MENJADI KAYA DAN MULIA
Tyrone Curry, adalah seorang
tukang bersih-bersih di sebuah sekolah di Washington State, Amerika.
Namun di balik penampilannya yang bersahaja, tidak banyak orang yang tahu bahwa
dia adalah seorang jutawan. Kok bisa?
Ceritanya, di tahun 2006, Tyrone Curry
memenangkan lotere senilai US$3,4 juta. Bayangkan kalau Anda mendapat uang sebanyak
itu. Dalam waktu singkat, Anda mungkin akan berhenti kerja dan langsung
mewujudkan impian Anda yang lain, membeli barang-barang yang Anda inginkan,
hidup berfoya-foya, bukan?
Tapi, tidak dengan Tyrone Curry! Itulah yang fenomenal. Ia tetap
menjalankan pekerjaannya sebagai pembersih sekolah. Uang yang diperoleh hanya
dipakai untuk membayar utangnya, memasang pagar rumahnya, dan pompa air panas
serta memperbaiki jalan mobil menuju rumahnya. Ia pun menyumbangkan sekitar 40
ribu dolar untuk sekolah tempatnya bekerja.
Saat ditanya kenapa ia masih tetap ingin bangun pagi-pagi jam 4
dan terus menjalankan tugasnya, Tyrone Curry menjawab, "Setiap dari kita harus tetap bekerja. Itulah prinsip saya.
Lagipula, saya tahu makan siang yang saya sediakan untuk pelajar di sekolah
adalah satu-satunya makanan yang bisa dibeli dan dinikmati oleh anak-anak yang
miskin di sekolahku bekerja.”
Apa kesimpulannya? Bayangkanlah begini: kalau Anda berada dalam
kondisi seperti itu, apakah yang mungkin akan Anda lakukan? Saya sendiri salut
dengan prinsip “ketidakmelekatan” yang diajarkan oleh Tyrne Curry ini. Dia
sudah kaya raya dan sebenarnya tidak butuh apa-apa lagi, tetapi “uang” tidak
menghalanginya untuk tetap melakukan hal mulia. Saya sendiri ingin belajar. “Ketika menjadi kaya, janganlah menghalangi
kita untuk terus melakukan hal-hal yang mulia!”
Melawan Prinsip Kemelekatan
Saat ini ada banyak kelas,
seminar hingga workshop yang
mengajari orang soal menjadi kaya raya, menjadi kaya dalam waktu cepat, dan
menjadi kaya raya dalam waktu muda. Tentu saja, ini bukan seminar yang buruk.
Toh, sebenarnya Tuhan menciptakan kita dengan segala kelimpahannya untuk bisa
kita nikmati, serta Tuhan menginginkan kita melipatgandakan talenta yang Tuhan
berikan kepada kita.
Tuhan mengizinkan kita kaya!
Hanya sayangnya, ketika uang itulah yang semata-mata menjadi tujuan kita, kita
pun menjadi buta dan kalap. Seakan-akan
uang adalah tujuan utamanya. Padahal kita belajar, uang yang kita kumpulkan
hanyalah bersifat sementara dan tidak kita bawa ke liang kubur. Tetapi,
kebanyakan dari kita begitu melekat dan mengumpulkannya tanpa pernah bisa
menikmati apa yang kita kumpulkan.
Sewaktu membaca kisah Tyrone
Curry di atas, saya teringat kisah seorang pengemis di jalanan di kota China
yang akhirnya meninggal seorang diri. Tatkala ditemukan, ada begitu banyak uang
yang telah ia kumpulkan yang disimpannya di bantalnya. Uang itu pun akhirnya
diberikan kepada yayasan amal. Sungguh tragis!
Namun, kisah yang lebih tragis
adalah kisah miliuner asal Hongkong Nina Wang. Ia masuk dalam daftar deretan
orang-orang terkaya di dunia, tetapi setiap bulannya hanya menggunakan uangnya
sekitar Rp5 juta saja. Bahkan, gaji para pembantunya lebih banyak dari itu. Dan
ia sendiri terlalu pelit bahkan untuk mengobati dan merawat dirinya sendiri
dari kanker yang mengerogotinya. Akhirnya, setelah ia meninggal, hartanya
menjadi sumber pertikaian. Kalau mendengar kisah seperti itu, lantas layaklah
kita bertanya: lantas buat apa semua kekayaan yang terkumpul itu?
Hidup yang
Bertujuan Lebih dari Sekadar Kaya
Salah satu kerangka Kecerdasan
Emosional yang saya sukai adalah kehidupan Noble Goal, kehidupan yang bermakna.
Dalam kacamata ini, maka kekayaan hanyalah sebuah sarana. Ketika menghadiri workshop ataupun marketing produk yang
menjanjikan kekayaan, saya punya seringkali bertanya, “Kalau sudah kaya, so what?”
Kehidupan para selibritis dan
miliuner yang kaya, tetapi tidak bahagia mengajarkan bahwa kekayaan yang
dikumpulkan dan tidak bisa dinikmati orang-orang sekitar ataupun paling tidak
hanya dinikmati secara egois akhirnya tidak pernah membahagiakan. Bukti-bukti
menunjukkan bahwa para pemenang lotere yang menang mendadak, rata-rata akhirnya
meninggal dalam kondisi miskin dan penuh utang lagi.
Masalahnya, mereka hanya ingin
menjadi kaya, tapi tidak punya tujuan yang bermakna setelahnya! Karena itulah,
betapa pentingnya untuk melihat bahwa kekayaan hanya sarana untuk membahagiakan
dan bisa melakukan hal-hal yang mulia.
Karena itulah, saya merasa
sudah saatnya kelas-kelas ataupun marketing bagaimana menjadi kaya, juga
mengajarkan bagaimana menggunakan kekayaan itu untuk hal-hal yang lebih mulia.
Kisah Tyrone Curry di atas
sebenarnya mengajarkan dengan bagus bagaimana tidak melekat dengan uang dan
menggunakan uang dengan tujuan yang amat mulia. Dan, percaya tidak percaya,
semakin kita tidak melekat dan tidak terobsesi dengan uang, semakin banyak
sumber keberuntungan justru menghampiri.
Saya teringat perbincangan
saya dengan orang yang nasibnya sungguh selalu beruntung. Ia seringkali menang
undian dan orang bilang, ‘hoki’-nya
gede. Saya bertanya apa rahasianya, yang lantas dijawab, “Saya nggak tahu kenapa saya beruntung. Tapi, ketika saya menginginkan
suatu undian atau apa pun, saya mengharapkan bukan hadiahnya, tetapi keinginan
untuk membahagiakan dan untuk sesuatu lainnya. Misalkan, saya dapat undian
mobil dari tabungan saat saya kepingin bisa membahagiakan ayah saya yang sudah
tua supaya bisa mengunjungi kakak-kakak saya yang lain, sehingga nggak perlu
naik bis lagi. Eh, akhirnya saya mendapatkannya!”
Pada akhir tulisan ini, saya
mendoakan agar banyak pembaca yang betul-betul menjadi semakin makmur dan kaya
berkat karier dan pekerjaannya, tetapi juga semakin mulia hatinya untuk
melakukan banyak hal yang menjadi berkat bagi orang lain. Intinya, bukan cerdas
finansial, melainkan juga emosional-spiritual! (Anthony Dio Martin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar