Sabtu, 26 Juli 2014

Kabar Kita



Seputih Cinta Melati
KADO LEBARAN DARI ALENIA

"The child is father of the man...." (William Wordsworth)

Menyambut Hari Lebaran, Alenia Pictures mempersembahkan film untuk anak dan keluarga, Seputih Cinta Melati. Berbeda dengan film-film sebelumnya, kali ini rumah produksi yang didirikan pasangan suami istri Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen itu membuat film keluarga bergenre religi.

Menurut Ale, sapaan akrab Ari Sihasale, ia sengaja mengusung tema keluarga dan anak-anak karena tidak ingin anak-anak kehilangan tontonan yang sesuai dengan umurnya. "Kita lebih concern ke dunia anak dan keluarga," ujarnya.

Sementara bagi Nia, hadirnya film religi ini juga sebagai kado dari sang suami yang kristiani. "Ini adalah hadiah dari Mas Ale untuk saya karena dibuatkan film untuk Lebaran," ujarnya.

Seputih Cinta Melati berkisah tentang dua tokoh kecil bernama Rian (Fatih Unru) dan Melati (Naomi Ivo) yang masih lugu dan polos. Keduanya secara tak sengaja menolong dua buronan polisi, Erik (Asrul Dahlan) dan Ivan (Chicco Jerikho). Kedua kakak beradik ini senang mendapat teman baru. Ketika mereka hendak memancing, kaki Melati terperosok yang kemudian ditolong oleh Ivan dan Erik.

Banyak pesan yang ingin disampaikan melalui film besutan Ari Sihasale yang juga dibintangi oleh Sabai Morscheck ini. Ketulusan, kejujuran, dan kepolosan hati anak-anak yang dapat mengubah orang dewasa, toleransi beragama, dan juga mengajak masyarakat untuk lebih menjaga anak-anak dari korban kejahatan. Selain pesan moral dan sosial, film berdurasi 107 menit ini juga dibumbui beragam peristiwa aktual di Indonesia.

Beberapa adegan dibuat sebagai sindiran atau semacam satire sosial. Misalnya ketika Pak Haji melaporkan kehilangan gamis yang sedang dijemur kepada Briptu Yana. Sesampainya di TKP, polisi yang dekat dengan masyarakat itu tanpa basa-basi langsung memutus tali jemuran sebagai barang bukti. Baju-baju yang dijemur pun berhamburan ke tanah. Hal ini tentu mengejutkan Pak Haji. Atau seribu jurus kampanye Kang Asep yang menjadi tim sukses calon anggota legislatif bernama Abdi.

"Film ini kami buat khusus untuk menyambut Hari Raya Idul Fitri. Ada juga pesan-pesan untuk kampanye. Kita coba masukkan sedikit pesan-pesan tentang kampanye walaupun tidak terlalu banyak. Mudah-mudahan pesan-pesan yang sederhana itu bisa menyentil penonton," jelas Ale.

Belajar dari Anak-anak
Sebagaimana trade mark film Alenia, selalu ada cara mengomunikasikan keindahan Indonesia. Dalam film ini penonton disuguhi gambar-gambar panoramik indah dari alam Priangan yang jelita. Shooting mengambil tempat antara lain di perkebunan teh Rancasuni, Ciwidey, Bandung, Jawa Barat, dan desa sekitarnya.

Alenia memang piawai dalam mencari tempat-tempat yang bukan spot  turis namun sangat indah untuk dijadikan lokasi shooting. “Suasananya lokal sekali, kental kekeluargaannya. Cocok dengan jalan cerita Seputih Cinta Melati. Di sana tim artistik kami menyulap hutan pinus menjadi sebuah danau lengkap dengan pondok dan dermaga mungil,” kisah Ale.

Keindahan alam menjadi panggung penyampai pesan tentang hati tulus anak yang meluluhkan kekerasan hati orang dewasa yang membatu.

Pujangga Inggris, William Wordsworth pernah menulis: "The child is father of the man...." Maksudnya, anak kadang lebih bijak daripada orang dewasa. Orang tua bisa belajar dari anak. Seperti itulah para buron dalam film Seputih Cinta Melati yang belajar pada tokoh Melati, bocah polos yang berhati seputih melati.

"Film ini tentang ketulusan hati dan kasih sayang dari anak-anak kecil yang bisa mengubah perilaku orang dewasa. Kita bisa belajar dari sifat ketulusan anak-anak," tutur Nia selaku produser.
Selain tentang Ramadan, tambah Nia, film ini juga berpesan supaya orangtua lebih hati-hati menjaga anak-anak karena sekarang banyak kejahatan terhadap anak-anak." [g]

Selasa, 15 Juli 2014

Inspirasi



EGP

Dering telepon Kamis pagi, 4 Juli, membangunkan saya. Anak saya dari Sydney menelepon. Begitu saya angkat, anak sulung saya berkata, “Happy Birthday, Dad!” Karena saya masih mengantuk, percakapan telepon itu hanya berlangsung beberapa menit. Biasanya saya berkomunikasi dengannya lewat Skype. Tidak lama kemudian isteri saya, Fransiska Xaviera Susana menyanyikan lagu selamat ulang tahun diiringi anak bungsu saya. Momen semacam itu, meskipun singkat, sangat berkesan bagi saya.

Kemudian saya buka BB dan hape saya. Rupanya sudah banyak bbm, sms, dan surel yang masuk. Di urutan paling atas ada sms dari Orlando. Gadis remaja yang dulu saya doakan agar bisa kuliah di Amerika Serikat ini saat ini sudah lulus dan menikah dengan pria Amerika serta tinggal di sana. Saya meneruskannya dengan membaca ucapan selamat dari para sahabat. Ucapan selamat ulang tahun yang paling sederhana sekalipun menunjukkan satu value yang perlu terus kita kembangkan: kepedulian.  Mengapa? Karena kepedulian semakin hari semakin digerus oleh sikap EGP (emang gue pikirin).

Ketika Peduli Tergerus Ego
EGP sudah menjadi penyakit menular yang mematikan. Seorang gadis kecil di Tiongkok yang bernama Wei Wei, digilas truk barang sampai dua kali, tetapi orang yang lewat—baik pejalan kaki maupun pengendarai motor—justru menghindar dan melewatinya begitu saja. Gadis kecil yang akhirnya meninggal dunia ini menimbulkan kemarahan massal orang-orang di negara berpenduduk paling besar di dunia itu. Jika tidak karena ada CCTV di sana, kedua sopir pasti tidak akan tertangkap dan dihakimi.

Peristiwa Wei Wei yang mengenaskan itu mengingatkan saya terhadap beberapa peristiwa sejenis yang pernah saya baca. Seorang ibu yang sedang hamil tua dan hendak melahirkan pingsan karena tidak satu taksi pun yang mau berhenti untuk mengangkutnya. Seorang yang terluka tembak ditolak masuk ke sebuah hotel berbintang karena takut darahnya mengotori karpet.

Di antara kisah-kisah seputar virus EGP itu, ada satu kejadian yang membuat saya miris. Diceritakan ada sekelompok regu penolong yang begitu gesit dan semangat untuk menolong setiap orang yang tenggelam di pantai. Karena tindakan heroik mereka, bantuan datang dari mana-mana. Mereka membentuk tim penyelamat pantai yang profesional dengan peralatan terkini. Untuk meningkatkan performa, mereka mengadakan seminar di sebuah hotel mewah di tepi pantai. Namun, saat mereka asyik seminar di ruang ber-AC, ada sebuah kapal karam yang lolos dari pengamatan mereka dan menimbulkan banyak korban jiwa. Ironis!

Masih Adakah Kasih?
Saya percaya, penyakit EGP ini merupakan penggenapan dari Firman Tuhan, “Dan karena makin bertambahnya kedurhakaan, maka kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin” (Mat 24:12).

Apa yang membuat kasih dan kepedulian kita kepada sesama menjadi dingin? Karena fokus dan prioritas hidup kita terus-menerus berpusat kepada diri sendiri. Hal ini diperparah dengan pandangan yang semakin membesar bahwa orang yang sukses dinilai dari apa yang melekat di dalam tubuhnya dan apa yang dia miliki, bukan apa yang ada di hatinya dan apa yang dia bagikan.

Saya pernah membaca kisah inspiratif saat berlangsung olimpiade khusus untuk anak-anak cacat mental. Begitu tanda start berbunyi, setiap anak lari sekencang-kencangnya. Di depan sendiri ada seorang anak bernama Andrew yang tampaknya bakal menjadi pemenang. Namun, saat dia mendekati garis final, dia menoleh karena melihat seorang kontestan lain terjatuh di lintasan lari.

Andrew berhenti, melihat ke garis finis yang tinggal beberapa meter lagi kemudian menengok ke belakang. Orang-orang di stadion memberinya semangat, “Ayo, terus lari Andrew!” Andrew tidak melakukannya. Sebaliknya, dia berbalik, menolong kontestan itu berdiri, membersihkan debu dan lukanya, kemudian mereka berlari kembali dan sampai di garis finis di urutan yang terakhir. Meskipun kalah, semua penontong berdiri dan memberikan standing applause!

Andrew layak  memperoleh standing ovation! Mengapa? Dia memang kalah di dalam perlombaan lari, tetapi dia menang dalam perlombaan iman! Ucapan Rasul Paulus teriang-ngiang di telinga kita: “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman” (2Tim 4:7).

Pertandingan Kehidupan
Saya percaya, setiap kita berada di lintasan lomba di stadion kehidupan. Selama mengikuti perlombaan itu, kita perlu memperhatikan beberapa rule of the games.

Pertama, kita perlu mengikuti pertandingan “yang baik”. Artinya, kita harus berlomba-lomba untuk melakukan apa saja yang Tuhan kehendaki, bukan yang kita kehendaki. Kita perlu menjadi terbaik versi Tuhan, bukan versi kita sendiri: “Tidak tahukah kamu, bahwa dalam gelanggang pertandingan semua peserta turut berlari, tetapi bahwa hanya satu orang saja yang mendapat hadiah? Karena itu larilah begitu rupa, sehingga kamu memperolehnya!” (1Kor. 9:24).

Kedua, kita perlu menjalani pertandingan itu “dengan baik”. Meskipun pertandingan yang kita ikuti itu sudah baik—menyenangkan hati Tuhan—namun jika cara melakukannya dengan tidak baik, hal itu justru mendukakan hati Tuhan. Kita melakukan hanya agar “dilihat orang” (lih. Mat. 6:5).

Kita melihat contohnya di sekitar kita. Ketika ada bencana alam, banyak orang yang tiba-tiba menjadi dermawan. Tindakan dan kegesitan mereka patut diapresiasi. Namun, seberapa banyak yang melakukannya dengan tulus?

Ketika gempa menimpa Jogja, saya bersama para sahabat, langsung meluncur ke sana untuk memberikan bantuan dari jemaat. Setelah menyerahkan bantuan, tanpa protoloker dan foto sana foto sini, kami berpamitan pulang. Tiba-tiba seorang relawan nyeletuk, “Pak tadi ada rombongan satu bus datang dari Jakarta. Mereka hanya membagi nasi bungkus, tetapi minta penyerahannya dilakukan dengan foto berulang kali. Setelah itu, mereka melihat-lihat wilayah terdampak seperti turis saja. Kami bukan objek wisata!” Tampak sekali kejengkelan di wajah mereka.

Ketiga, apa yang kita lakukan—baik atau buruk, sadar atau tidak—memberikan dampak bagi orang lain. Mereka menyaksikan perlombaan kita: “Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita” (Ibr. 12:1).

Mari terus berlari.

(Xavier Quentin Pranata)

·         Penulis bisa ditemui di www.xavierquentin.com dan www.xavier.web.id.

Jumat, 11 Juli 2014

Momen Inspirasi



Semangat & Solidaritas

Bagaimana kita menumbuhkan rasa solidaritas kita terhadap yang lain? Ternyata solidaritas itu ibarat  orang naik sepeda. Mula-mula mengayuh satu-dua langkah, pelan, kemudian cepat dan kita ngebut. Tak terasa bahwa kita tegak di atas sepeda. Tetapi kalau kita berhenti mengayuh, kita akan jatuh. Semangat juga demikian. 

Apabila kita bersemangat, ambilah tindakan kecil terlebih dahulu. Yakinlah semangat akan datang dengan sendirinya. Kalau kita sudah mulai bersemangat, ambil tindakan berikutnya untuk menguatkan semangat kita. 
  
Harold Whitman bilang, “Jangan tanyakan pada diri Anda apa yang dibutuhkan dunia. Bertanyalah apa yang membuat Anda hidup, kemudian kerjakan. Karena yang dibutuhkan dunia adalah orang-orang yang antusias. (Alex Japalatu)

Kamis, 03 Juli 2014

Inspirasi



TIRAM

Seorang sahabat mengajak saya dan keluarga makan di sebuah Oyster Bar di Victoria, British Columbia, persis di dekat Miniature World. Saat menikmati fresh oyster bersama sahabat lama inilah saya teringat dua kisah yang membuat saya geli sekaligus terinspirasi.

Cerita pertama saya  yakin Anda pun pernah menyaksikannya, yaitu salah satu episode ketika Mr. Bean makan di sebuah restoran. Sifat ‘manusia planet’ yang diperankan oleh Rowan Atkinson ini memang usil dan tidak pernah mau kalah oleh orang lain. Ketika melihat seorang pria mengambil satu makanan, dia mengambil dua. Demikian juga saat si pria mengambil satu piring tiram, dia mengambil dua piring tiram yang ternyata setelah dia makan adalah tiram basi.

Pengkhotbah Tidak Berpendidikan
Kisah kedua terjadi pada zaman John Wesley. Saat itu, para pengkhotbah dengan pendidikan terbatas kadang-kadang berkhotbah dalam suatu ibadah. Seorang pria memakai Lukas 19:21A yang berbunyi “I feared you, because you are an austere man” sebagai bahan khotbahnya. Dia mengira teks itu berbunyi, “… an oyster man” atau “seorang pencari oyster (tiram)”.  Dia lalu menjelaskan bahwa seorang pencari tiram haruslah meraba-raba di air laut yang gelap dan dingin untuk mengambil tiram. Di dalam usahanya itu tangannya tergores kulit tiram yang tajam.

Setelah mendapatkan tiram itu, dia naik ke permukaan, menggenggam tiram itu “dengan tangannya yang terluka dan berdarah.”  Pengkhotbah itu kemudian menambahkan, “Kristus turun dari kemuliaan surga ke dunia yang dipenuhi manusia berdosa untuk membawa mereka kembali kepada Tuhan dalam kemuliaan surga. Tangan-Nya yang terluka dan berdarah adalah tanda-tanda begitu berharganya objek yang Dia cari.”

Selesai ibadah, dua belas orang menerima Kristus. Mereka menjadi orang Kristen. Pada malam itu juga, seseorang datang menemui John Wesley. Mereka datang untuk melaporkan pengkhotbah yang tidak berpendidikan itu, yang mengabaikan arti sebenarnya dari teks yang sedang mereka khotbahkan.
Pendeta yang lulusan Oxford itu dengan sederhana berkata, “Nggak masalah. Tuhan mendapatkan dua belas tiram malam ini.”

Butir-Butir Mutiara
Kita bisa mendapatkan butir-butir mutiara yang indah dari kisah tentang tiram ini.Mutiara pertama, Tuhan bisa memakai orang yang tidak berpendidikan untuk menjalankan perintah-Nya. Hal ini membuat kita menilik jauh ke relung hati kita sendiri. Apakah kita yang—mungkin saja merasa lebih berpendidikan dari pengkhotbah awam itu—punya semangat yang sama untuk menjala jiwa? 

Ayat Firman Tuhan ini seharusnya menjadi peringatan bagi kita: “Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat,  dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti,  supaya jangan ada seorang manusia pun yang memegahkan diri di hadapan Allah” (1 Korintus 1:27-29).

Kedua, saat kita beribadah, kita seharusnya fokus kepada Tuhan dan tidak membiarkan panca indra dan pikiran kita melayang ke mana-mana. Ketika beribadah di sebuah gereja, karena begitu khusuknya berdoa, Dante Alighieri tidak berlutut pada saat tertentu. Orang-orang yang tidak suka dengannya langsung datang ke Uskup dan menuntut agar Dante dihukum karena melanggar tradisi dan liturgi.

Dante membela diri dengan berkata, “Jika mereka yang menuduh saya sungguh-sungguh memusatkan mata dan pikiran mereka kepada Tuhan seperti yang saya lakukan, mereka pasti tidak akan memperhatikan hal-hal yang terjadi di sekeliling mereka dan pasti tidak tahu apa yang saya perbuat.” (Today in the Word, edisi 10 Maret 1993). Orang-orang yang melaporkan pengkhotbah awam kepada John Wesley mengira bahwa pendeta Gereja Methodist itu akan memanggil dan memarahi pengkhotbah tak berpendidikan itu.

Ketiga, jika kita sibuk bekerja, kita tentu tidak punya waktu untuk bergosip ria. Saya pernah mendapat kiriman BBM yang berbunyi: “Orang kecil membicarakan orang lain. Orang sedang membicarakan pekerjaan. Orang besar menemukan ide-ide baru!” Ada banyak macam variasi dari kata-kata bijak ini yang intinya meminta kita untuk—meminjam istilah Stephen R. CoveyPut First Things First, yang dalam kalimat lengkapnya: “The main thing is to put the main thing the main thing.” Pendeknya, utamakan yang utama!

Saat saya menulis kolom ini, saya sedang merapikan daftar kontak dan group BBM maupun WhatsApp yang saya miliki. Ada grup-grup yang saya accept hanya gara-gara tidak enak untuk menolak mulai saya pertimbangkan untuk leave group. Di samping mengganggu—karena ada grup yang hanya diramaikan oleh gosip—juga memboroskan baterai. Ada lagi yang jauh lebih prinsipiil, yaitu menghabiskan waktu saya. 

Saya pun jarang melongok FaceBook maupun cuit-cuit di Twitter. Jika membukanya, saya hanya mencari trending topic yang mungkin cocok untuk bahan khotbah di gereja, mengajar di kampus, bahan tulisan di media massa, maupun untuk menulis buku. Seorang sahabat saya, dosen komunikasi di sebuah kampus, bahkan meniadakan waktu nonton televisi sama sekali. “Lebih baik saya pakai untuk mengerjakan hal lain yang lebih produktif,” ujarnya.

Keempat, jika ada orang-orang yang ‘tipis’ telinga dan ‘lancip’ mulut melaporkan kepada kita orang-orang yang—menurut mereka—melakukan kesalahan, kita perlu belajar dari Aristoteles. Ketika dilapori seorang muridnya bahwa ada orang-orang yang menjelekkannya, filsuf besar ini berkata, “Apakah yang hendak kamu laporkan itu lulus empat saringan?” Satu, apa itu benar? Dua, apa itu baik? Tiga, apa itu bermanfaat? Empat, ini yang paling penting, apa Anda dengar sendiri? Nah, jika tidak lulus saringan, lebih baik kita jadikan bahan introspeksi diri.

Pelajaran Berharga
Lalu, apa yang kita dapatkan dari ‘episode makan tiram’ snap shot Mr. Bean? Ada dua tiram yang kita peroleh. Tiram pertama, jangan usil. Ada yang berkata, “Jangan iseng.” Saya lebih senang memakai kata ‘usil’. Mengapa? Karena ada “iseng-iseng berhadiah” seperti mengisi TTS dan kupon undian he, he, he. Keusilan sering membuat kita celaka sendiri.

Saya ingat, suatu kali saya sedang melayani di luar negeri. Karena begitu akrab dengan pendeta dan isteri yang mengundang saya, kami jadi seperti keluarga sendiri.  Suatu kali, saya baru keluar dari toilet. Begitu keluar saya melihat isteri teman saya itu sedang ‘say sorry’ pada seorang bule tinggi besar. Ketika saya tanya alasannya dia berkata, “Tadi saya kira you yang keluar dan saya kagetin. Ternyata keliru orang lain!” Giliran saya yang ngakak melihat wajahnya yang ‘unyu’ he, he, he.

Tiram kedua, jangan serakah. Saya pernah membaca sebuah peribahasa yang berbunyi, “Keserakahan adalah menggali kubur dengan gigi sendiri!” Tepat sekali. Setiap kali makan di all-you-can-eat restaurants saya selalu mengingatkan diri saya sendiri untuk tidak makan terlalu banyak. Seorang hamba Tuhan senior pernah menasihati saya untuk berhenti makan sebelum kenyang. Ada benarnya. Apa gunanya kita memperoleh seluruh makanan tetapi kehilangan kesehatan kita? Apalagi jika yang kita pilih adalah makanan ‘termahal’ di situ yang ternyata juga ‘terbanyak’ kolesterolnya?
Mari belajar pada tiram! (Xavier Quentin Pranata)

* Penulis dapat dihubungi di www.xavierquentin.com dan www.xavier.web.id.