Kamis, 27 Maret 2014

Spotlight


Putra Nababan (3)
Mewawancarai Obama

Pengalaman paling berkesan adalah saat Putra mewawancarai  Presiden Barack Obama di Gedung Putih pada 2010. Tiga hari sebelum wawancara, pihak Gedung Putih baru mengirim pemberitahuan. “Itu momentum yang luar biasa. Saya terbang 27 jam. Masih jetlag harus wawancara. Waktunya hanya 15 menit,” cerita Putra.

Sebenarnya, dia selalu mempersiapkan fisiknya biar fit jika akan mewawancarai tokoh penting. Apalagi Obama. Tetapi saking asyiknya mencari berita, Putra lupa minum.

Begitu masuk Gedung Putih dengan pengawalan ketat, ia baru merasa kalau kerongkongannya kering. Tentu saja ia tidak bisa langsung minta minum. Untung, 5 menit sebelum Obama masuk, minuman datang. “Begitu diberi, saya tanya sudah boleh diminum? Mereka bilang iya, saya langsung minum semuanya, padahal Obama belum minum.”

Begitu Obama masuk, kata Putra, pundaknya langsung ditepuk. “Selamat pagi. Apa kabar?” “Bahasa Indonesianya fasih. Begitu waktu 15 menit sudah hampir habis, orang-orang di sekitar Obama sudah memberi tanda. Saya pake taktik,  ‘This is my last question, ha … ha … ha … ha.”  

Kerja Tim
Setelah 3,5 tahun di MetroTV, Putra pindah ke RCTI pada 2004. Mula-mula ia menjabat produser eksekutif lalu menjadi manajer produksi berita. Arief Suditomo menjadi pemimpin redaksi. “Di sini saya benar-benar diuji. Banyak orang yang mencoba membenturkan saya dan Arief. Banyak cara mereka lakukan. Tetapi mereka tidak berhasil. Saya bisa bekerja sama dengan Arief selama 7 tahun. Dia banyak sekali membantu saya,” kata Putra.

Bulan September 2012, Putra kembali bergabung dengan MetroTV sebagai pemimpin redaksi. “Surya Paloh perlu waktu satu tahun untuk bisa memboyong saya ke Metro. Dia melamar saya bulan Oktober 2011, dan baru saya iyakan pada September 2013,” kata Putra. (Lex) 


BIODATA

Nama: Putra Nababan
Lahir  : 28 Juli 1974
Pekerjaan: wartawan
Jabatan : Pemimpin Redaksi MEtroTV
Istri : Mira Maria Melati Sirait
Anak-anak
:  
  • Aubriel Mutiara Aza Nababan  
  • Gabriel Indonesia Prinz Nababan

Penghargaan:
  • 2009 Panasonic Awards for Best News Presenter
  • 2010 Panasonic Gobel Awards for Best News Presenter
  • 2011 Panasonic Gobel Awards for Best News Presenter
  • 2012 Panasonic Gobel Awards for Best News Presenter Awards











Spotlight

Putra Nababan (2)
Memilih “Jalan Keras”

Sebenarnya Putra bisa saja minta rekomendasi. Hampir semua pemilik koran nasional di Jakarta adalah kolega bahkan beberapa adalah karib ayahnya. Tetapi, ia tidak mau melakukan hal itu. “Prinsip saya, saya tidak mau masuk ke media yang mengenal siapa saya atau siapa papa saya. Saya tidak mau mendapat kemudahan gara-gara papa saya,” kata Putra.

Putra masuk koran Merdeka milik BM Diah. Saat itu pemimpin redaksinya adalah Tribuana Said. Merintis karier dari bawah. Mula-mula jadi reporter lalu koordinator liputan hingga menjadi redaktur pelaksana. “Saya ini bukan wartawan salon atau wartawan humas. Spesialisasi saya adalah menembus sumber yang sukar. Maka jangan heran sekarang kalau banyak tokoh yang saya kenal. Itu gara-gara saya kejar mereka waktu masih sering di lapangan,” ujarnya. 

Untuk bisa akrab dengan Megawati Soekarnoputri dan suaminya Taufik Kiemas misalnya, Putra perlu waktu 8 bulan. “Saya itu mulai dari Kebagusan (rumah Megawati,red)  nunggu Megawati. Saya ke sana hampir tiap hari. Mula-mula kehujanan, kepanasan di luar.  Dua bulan kemudian, saya datang dan bisa langsung ke pos satpam. Trus karena sering lihat saya, Megawati tanya-tanya. Sekarang, kami sering sarapan bareng dan saya panggil Megawati dengan sapaan ‘mbak’,” ujarnya.

Putra memang dikenal ngotot mengejar narasumber. Ia pantang pulang kantor tanpa hasil. Ia bisa tahan berjam-jam menunggui menteri hingga dini hari. Putra pernah nongkrong di depan rumah Menteri Oetojo Oesman selama 12 jam gara-gara si menteri tidak mau keluar rumah untuk diwawancarai.

“Saya biasa ngejar orang  di tempat-tempat yang tidak umum seperti lapangan golf, ruang VIP bandara. Saya hafal plat nomor setiap menteri. Juga kalau dia mau kelabui kita, dia putar nomornya,” ujar Putra.

Masuk Televisi
Tahun 2001 Putra masuk Metrotv. Dunia yang berbeda meskipun sama-sama berbasis jurnalistik. Oleh Andy Noya, yang lebih dulu di sana, Putra disarankan agar tidak mulai dari reporter. Apalagi jabatan terahir Putra adalah redaktur pelaksana sebuah koran nasional beroplah 250 ribu kala itu. Belum lagi kalau dilihat latar belakang pendidikannya yang lulusan Amerika.

“Saya bilang sama Andy Noya, ‘Bang saya mau mulai dari nol’. Andy bilang kalau kapasitas saya terlalu besar sebagai reporter. Tetapi saya ngotot karena saya tahu televisi ini jenis ‘binatang’ yang lain. Lagipula saya berpikir kalau kelak saya menjadi pemimpin, jangan sampai saya ditipu sama anak buah. Karena saya tahu persis prosedurnya,” kata Putra.

Sebagai mantan redpel, apalagi lulusan Amerika, godaan untuk menyombongkan diri kerap muncul juga. “Orang Batak itu ada bakat sombongnya. Coba, saya 8 tahun jadi wartawan, lalu redaktur pelaksana, masa jadi reporter lagi? Saya ingat pesan papa bahwa begitu orang menyanjungmu itu artinya mereka sedang menampar-nampar mukamu. Sanjungan itu tidak sehat. Saya ingat betul itu,” kata Putra.

Hampir jebol juga pertahanannya. Putra bilang, ia bertemu dengan reporter dan cameraman MetroTV yang kurang gaul. Jadi, mereka tidak mengenal siapa dirinya. “Mereka tidak tahu kalau di lapangan saya ini jago. Mereka suruh saya angkat tripod, pegang kamera atau  cari mobil. Itu saya lakukan. Kerap saya duduk di belakang dan disuruh pangku kamera. Saya taat karena saya mau belajar,” ujarnya.

Suatu ketika, kata Putra, mereka meliput ke kantor Menkopolkam. Seperti biasa, kaca mobil diturunkan di pos satpam. Saat satpam melongok ke dalam, ia teriak sambil hormat, “Siap Pak Putra!” Waktu masuk ke dalam, semua asisten menteri memanggil “Pak Putra” sambil berjabat tangan.  “Teman-teman pada bingung. Waktu  pulang mereka tanya, ‘Loe siapa sih, Put’? Kok semua orang di Polkam panggil loe pak? Semuanya kok kenal loe?’ Dalam hati saya bilang, ‘Rasain loe, he … he … he’.”

Spotlight

Putra Nababan (1)
CINTA PUTRA KEPADA JURNALISTIK

Putra Nababan (39) sebenarnya sudah meneken kontrak dengan sebuah koran di Nebraska, AS. Tetapi tiba-tiba datang telepon dari Jakarta.

“Hei Putra, segeralah kau pulang ke Indonesia. Soeharto mau jatuh,”  Putra menirukan telepon dari ayahnya, Panda Nababan, suatu kali pada tahun 1994.  Saat itu Putra baru saja menyelesaikan sekolah jurnalistiknya di  Mitland  Lutheran  College, Fremont, Nebraska, Amerika. Ia juga sudah meneken kontrak $20 ribu setahun untuk menjadi reporter di sebuah koran di sana.

“Eh, siapa yang tidak mau melihat Soeharto jatuh waktu itu? Eforia banget kita kan? Saya juga begitu, meskipun Pak Harto benar-benar undur diri baru 4 tahun kemudian,” kata Putra.

Telepon itu hanya akal-akalan ayahnya saja. Dia khawatir Putra tidak mau pulang Indonesia. “Papa  saya khawatir, kalau saya lama dikit di Amerika, saya bisa nikah dengan boru sana. Soalnya dia lihat banyak contoh, orangtua kirim anak sekolah ke luar negeri, mereka tidak mau pulang lagi. Ayah saya takut kalau saya kehilangan akar  Batak, ha … ha … ha … ha,”  Putra tertawa.

Di Jakarta, ia magang reporter di majalah Forum Keadilan. Ayahnya wakil pemimpin umum di majalah ini. Pemimpin redaksinya, Karni Ilyas. Tetapi, kata Putra, dia tidak minta perlakuan khusus. Sebagai calon reporter, kerap ia diplonco oleh senior-seniornya. Ada yang suruh bikinin kopi tiap hari. Ada yang kalau sedang liputan menyuruhnya menenteng kameranya. Pokoknya, benar-benar diplonco. 

Kata Putra, “Bapak saya ndak tahu sama sekali kalau saya dikerjain anak buahnya. Nenteng kamera fotografer senior pun saya lakukan. Suatu kali, mereka mau ke Cilangkap. Mereka suruh saya nunggu di depan kantor Departemen Perdagangan  dari  jam 5 pagi.  Padahal baru jam 7 mereka datang.  Saya iya saja karena saya sudah lewatin yang lebih berat di Amerika.”

Saking nakalnya waktu di SMP, ia diikutkan program pertukaran pelajar ke Iowa City oleh orangtuanya. Usianya baru 14 tahun. Anak kecil dengan  bahasa Inggris patah-patah, tinggal jauh dari orangtua dan mendapatkan orangtua angkat yang sangat disiplin.

“Ah, gentar betul saya waktu itu. Nakal saya langsung luruh. Saya tahu papa melakukan ini karena dia khawatir saya tidak akan jadi orang. Waktu SMP saya itu nakal sekali. Setiap hari pasti berkelahi atau curi mangga tetangga, lemparin rumah orang. Tetapi pas pembagian rapor pasti kena tampar dari papa karena nilainya merah semua,” kenang Putra.

Titik baliknya adalah Amerika. Hanya perlu waktu setahun baginya untuk menyelesaikan SMA. Lalu, ia melanjutkan  ke sekolah jurnalistik. Di Amerika, ia jadi lebih mandiri. Libur musim panas, ia melamar jadi satpam di kampusnya. “Bayaran satpam lebih tinggi dari cleaning service. Jadi, saya pilih satpam. Lumayan sebulan dapat $700,” kata Putra.

Darah Wartawan
Darah wartawan  mengalir deras dalam tubuhnya. Ayahnya  adalah wartawan yang punya nama pada masanya. Panda Nababan telah meliput ke banyak negara dan di seluruh pelosok Indonesia. Meliput sepakbola, perang, kampanye, dan sebagainya. “Kami  jarang ketemu. Papa lebih sering di lapangan. Yang paling saya ingat adalah kalau Natal kami pasti pulang kampung. Saat itulah papa bercerita tentang liputannya. Juga tentang prinsip hidupnya, bahwa apa yang kita miliki jangan membuat kita sombong. Itu semua pemberian Tuhan,” ucap Putra.

Waktu ia memilih jurusan jurnalistik, mamanya tidak setuju. “’Mana cocok kau jadi wartawan?  Lagipula gajinya kecil. Tapi terserah kau sajalah,’ kata mamaku. Jadi, saya pilih jurnalistik,” terang Putra.

Putra tahu,  profesi wartawan tidak menjanjikan kehidupan berlimpah. Apalagi wartawan di Indonesia. Hidupnya hanya pas-pasan. Toh, kata Putra,  ia juga anak seorang wartawan. “Salib itu saya sudah tahu. Di seluruh dunia wartawan ya hidupnya gitu-gitu aja. Waktu lulus saya hanya ditawar $20 ribu per tahun. Bandingkan teman saya yang programmer komputer  dibayar $60 ribu. Yang lulusan ekonomi, padahal saya tahu dia bodoh, dapat $40 ribu per tahun. Bagi saya, jadi wartawan itu sebagai cara saya bersyukur,” kata Putra.

Agenda Kita



IMAGO Creative CONFERENCE & WORKSHOP

Tinggal 1 HARI INI harga early bird! Jangan lewatkan!




Anda diciptakan untuk menjadi KREATOR, bukan DUPLIKATOR! Bagaimana menjadi TERANG bagi dunia dengan cara2 yang kreatif, mutakhir, tapi membumi? Temukan jawabannya di acara langka yang menggabungkan kreativitas, misi, dan media ini.


IMAGO CREATIVE CONFERENCE 2014
Jakarta, 25-26 APRIL 2013
Upperroom, Wisma Nusantara
Theme: THINK POSSIBLE

Pembicara2 inspiratif yang akan berbagi:
Ir. Ciputra (Entrepreneur)
Danny Oei (pakar branding dan marketing)

Yenny Wahid (Human Right Activist)
Ir. Basuki T. Purnama (Wakil Gubernur DKI)
Arswendo Atmowiloto (Budayawan)
Garin Nugroho (Sutradara)
dan masih banyak lagi!!


Hadiri juga:
IMAGO Creative WORKSHOP
Jakarta, 25 APRIL 2014
Blitz Megaplex, Grand Indonesia.
Bersama Garin Nugroho (Sutradara), Lukman Sardi (Actor), Nicoline Patricia (Photographer), Titien Wattimena (Script Writer) & 4 pembicara lainnya akan berbagi pengalaman praktis.

Daftar sekarang dan dapatkan promo BUY 3 GET 1 FREE..
Early bird sampai hari ini, 28 Maret 2014.
Imago CONFERENCE ticket:
Public 450rb, early bird 360rb
Student 340rb, early bird 272rb

Imago Workshop ticket:
Public/student 200rb, early bird 180rb

www.imagoplanet.com / 021-89905566 ext 343
Organized by CBN Indonesia


Acara ini didukung oleh Majalah INSPIRASI Indonesia, Radio Pelita Kasih (RPK), dan media partner lainnya.