EGP
Dering telepon Kamis pagi, 4 Juli, membangunkan saya. Anak saya dari Sydney menelepon. Begitu
saya angkat, anak sulung saya berkata, “Happy
Birthday, Dad!” Karena saya masih mengantuk, percakapan telepon itu hanya berlangsung
beberapa menit. Biasanya saya berkomunikasi dengannya lewat Skype. Tidak lama
kemudian isteri saya, Fransiska Xaviera Susana menyanyikan lagu selamat ulang
tahun diiringi anak bungsu saya. Momen semacam itu, meskipun singkat, sangat
berkesan bagi saya.
Kemudian saya buka BB dan hape saya. Rupanya sudah banyak bbm, sms, dan
surel yang masuk. Di urutan paling atas ada sms dari Orlando. Gadis remaja yang dulu saya doakan
agar bisa kuliah di Amerika Serikat ini saat ini sudah lulus dan menikah dengan
pria Amerika serta tinggal di sana.
Saya meneruskannya dengan membaca ucapan selamat dari para sahabat. Ucapan
selamat ulang tahun yang paling sederhana sekalipun menunjukkan satu value yang perlu terus kita kembangkan:
kepedulian. Mengapa? Karena kepedulian
semakin hari semakin digerus oleh sikap EGP (emang gue pikirin).
Ketika Peduli Tergerus Ego
EGP sudah menjadi penyakit menular yang mematikan. Seorang gadis kecil
di Tiongkok yang bernama Wei Wei, digilas truk barang sampai dua kali, tetapi
orang yang lewat—baik pejalan kaki maupun pengendarai motor—justru menghindar
dan melewatinya begitu saja. Gadis kecil yang akhirnya meninggal dunia ini
menimbulkan kemarahan massal orang-orang di negara berpenduduk paling besar di
dunia itu. Jika tidak karena ada CCTV di sana,
kedua sopir pasti tidak akan tertangkap dan dihakimi.
Peristiwa Wei Wei yang mengenaskan itu mengingatkan saya terhadap
beberapa peristiwa sejenis yang pernah saya baca. Seorang ibu yang sedang hamil
tua dan hendak melahirkan pingsan karena tidak satu taksi pun yang mau berhenti
untuk mengangkutnya. Seorang yang terluka tembak ditolak masuk ke sebuah hotel
berbintang karena takut darahnya mengotori karpet.
Di antara kisah-kisah seputar virus EGP itu, ada satu kejadian yang
membuat saya miris. Diceritakan ada sekelompok regu penolong yang begitu gesit
dan semangat untuk menolong setiap orang yang tenggelam di pantai. Karena
tindakan heroik mereka, bantuan datang dari mana-mana. Mereka membentuk tim
penyelamat pantai yang profesional dengan peralatan terkini. Untuk meningkatkan
performa, mereka mengadakan seminar di sebuah hotel mewah di tepi pantai.
Namun, saat mereka asyik seminar di ruang ber-AC, ada sebuah kapal karam yang
lolos dari pengamatan mereka dan menimbulkan banyak korban jiwa. Ironis!
Masih Adakah Kasih?
Saya percaya, penyakit EGP ini merupakan penggenapan dari Firman Tuhan, “Dan karena makin bertambahnya kedurhakaan,
maka kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin” (Mat 24:12).
Apa yang membuat kasih dan kepedulian kita kepada sesama menjadi dingin?
Karena fokus dan prioritas hidup kita terus-menerus berpusat kepada diri
sendiri. Hal ini diperparah dengan pandangan yang semakin membesar bahwa orang
yang sukses dinilai dari apa yang melekat di dalam tubuhnya dan apa yang dia
miliki, bukan apa yang ada di hatinya dan apa yang dia bagikan.
Saya pernah membaca kisah inspiratif saat berlangsung olimpiade khusus
untuk anak-anak cacat mental. Begitu tanda start berbunyi, setiap anak lari
sekencang-kencangnya. Di depan sendiri ada seorang anak bernama Andrew yang
tampaknya bakal menjadi pemenang. Namun, saat dia mendekati garis final, dia
menoleh karena melihat seorang kontestan lain terjatuh di lintasan lari.
Andrew berhenti, melihat ke garis finis yang tinggal beberapa meter lagi
kemudian menengok ke belakang. Orang-orang di stadion memberinya semangat,
“Ayo, terus lari Andrew!” Andrew tidak melakukannya. Sebaliknya, dia berbalik,
menolong kontestan itu berdiri, membersihkan debu dan lukanya, kemudian mereka
berlari kembali dan sampai di garis finis di urutan yang terakhir. Meskipun kalah,
semua penontong berdiri dan memberikan standing
applause!
Andrew layak memperoleh standing ovation! Mengapa? Dia memang
kalah di dalam perlombaan lari, tetapi dia menang dalam perlombaan iman! Ucapan
Rasul Paulus teriang-ngiang di telinga kita: “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis
akhir dan aku telah memelihara iman” (2Tim 4:7).
Pertandingan Kehidupan
Saya percaya, setiap kita berada di lintasan lomba di stadion kehidupan.
Selama mengikuti perlombaan itu, kita perlu memperhatikan beberapa rule of the games.
Pertama, kita perlu mengikuti pertandingan “yang baik”.
Artinya, kita harus berlomba-lomba untuk melakukan apa saja yang Tuhan
kehendaki, bukan yang kita kehendaki. Kita perlu menjadi terbaik versi Tuhan,
bukan versi kita sendiri: “Tidak tahukah
kamu, bahwa dalam gelanggang pertandingan semua peserta turut berlari, tetapi
bahwa hanya satu orang saja yang mendapat hadiah? Karena itu larilah begitu
rupa, sehingga kamu memperolehnya!” (1Kor. 9:24).
Kedua, kita perlu menjalani pertandingan itu “dengan baik”.
Meskipun pertandingan yang kita ikuti itu sudah baik—menyenangkan hati
Tuhan—namun jika cara melakukannya dengan tidak baik, hal itu justru mendukakan
hati Tuhan. Kita melakukan hanya agar “dilihat orang” (lih. Mat. 6:5).
Kita melihat contohnya di sekitar kita. Ketika ada bencana alam, banyak
orang yang tiba-tiba menjadi dermawan. Tindakan dan kegesitan mereka patut
diapresiasi. Namun, seberapa banyak yang melakukannya dengan tulus?
Ketika gempa menimpa Jogja, saya bersama para sahabat, langsung meluncur
ke sana untuk memberikan bantuan dari jemaat. Setelah menyerahkan bantuan,
tanpa protoloker dan foto sana
foto sini, kami berpamitan pulang. Tiba-tiba seorang relawan nyeletuk, “Pak
tadi ada rombongan satu bus datang dari Jakarta.
Mereka hanya membagi nasi bungkus, tetapi minta penyerahannya dilakukan dengan
foto berulang kali. Setelah itu, mereka melihat-lihat wilayah terdampak seperti
turis saja. Kami bukan objek wisata!” Tampak sekali kejengkelan di wajah
mereka.
Ketiga, apa yang kita lakukan—baik atau buruk, sadar atau
tidak—memberikan dampak bagi orang lain. Mereka menyaksikan perlombaan kita: “Karena kita mempunyai banyak saksi,
bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan
dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan
yang diwajibkan bagi kita” (Ibr. 12:1).
Mari terus berlari.
(Xavier Quentin Pranata)
·
Penulis bisa ditemui di www.xavierquentin.com dan
www.xavier.web.id.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar