hidup
 
Sejak kecil Susanti Kartiningrum dan kakaknya harus tinggal di panti asuhan setelah ayah mereka bangkrut. Susanti kecil sering meneteskan air mata dan menahan pedih karena kehilangan kasih sayang. "Pada waktu itu, tidak ada rasa nyaman, tidak ada kasih sayang. Saya merasa hidup sendiri," ungkapnya.
Selama 15 tahun tinggal di panti asuhan dan  kemiskinan yang dialami keluarganya membuat Susanti bertekad untuk keluar dari kemiskinan. "Kalau sudah besar, saya harus berjuang. Saya mau hidup layak." Ia pun menjalani berbagai pekerjaan dari staf administrasi di rumah sakit, hingga guru. Dari berbagai pekerjaannya, akhirnya ia jatuh cinta pada bidang kecantikan.
"Saya suka sama hal-hal yang berhubungan dengan kecantikan dan merasa bisa mengerjakannya. Ada keberanian yang muncul begitu saja secara otodidak," Dari situ Susanti mulai merintis usaha salon yang diberi nama "Kezia" di Semarang.

Derita Perceraian
Susanti pun menikah dengan kekasihnya. Mereka dianugerahi dua anak laki-laki. Namun indahnya bahtera pernikahan tidak lama dirasakannya. Pertengkaran demi pertengkaran sering terjadi dalam rumah tangga mereka. Dengan alasan takut merusak perkembangan jiwa anak-anaknya, Susanti memutuskan berpisah dari suaminya.
Perpisahan itu ternyata membuat Susanti semakin tertekan. "Keadaan itu menekan saya, terutama pandangan masyarakat dan itu sangat memukul perasaan saya." Pertentangan batin mulai dirasakan Susanti. Hatinya kelu dengan peristiwa-peristiwa buruk yang menimpa hidupnya.
Kekecewaan terus memenuhi hatinya, hingga suatu hari seorang teman menelponnya. Melalui teman itulah Susanti kembali mendapat penguatan dan disarankan untuk memaafkan orang-orang yang telah menyakiti hatinya. "Saya berjuang setengah mati untuk mengambil keputusan memaafkan. Saya berteriak, ‘Tuhan, oke saya maafkan!’ Tiba-tiba ada damai sejahtera dan saya mulai kuat lagi," ungkapnya.
Pengharapannya lahir kembali. Bahkan Susanti mulai mempunyai kerinduan untuk dapat bersatu lagi dengan suaminya.

Berkat Tuhan
Berbekal dengan sisa uang tabungannya, Susanti mencoba mengadu nasib di Jakarta dengan membuka usaha serupa. Namun lagi-lagi, Susanti belajar bahwa hidup tidak semudah bayangannya. Ia sempat merasa depresi dan kembali mempertanyakan Tuhan. Akhirnya, ia mendapat pencerahan. "Tuhan bilang serahkan semua yang ada pada hidupmu kepada-Ku." Pencerahan ini membuatnya bergairah. Dia menyerahkan usahanya kepada Tuhan. "Pada waktu saya nggak ada uang mau bayar tagihan, saya katakan sama Tuhan gini, ‘Tuhan, usaha ini milik-Mu. Tuhan kasih berkat ya’," kisahnya.
Saat itu malam hari dan sedang hujan, ada orang yang ingin melihat koleksi gaun pengantin miliknya. Susanti melayaninya itu dengan ramah. Sebuah gaun rancangannya laku terjual. Ia pun mampu membayar tagihannya esok hari.
"Sejak hari itu saya bisa melihat kebaikan-kebaikan Tuhan itu beruntun dalam kehidupan saya. Jadi, saya percaya bahwa hidup kita bener-bener dipelihara. Sejak itu saya makin beriman, makin mengerti dan nggak takut." Usaha Susanti pun semakin maju dan berkembang.

Tuhan Menyatukan Keluarga
 
Susanti mendapat kabar bahwa suaminya jatuh sakit dan membutuhkan dukungan dari keluarga. "Ada suara di hati saya, sepertinya Tuhan ngomong, ‘Ini waktunya, kamu tolong dia. Ya, saya mau taat aja. Saya telepon anak saya dan beri tahu bahwa ini adalah yang Tuhan mau. Jadi apa yang mama lakukan adalah yang Tuhan mau."  

Keputusan Susanti untuk menerima suaminya kembali semakin melengkapi kebahagiaan keluarganya. Dari semua pengalaman yang dialami, ia mendapat banyak pelajaran berharga. 

"Hidup itu perlu diperjuangkan, tapi dengan siapa kita berjuang itu masalahnya. Kalau kita berjuang bersama Tuhan Yesus, nggak ada sesuatu pun yang kita tidak bisa capai. Pasti bisa! Sebagaimana saya ada sampai saat ini bukan karena kuat dan gagah saya. Tetapi, kesanggupan saya adalah kesanggupan Allah dalam hidup saya."

Rabu, 25 Juni 2014

Kabar Kita




Alfred Simanjuntak Berpulang



Bangsa Indonesia, khususnya gereja Tuhan di Indonesia kembali kehilangan putra terbaiknya. Alfred Simanjuntak, komposer lagu-lagu nasional dan lagu rohani, meninggal dunia pada usia 93 tahun di RS Siloam Karawaci, Rabu (25/06).

Komposer yang dikenal dengan nama panggilan Pak Siman ini terkena stroke ringan setahun yang lalu, dan sejak saat itu kondisi kesehatannya terus menurun.

Sampai saat meninggal dunia, Alfred masih tercatat sebagai Dewan Pembina Yayasan Musik Gereja (Yamuger), lembaga penerbitan buku-buku musik gereja yang ia dirikan pada 11 Februari 1967 bersama EL Pohan, Ruben Budhisetiawan (Yap Heng Ghie), JL Aulia (Lauw Kian Joe), dan Prof Dr JLC Abineno, yang kesemuanya telah mendahuluinya.

Alfred, lahir di Tapanuli Selatan, 8 September 1920, mengawali karir sebagai guru sekolah di Madiun, Semarang dan Jakarta. Ada beberapa lagu nasional yang diciptakannya.  Salah satu yang paling terkenal adalah lagu “Bangun Pemuda-Pemuda” yang lahir dalam semangat perjuangan. Ia menjadi guru di Semarang pada waktu itu, dan sekolah tempatnya mengajar memerlukan lagu untuk menyulut semangat.

Setelah Indonesia merdeka, dia sempat bekerja sebagai wartawan surat kabar Soember, sebelum akhirnya masuk ke dunia penerbitan, sebagai direktur dari BPK Gunung Mulia.
Walau mengecap kehidupan sebagai wartawan, dunia pendidikan menjadi kepedulian utama Alfred. Dalam salah satu percakapan, ia pernah menyatakan kerinduannya untuk membangun manusia pembangun.

Selamat jalan pejuang bangsa.