Selasa, 15 Juli 2014

Inspirasi



EGP

Dering telepon Kamis pagi, 4 Juli, membangunkan saya. Anak saya dari Sydney menelepon. Begitu saya angkat, anak sulung saya berkata, “Happy Birthday, Dad!” Karena saya masih mengantuk, percakapan telepon itu hanya berlangsung beberapa menit. Biasanya saya berkomunikasi dengannya lewat Skype. Tidak lama kemudian isteri saya, Fransiska Xaviera Susana menyanyikan lagu selamat ulang tahun diiringi anak bungsu saya. Momen semacam itu, meskipun singkat, sangat berkesan bagi saya.

Kemudian saya buka BB dan hape saya. Rupanya sudah banyak bbm, sms, dan surel yang masuk. Di urutan paling atas ada sms dari Orlando. Gadis remaja yang dulu saya doakan agar bisa kuliah di Amerika Serikat ini saat ini sudah lulus dan menikah dengan pria Amerika serta tinggal di sana. Saya meneruskannya dengan membaca ucapan selamat dari para sahabat. Ucapan selamat ulang tahun yang paling sederhana sekalipun menunjukkan satu value yang perlu terus kita kembangkan: kepedulian.  Mengapa? Karena kepedulian semakin hari semakin digerus oleh sikap EGP (emang gue pikirin).

Ketika Peduli Tergerus Ego
EGP sudah menjadi penyakit menular yang mematikan. Seorang gadis kecil di Tiongkok yang bernama Wei Wei, digilas truk barang sampai dua kali, tetapi orang yang lewat—baik pejalan kaki maupun pengendarai motor—justru menghindar dan melewatinya begitu saja. Gadis kecil yang akhirnya meninggal dunia ini menimbulkan kemarahan massal orang-orang di negara berpenduduk paling besar di dunia itu. Jika tidak karena ada CCTV di sana, kedua sopir pasti tidak akan tertangkap dan dihakimi.

Peristiwa Wei Wei yang mengenaskan itu mengingatkan saya terhadap beberapa peristiwa sejenis yang pernah saya baca. Seorang ibu yang sedang hamil tua dan hendak melahirkan pingsan karena tidak satu taksi pun yang mau berhenti untuk mengangkutnya. Seorang yang terluka tembak ditolak masuk ke sebuah hotel berbintang karena takut darahnya mengotori karpet.

Di antara kisah-kisah seputar virus EGP itu, ada satu kejadian yang membuat saya miris. Diceritakan ada sekelompok regu penolong yang begitu gesit dan semangat untuk menolong setiap orang yang tenggelam di pantai. Karena tindakan heroik mereka, bantuan datang dari mana-mana. Mereka membentuk tim penyelamat pantai yang profesional dengan peralatan terkini. Untuk meningkatkan performa, mereka mengadakan seminar di sebuah hotel mewah di tepi pantai. Namun, saat mereka asyik seminar di ruang ber-AC, ada sebuah kapal karam yang lolos dari pengamatan mereka dan menimbulkan banyak korban jiwa. Ironis!

Masih Adakah Kasih?
Saya percaya, penyakit EGP ini merupakan penggenapan dari Firman Tuhan, “Dan karena makin bertambahnya kedurhakaan, maka kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin” (Mat 24:12).

Apa yang membuat kasih dan kepedulian kita kepada sesama menjadi dingin? Karena fokus dan prioritas hidup kita terus-menerus berpusat kepada diri sendiri. Hal ini diperparah dengan pandangan yang semakin membesar bahwa orang yang sukses dinilai dari apa yang melekat di dalam tubuhnya dan apa yang dia miliki, bukan apa yang ada di hatinya dan apa yang dia bagikan.

Saya pernah membaca kisah inspiratif saat berlangsung olimpiade khusus untuk anak-anak cacat mental. Begitu tanda start berbunyi, setiap anak lari sekencang-kencangnya. Di depan sendiri ada seorang anak bernama Andrew yang tampaknya bakal menjadi pemenang. Namun, saat dia mendekati garis final, dia menoleh karena melihat seorang kontestan lain terjatuh di lintasan lari.

Andrew berhenti, melihat ke garis finis yang tinggal beberapa meter lagi kemudian menengok ke belakang. Orang-orang di stadion memberinya semangat, “Ayo, terus lari Andrew!” Andrew tidak melakukannya. Sebaliknya, dia berbalik, menolong kontestan itu berdiri, membersihkan debu dan lukanya, kemudian mereka berlari kembali dan sampai di garis finis di urutan yang terakhir. Meskipun kalah, semua penontong berdiri dan memberikan standing applause!

Andrew layak  memperoleh standing ovation! Mengapa? Dia memang kalah di dalam perlombaan lari, tetapi dia menang dalam perlombaan iman! Ucapan Rasul Paulus teriang-ngiang di telinga kita: “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman” (2Tim 4:7).

Pertandingan Kehidupan
Saya percaya, setiap kita berada di lintasan lomba di stadion kehidupan. Selama mengikuti perlombaan itu, kita perlu memperhatikan beberapa rule of the games.

Pertama, kita perlu mengikuti pertandingan “yang baik”. Artinya, kita harus berlomba-lomba untuk melakukan apa saja yang Tuhan kehendaki, bukan yang kita kehendaki. Kita perlu menjadi terbaik versi Tuhan, bukan versi kita sendiri: “Tidak tahukah kamu, bahwa dalam gelanggang pertandingan semua peserta turut berlari, tetapi bahwa hanya satu orang saja yang mendapat hadiah? Karena itu larilah begitu rupa, sehingga kamu memperolehnya!” (1Kor. 9:24).

Kedua, kita perlu menjalani pertandingan itu “dengan baik”. Meskipun pertandingan yang kita ikuti itu sudah baik—menyenangkan hati Tuhan—namun jika cara melakukannya dengan tidak baik, hal itu justru mendukakan hati Tuhan. Kita melakukan hanya agar “dilihat orang” (lih. Mat. 6:5).

Kita melihat contohnya di sekitar kita. Ketika ada bencana alam, banyak orang yang tiba-tiba menjadi dermawan. Tindakan dan kegesitan mereka patut diapresiasi. Namun, seberapa banyak yang melakukannya dengan tulus?

Ketika gempa menimpa Jogja, saya bersama para sahabat, langsung meluncur ke sana untuk memberikan bantuan dari jemaat. Setelah menyerahkan bantuan, tanpa protoloker dan foto sana foto sini, kami berpamitan pulang. Tiba-tiba seorang relawan nyeletuk, “Pak tadi ada rombongan satu bus datang dari Jakarta. Mereka hanya membagi nasi bungkus, tetapi minta penyerahannya dilakukan dengan foto berulang kali. Setelah itu, mereka melihat-lihat wilayah terdampak seperti turis saja. Kami bukan objek wisata!” Tampak sekali kejengkelan di wajah mereka.

Ketiga, apa yang kita lakukan—baik atau buruk, sadar atau tidak—memberikan dampak bagi orang lain. Mereka menyaksikan perlombaan kita: “Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita” (Ibr. 12:1).

Mari terus berlari.

(Xavier Quentin Pranata)

·         Penulis bisa ditemui di www.xavierquentin.com dan www.xavier.web.id.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar