Gaya
Hidup Pemimpin
Tiap orang mempunyai sifat, watak,
perilaku dan kepribadian masing-masing.
Ada orang yang pendiam, ada yang suka bicara. Ada yang pongah, ada yang pemalu. Ada yang santun, ada yang kasar. Dan seterusnya.
Ketika seseorang menjadi pemimpin di
gereja, perusahaan, perkumpulan, parpol, negara, atau apapun, pastilah sifat,
watak, perilaku, dan kepribadiannya itu terbawa juga. Gaya hidup seseorang akan tampak dalam gaya
kepemimpinannya secara verbal maupun non verbal.
Perbedaan gaya hidup itu akan
menjadi lebih tampak jika ada dua orang sedang disorot dan dibandingkan,
misalnya dua orang calon gubernur atau calon presiden. Terkadang perbedaan itu
mencolok sehingga gaya hidup kedua orang itu menjadi saling berseberangan.
Marilah kita tinjau perbedaan gaya
antara dua orang pemimpin dengan memperhatikan lima contoh aspek gaya hidup.
Lalu dalam tiap aspek itu kita melihat mana gaya hidup yang ada dalam
diri Yesus selama ia menjadi pemimpin sepanjang masa kerja-Nya di bumi
Palestina dua ribu tahun yang lalu.
Pertama, gaya
hidup perlente versus bersahaja.
Pemimpin A berbadan tegap dan
berpundak lebar kekar. Sehari-hari ia mengenakan setelan jas safari yang
terbuat dari bahan impor berkualitas top yang diukur serta dijahit oleh tailor
eksklusif. Ia selalu tampak anggun dan agung bagaikan pembesar atau jendral.
Dengan pakaian sebagus itu langsung tampak bahwa ia berkelas tinggi. Ia tampak
keren, perlente, dan cakep. Ia mengutamakan penampilan dan mode.
Sebaliknya pemimpin B berbadan
kerempeng. Tiap hari ia mengenakan kemeja putih yang biasa dari toko penjual
pakaian jadi. Celananya hitam atau kelabu.
Pakaiannya tidak tampak beda dengan orang-orang biasa. Itu pakaian orang
bersahaja. Ia memang sudah biasa hidup sederhana dan merakyat.
Bagaimana dengan Yesus? Yesus adalah
seorang mantan tukang kayu dan sehari-hari Ia berada bersama para rasul-Nya
yang adalah nelayan. Mereka berjalan dari desa ke desa dan menginap di rumah
penduduk desa. Yesus berpakaian seperti orang kebanyakan. Ia tidak mengutamakan
pakaian. Kata-Nya, “Janganlah khawatir
... mengenai apa yang hendak kamu pakai” (Luk. 12;22, TB2). Bahasa aslinya,
“Me merimnate ... ti endusesthe”. Terjemahan alternatif, “Janganlah kamu
mengutamakan ... apa yang akan kamu pakai”.
Kedua, gaya
hidup galak tegas versus belas asih.
Pemimpin A selalu pasang muka yang
siap menegur. Ia galak. Sikapnya
otoriter. Suaranya cenderung membentak. Ketika berpidato struktur kalimatnya
retorik, formal, dan bersubstansi slogan. Ragam kalimatnya sering imperatif dengan intonasi tinggi pada
akhir suku kata. Ia selalu membusungkan
dada.
Sebaliknya, pemimpin B bersikap
merendah. Ketika melihat orang banyak ia bukan cenderung menegur melainkan
mengasihani. Perasaannya yang dominan adalah belas asih. Ia berbela rasa dengan
nasib orang banyak. Ia tidak senang berpidato, namun ketika harus berpidato,
bahasanya cair, gampang, dan sederhana, tetapi persuasif dengan intonasi lambat
bernada rendah. Ragam kalimatnya kebanyakan ragam ajakan, ragam permintaan, dan
ragam pengharapan.
Bagaimana dengan Yesus? Yesus tidak membusungkan dada, sebaliknya Ia
mengelus dada karena rasa iba melihat kondisi hidup rakyat jelata. Tertulis, “Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati
Yesus oleh belas kasihan kepada mereka karena mereka lelah dan terlantar...”
(Mat. 9:36). Injil ini mencatat tiga kejadian di tiga tempat berbeda di mana
Yesus merasa iba melihat nasib rakyat jelata.
Ketiga, gaya
hidup gagah versus polos.
Pemimpin A menyukai suasana yang
serba gagah dan hebat. Kemewahan mobilnya
mencolok. Motornya motor gede dengan bunyi knalpot menderu. Ketika ribuan orang
sudah menunggu dia di stadion, datanglah ia memasuki lapangan itu. Naik apa? Ia
menunggang kuda tinggi besar yang berderap-derap. Sungguh berhasil ia
menimbulkan kesan bahwa ia gagah perkasa.
Sebaliknya, pemimpin B malah
tersipu-sipu kalau ditonton oleh orang banyak. Ia tidak mau tampak mencolok.
Mobilnya biasa-biasa saja. Ia tidak mau menimbulkan kesan gagah perkasa karena
memang ia tidak gagah perkasa.
Bagaimana dengan Yesus? Pada zaman
itu hewan tunggangan adalah kuda atau keledai. Kuda lebih mahal, lebih cepat,
dan lebih gagah. Para perwira tentara Romawi menunggang kuda, tetapi rakyat
biasa menunggang keledai.
Ketika naik ke bukit Yerusalem Yesus menunggang keledai.
Itu alat transportasi yang paling murah. Penulis Injil mengutip nubuat yang
berkata, “Rajamu sedang datang kepadamu,
ia rendah hati dan menunggang seekor keledai” (Mat. 21:5, BIMK).
Keempat, gaya
hidup reaktif versus gitu aja kok
repot.
Pemimpin A terkesan kurang bisa
mendengarkan dengan sabar. Ia justru cepat bereaksi apalagi kalau mendengar
kritik dan kecaman. Ia cakap mengingkar dan membantah. Dengan wajah yang
langsung tegang dan merah ia menantang.
Sebaliknya pemimpin B kurang cakap
bicara namun cakap mendengarkan. Dengan kepala menunduk ia memasang telinga
untuk berkonsentrasi mendengarkan keluhan seseorang. Ketika difitnah ia tidak
reaktif. Dengan tenang ia berkata, “Ora
opo-opo.” Atau, “Enggak kenapa-napa.”
Bagaimana dengan Yesus? Pernah Yesus
dihina oleh penduduk desa Samaria. Ia memohon diperbolehkan menginap di sebuah
desa orang Samaria. Tetapi Yesus ditolak. Tentu saja para rasul tersinggung dan
marah. Mereka menghasut Yesus, “Tuhan,
apakah Engkau mau supaya kami menyuruh api turun dari langit untuk membinasakan
mereka?”
Apakah Yesus mengiyakan hasutan itu? Sama sekali tidak. Tertulis, “Akan tetapi Ia berpaling ...” (Luk.
9:54,55). Yesus pergi dan mencari desa lain.
Kelima, gaya
hidup berada di atas versus berada di antara.
Pemimpin A berlatar belakang dan
berasal dari keluarga atas. Ia tampak menjaga jarak jika berada dengan orang
kebanyakan. Kalau ia mengunjungi sebuah kampung kumuh tampak dari bahasa
tubuhnya bahwa ia merasa jijik dan canggung. Kunjungannya itu hanya formalitas
belaka. Ia memang orang kelas atas sehingga canggung turun ke tingkat rakyat
biasa.
Sebaliknya, pemimpin B berasal dari
keluarga wong cilik. Ia merasa biasa-biasa saja bersila dan makan
di rumah penduduk desa. Dengan santai ia
berjongkok memeriksa gorong-gorong di kampung kumuh. Terkadang ia sendiri turun
ke dalam gorong-gorong itu. Ia merasa biasa berada di antara penduduk kampung
kumuh.
Bagaimana dengan Yesus? Selama tiga
tahun Yesus bekerja sebagai guru keliling dari desa ke desa di seluruh pelosok
Palestina. Bersama para rasul-Nya tiap
hari Ia berada di antara penduduk desa. Yesus menginap di rumah penduduk. Ia
tidak menetap di satu tempat. Ia tidak punya rumah. Tertulis, “Rubah mempunyai liang dan burung mempunyi
sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepalaNya” (Mat.
8:20, TB2).
Yesus bukan berada di atas rakyat melainkan di antara
rakyat. Oleh sebab itu Ia disebut Imanuel, artinya Allah beserta kita atau
Allah berada di antara kita.
JANGAN
TERKECOH PENAMPILAN
Semua perbandingan tadi sama sekali
bukan bermaksud mempertentangkan atau menyamakan Yesus dengan seseorang, sebab
kadar maturitas kepribadian Yesus tidak terbandingkan. Lagipula tadi hanya
disebut lima aspek padahal jenis dan jumlah aspek kepribadian seseorang jauh
lebih banyak dan strukturnya jauh lebih kompleks.
Inti tulisan ini adalah bahwa tiap pemimpin
mempunyai kepribadian berbeda sehingga gaya kepemimpinannya pun berbeda. Tiap
gaya itu mempunyai keunggulan dan kelemahannya masing-masing.
Pemimpin yang menggebu-gebu dan
berambisi tampak menyemangatkan namun segala cara bisa jadi ia halalkan demi
kepentingan ambisinya. Ia selalu mau tampil sebagai sang pahlawan yang
mengatasi persoalan dengan cepat termasuk persoalan di mana sebetulnya dia
sendiri adalah penyebabnya. Ia tampil memukau. Orang jadi tersilau dan memuja
beliau.
Sebaliknya ada pemimpin yang
biasa-biasa saja, tidak aneh-aneh, dan tidak menonjol. Gaya kepemimpinannya
terkesan sepi-sepi. Sederhana. Bersahaja. Jelata. Tidak berkilau. Tidak
memukau. Ia terkesan lemah sehingga orang kurang merasa tertarik.
Tiap pemimpin memang berbeda. Ada
yang terkesan seru, ada pula yang terkesan lesu. Namun kesan yang kelihatan
belum tentu merupakan kenyataan yang tidak kelihatan. Oleh sebab itu terpulang
kepada hati nurani kita masing-masing untuk membuat pertimbangan dan pilihan. (Andar Ismail)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar