Kamis, 03 Juli 2014

My EQ



MENJADI KAYA DAN MULIA

Tyrone Curry, adalah seorang  tukang bersih-bersih di sebuah sekolah di Washington State, Amerika. Namun di balik penampilannya yang bersahaja, tidak banyak orang yang tahu bahwa dia adalah seorang jutawan. Kok bisa? 

Ceritanya, di tahun 2006, Tyrone Curry memenangkan lotere senilai US$3,4 juta. Bayangkan kalau Anda mendapat uang sebanyak itu. Dalam waktu singkat, Anda mungkin akan berhenti kerja dan langsung mewujudkan impian Anda yang lain, membeli barang-barang yang Anda inginkan, hidup berfoya-foya, bukan?

Tapi, tidak dengan Tyrone Curry! Itulah yang fenomenal. Ia tetap menjalankan pekerjaannya sebagai pembersih sekolah. Uang yang diperoleh hanya dipakai untuk membayar utangnya, memasang pagar rumahnya, dan pompa air panas serta memperbaiki jalan mobil menuju rumahnya. Ia pun menyumbang­kan sekitar 40 ribu dolar untuk sekolah tempatnya bekerja. 

Saat ditanya kenapa ia masih tetap ingin bangun pagi-pagi jam 4 dan terus menjalankan tugasnya, Tyrone Curry menjawab, "Setiap dari kita harus tetap bekerja. Itulah prinsip saya. Lagipula, saya tahu makan siang yang saya sediakan untuk pelajar di sekolah adalah satu-satunya makanan yang bisa dibeli dan dinikmati oleh anak-anak yang miskin di sekolahku bekerja.”

Apa kesimpulannya? Bayangkanlah begini: kalau Anda berada dalam kondisi seperti itu, apakah yang mungkin akan Anda lakukan? Saya sendiri salut dengan prinsip “ketidakmelekatan” yang diajarkan oleh Tyrne Curry ini. Dia sudah kaya raya dan sebenarnya tidak butuh apa-apa lagi, tetapi “uang” tidak menghalanginya untuk tetap melakukan hal mulia. Saya sendiri ingin belajar. “Ketika menjadi kaya, janganlah menghalangi kita untuk terus melakukan hal-hal yang mulia!”

Melawan Prinsip Kemelekatan

Saat ini ada banyak kelas, seminar hingga workshop yang mengajari orang soal menjadi kaya raya, menjadi kaya dalam waktu cepat, dan menjadi kaya raya dalam waktu muda. Tentu saja, ini bukan seminar yang buruk. Toh, sebenarnya Tuhan menciptakan kita dengan segala kelimpahannya untuk bisa kita nikmati, serta Tuhan menginginkan kita melipatgandakan talenta yang Tuhan berikan kepada kita.

Tuhan mengizinkan kita kaya! Hanya sayangnya, ketika uang itulah yang semata-mata menjadi tujuan kita, kita pun menjadi buta dan kalap. Seakan-akan  uang adalah tujuan utamanya. Padahal kita belajar, uang yang kita kumpulkan hanyalah bersifat sementara dan tidak kita bawa ke liang kubur. Tetapi, kebanyakan dari kita begitu melekat dan mengumpulkannya tanpa pernah bisa menikmati apa yang kita kumpulkan.

Sewaktu membaca kisah Tyrone Curry di atas, saya teringat kisah seorang pengemis di jalanan di kota China yang akhirnya meninggal seorang diri. Tatkala ditemukan, ada begitu banyak uang yang telah ia kumpulkan yang disimpannya di bantalnya. Uang itu pun akhirnya diberikan kepada yayasan amal. Sungguh tragis!

Namun, kisah yang lebih tragis adalah kisah miliuner asal Hongkong Nina Wang. Ia masuk dalam daftar deretan orang-orang terkaya di dunia, tetapi setiap bulannya hanya menggunakan uangnya sekitar Rp5 juta saja. Bahkan, gaji para pembantunya lebih banyak dari itu. Dan ia sendiri terlalu pelit bahkan untuk mengobati dan merawat dirinya sendiri dari kanker yang mengerogotinya. Akhirnya, setelah ia meninggal, hartanya menjadi sumber pertikaian. Kalau mendengar kisah seperti itu, lantas layaklah kita bertanya: lantas buat apa semua kekayaan yang terkumpul itu?
 
Hidup yang Bertujuan Lebih dari Sekadar Kaya

Salah satu kerangka Kecerdasan Emosional yang saya sukai adalah kehidupan Noble Goal, kehidupan yang bermakna. Dalam kacamata ini, maka kekayaan hanyalah sebuah sarana. Ketika menghadiri workshop ataupun marketing produk yang menjanjikan kekayaan, saya punya seringkali bertanya, “Kalau sudah kaya, so what?”

Kehidupan para selibritis dan miliuner yang kaya, tetapi tidak bahagia mengajarkan bahwa kekayaan yang dikumpulkan dan tidak bisa dinikmati orang-orang sekitar ataupun paling tidak hanya dinikmati secara egois akhirnya tidak pernah membahagiakan. Bukti-bukti menunjukkan bahwa para pemenang lotere yang menang mendadak, rata-rata akhirnya meninggal dalam kondisi miskin dan penuh utang lagi.

Masalahnya, mereka hanya ingin menjadi kaya, tapi tidak punya tujuan yang bermakna setelahnya! Karena itulah, betapa pentingnya untuk melihat bahwa kekayaan hanya sarana untuk membahagiakan dan bisa melakukan hal-hal yang mulia.

Karena itulah, saya merasa sudah saatnya kelas-kelas ataupun marketing bagaimana menjadi kaya, juga mengajarkan bagaimana menggunakan kekayaan itu untuk hal-hal yang lebih mulia.

Kisah Tyrone Curry di atas sebenarnya mengajarkan dengan bagus bagaimana tidak melekat dengan uang dan menggunakan uang dengan tujuan yang amat mulia. Dan, percaya tidak percaya, semakin kita tidak melekat dan tidak terobsesi dengan uang, semakin banyak sumber keberuntungan justru menghampiri.

Saya teringat perbincangan saya dengan orang yang nasibnya sungguh selalu beruntung. Ia seringkali menang undian dan orang bilang, ‘hoki’-nya gede. Saya bertanya apa rahasianya, yang lantas dijawab, “Saya nggak tahu kenapa saya beruntung. Tapi, ketika saya menginginkan suatu undian atau apa pun, saya mengharapkan bukan hadiahnya, tetapi keinginan untuk membahagiakan dan untuk sesuatu lainnya. Misalkan, saya dapat undian mobil dari tabungan saat saya kepingin bisa membahagiakan ayah saya yang sudah tua supaya bisa mengunjungi kakak-kakak saya yang lain, sehingga nggak perlu naik bis lagi. Eh, akhirnya saya mendapatkannya!”

Pada akhir tulisan ini, saya mendoakan agar banyak pembaca yang betul-betul menjadi semakin makmur dan kaya berkat karier dan pekerjaannya, tetapi juga semakin mulia hatinya untuk melakukan banyak hal yang menjadi berkat bagi orang lain. Intinya, bukan cerdas finansial, melainkan juga emosional-spiritual! (Anthony Dio Martin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar