Kamis, 14 Agustus 2014

Esensi



Gaya Hidup Pemimpin


            Tiap orang mempunyai sifat, watak, perilaku dan kepribadian masing-masing.  Ada orang yang pendiam, ada yang suka bicara.  Ada yang pongah, ada yang pemalu.  Ada yang santun, ada yang kasar.  Dan seterusnya.

            Ketika seseorang menjadi pemimpin di gereja, perusahaan, perkumpulan, parpol, negara, atau apapun, pastilah sifat, watak, perilaku, dan kepribadiannya itu terbawa juga.  Gaya hidup seseorang akan tampak dalam gaya kepemimpinannya secara verbal maupun non verbal.

            Perbedaan gaya hidup itu akan menjadi lebih tampak jika ada dua orang sedang disorot dan dibandingkan, misalnya dua orang calon gubernur atau calon presiden. Terkadang perbedaan itu mencolok sehingga gaya hidup kedua orang itu menjadi saling berseberangan.

            Marilah kita tinjau perbedaan gaya antara dua orang pemimpin dengan memperhatikan lima contoh aspek gaya hidup.  Lalu dalam tiap aspek itu kita melihat mana gaya hidup yang ada dalam diri Yesus selama ia menjadi pemimpin sepanjang masa kerja-Nya di bumi Palestina dua ribu tahun yang lalu.

Pertama, gaya hidup perlente versus bersahaja.
Pemimpin A berbadan tegap dan berpundak lebar kekar. Sehari-hari ia mengenakan setelan jas safari yang terbuat dari bahan impor berkualitas top yang diukur serta dijahit oleh tailor eksklusif. Ia selalu tampak anggun dan agung bagaikan pembesar atau jendral. Dengan pakaian sebagus itu langsung tampak bahwa ia berkelas tinggi. Ia tampak keren, perlente, dan cakep. Ia mengutamakan penampilan dan mode.

            Sebaliknya pemimpin B berbadan kerempeng. Tiap hari ia mengenakan kemeja putih yang biasa dari toko penjual pakaian jadi.  Celananya hitam atau kelabu. Pakaiannya tidak tampak beda dengan orang-orang biasa. Itu pakaian orang bersahaja. Ia memang sudah biasa hidup sederhana dan merakyat.

            Bagaimana dengan Yesus? Yesus adalah seorang mantan tukang kayu dan sehari-hari Ia berada bersama para rasul-Nya yang adalah nelayan. Mereka berjalan dari desa ke desa dan menginap di rumah penduduk desa. Yesus berpakaian seperti orang kebanyakan. Ia tidak mengutamakan pakaian. Kata-Nya, “Janganlah khawatir ... mengenai apa yang hendak kamu pakai” (Luk. 12;22, TB2). Bahasa aslinya, “Me merimnate ... ti endusesthe”.  Terjemahan alternatif, “Janganlah kamu mengutamakan ... apa yang akan kamu pakai”.

Kedua, gaya hidup galak tegas versus belas asih.
Pemimpin A selalu pasang muka yang siap menegur. Ia galak.  Sikapnya otoriter. Suaranya cenderung membentak. Ketika berpidato struktur kalimatnya retorik, formal, dan bersubstansi slogan. Ragam kalimatnya  sering imperatif dengan intonasi tinggi pada akhir suku kata.  Ia selalu membusungkan dada.

            Sebaliknya, pemimpin B bersikap merendah. Ketika melihat orang banyak ia bukan cenderung menegur melainkan mengasihani. Perasaannya yang dominan adalah belas asih. Ia berbela rasa dengan nasib orang banyak. Ia tidak senang berpidato, namun ketika harus berpidato, bahasanya cair, gampang, dan sederhana, tetapi persuasif dengan intonasi lambat bernada rendah. Ragam kalimatnya kebanyakan ragam ajakan, ragam permintaan, dan ragam pengharapan.

            Bagaimana dengan Yesus?  Yesus tidak membusungkan dada, sebaliknya Ia mengelus dada karena rasa iba melihat kondisi hidup rakyat jelata. Tertulis, “Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka karena mereka lelah dan terlantar...” (Mat. 9:36). Injil ini mencatat tiga kejadian di tiga tempat berbeda di mana Yesus merasa iba melihat nasib rakyat jelata.

Ketiga, gaya hidup gagah versus polos.
Pemimpin A menyukai suasana yang serba gagah dan hebat.  Kemewahan mobilnya mencolok. Motornya motor gede dengan bunyi knalpot menderu. Ketika ribuan orang sudah menunggu dia di stadion, datanglah ia memasuki lapangan itu. Naik apa? Ia menunggang kuda tinggi besar yang berderap-derap. Sungguh berhasil ia menimbulkan kesan bahwa ia gagah perkasa.

            Sebaliknya, pemimpin B malah tersipu-sipu kalau ditonton oleh orang banyak. Ia tidak mau tampak mencolok. Mobilnya biasa-biasa saja. Ia tidak mau menimbulkan kesan gagah perkasa karena memang ia tidak gagah perkasa.

            Bagaimana dengan Yesus? Pada zaman itu hewan tunggangan adalah kuda atau keledai. Kuda lebih mahal, lebih cepat, dan lebih gagah. Para perwira tentara Romawi menunggang kuda, tetapi rakyat biasa menunggang keledai.

Ketika naik ke bukit Yerusalem Yesus menunggang keledai. Itu alat transportasi yang paling murah. Penulis Injil mengutip nubuat yang berkata, “Rajamu sedang datang kepadamu, ia rendah hati dan menunggang seekor keledai” (Mat. 21:5, BIMK).

Keempat, gaya hidup reaktif versus gitu aja kok repot.
Pemimpin A terkesan kurang bisa mendengarkan dengan sabar. Ia justru cepat bereaksi apalagi kalau mendengar kritik dan kecaman. Ia cakap mengingkar dan membantah. Dengan wajah yang langsung tegang dan merah ia menantang.

            Sebaliknya pemimpin B kurang cakap bicara namun cakap mendengarkan. Dengan kepala menunduk ia memasang telinga untuk berkonsentrasi mendengarkan keluhan seseorang. Ketika difitnah ia tidak reaktif. Dengan tenang ia berkata, “Ora opo-opo.” Atau, “Enggak kenapa-napa.”

            Bagaimana dengan Yesus? Pernah Yesus dihina oleh penduduk desa Samaria. Ia memohon diperbolehkan menginap di sebuah desa orang Samaria. Tetapi Yesus ditolak. Tentu saja para rasul tersinggung dan marah. Mereka menghasut Yesus, “Tuhan, apakah Engkau mau supaya kami menyuruh api turun dari langit untuk membinasakan mereka?”
 
Apakah Yesus mengiyakan hasutan itu?  Sama sekali tidak. Tertulis, “Akan tetapi Ia berpaling ...” (Luk. 9:54,55). Yesus pergi dan mencari desa lain.

Kelima, gaya hidup berada di atas versus berada di antara.
Pemimpin A berlatar belakang dan berasal dari keluarga atas. Ia tampak menjaga jarak jika berada dengan orang kebanyakan. Kalau ia mengunjungi sebuah kampung kumuh tampak dari bahasa tubuhnya bahwa ia merasa jijik dan canggung. Kunjungannya itu hanya formalitas belaka. Ia memang orang kelas atas sehingga canggung turun ke tingkat rakyat biasa.

            Sebaliknya, pemimpin B berasal dari keluarga wong cilik.  Ia merasa biasa-biasa saja bersila dan makan di rumah penduduk desa.  Dengan santai ia berjongkok memeriksa gorong-gorong di kampung kumuh. Terkadang ia sendiri turun ke dalam gorong-gorong itu. Ia merasa biasa berada di antara penduduk kampung kumuh.

            Bagaimana dengan Yesus? Selama tiga tahun Yesus bekerja sebagai guru keliling dari desa ke desa di seluruh pelosok Palestina.  Bersama para rasul-Nya tiap hari Ia berada di antara penduduk desa. Yesus menginap di rumah penduduk. Ia tidak menetap di satu tempat. Ia tidak punya rumah. Tertulis, “Rubah mempunyai liang dan burung mempunyi sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepalaNya” (Mat. 8:20, TB2).

Yesus bukan berada di atas rakyat melainkan di antara rakyat. Oleh sebab itu Ia disebut Imanuel, artinya Allah beserta kita atau Allah berada di antara kita.

JANGAN TERKECOH PENAMPILAN
Semua perbandingan tadi sama sekali bukan bermaksud mempertentangkan atau menyamakan Yesus dengan seseorang, sebab kadar maturitas kepribadian Yesus tidak terbandingkan. Lagipula tadi hanya disebut lima aspek padahal jenis dan jumlah aspek kepribadian seseorang jauh lebih banyak dan strukturnya jauh lebih kompleks.

            Inti tulisan ini adalah bahwa tiap pemimpin mempunyai kepribadian berbeda sehingga gaya kepemimpinannya pun berbeda. Tiap gaya itu mempunyai keunggulan dan kelemahannya masing-masing.
            Pemimpin yang menggebu-gebu dan berambisi tampak menyemangatkan namun segala cara bisa jadi ia halalkan demi kepentingan ambisinya. Ia selalu mau tampil sebagai sang pahlawan yang mengatasi persoalan dengan cepat termasuk persoalan di mana sebetulnya dia sendiri adalah penyebabnya. Ia tampil memukau. Orang jadi tersilau dan memuja beliau.

            Sebaliknya ada pemimpin yang biasa-biasa saja, tidak aneh-aneh, dan tidak menonjol. Gaya kepemimpinannya terkesan sepi-sepi. Sederhana. Bersahaja. Jelata. Tidak berkilau. Tidak memukau. Ia terkesan lemah sehingga orang kurang merasa tertarik.

            Tiap pemimpin memang berbeda. Ada yang terkesan seru, ada pula yang terkesan lesu. Namun kesan yang kelihatan belum tentu merupakan kenyataan yang tidak kelihatan. Oleh sebab itu terpulang kepada hati nurani kita masing-masing untuk membuat pertimbangan dan pilihan. (Andar Ismail)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar