Secangkir
Kopi dengan Garam
Seorang
mahasiswa yang santun tertarik dengan seorang mahasiswi adik kelasnya.
Berkali-kali dia ragu menyatakan rasa cintanya karena takut ditolak. Namun,
hari itu setelah pesta kampus, dia memberanikan diri mengajak sang gadis ke
kafe dekat kampus mereka. Ternyata, gadis itu menerima tawarannya.
Memecah Kebisuan
Sepanjang
jalan mereka tidak tahu harus berbicara apa, sampai akhirnya mereka tiba di
kafe. Mereka mengambil tempat duduk di salah satu sudut kafe dengan harapan
bisa bicara lebih banyak. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Mereka lebih
banyak diam. Hal itu membuat keduanya tampak tidak nyaman. Hingga akhirnya sang
gadis berkata, “Kita pulang saja...” Sang pria tersentak. “Bolehkah kita
memesan kopi dulu?” pintanya.
Gadis
muda itu mengangguk tanda setuju, tanpa berbicara sepatah kata pun. Ketika
pramusaji datang, gadis itu memesan segelas juice
sementara pria temannya dengan cepat berkata, “Aku minta kopi hitam dengan
garam”.
Permintaannya
itu mengejutkan teman perempuannya. “Kebiasaan minum kopimu agak aneh, lain
dari yang lain,” katanya. Sang pria
langsung menyahut: “Ya... aku menghabiskan masa kecil hingga remajaku di
pantai. Kami tinggal di pinggiran pantai. Keluargaku komunitas pantai. Sampai
sekian lama aku belum pulang dan berjumpa dengan mereka. Aku sangat merindukan
mereka. Namun, aku harus bertanggung jawab dengan pemberi beasiswa yang
menuntutku untuk selesai cepat.” Tampak kesedihan terlukis di wajah pemuda itu.
Namun, dari sanalah kemudian mereka saling bercerita satu sama lain hingga
mereka tampak begitu dekat dan akrab.
Dalam
perjalanan waktu mereka menjadi sepasang kekasih. Setelah lulus dan
masing-masing mendapatkan pekerjaan yang baik, mereka pun menikah, menjadi
pasangan suami-istri yang saling mencinta hingga dua anak mereka beranjak
dewasa.
Kebenaran Terungkap
Suatu
saat, ketika sang istri membereskan buku-buku lama, dia menemukan sebuah surat
terselip di salah satu buku wajib perkuliahan mereka dulu. Dia membukanya.
Ternyata surat itu ditulis oleh kekasihnya. Di dalamnya tertulis demikian:
Kekasihku maafkan atas
kebohonganku selama ini, sesungguhnya aku sangat tidak suka kopi hitam dengan
garam. Kejadian di kafe itu karena kegugupanku berhadapan denganmu. Aku
bermaksud memesan “kopi hitam dengan sedikit gula”, tetapi yang keluar malah
“kopi hitam dengan sedikit garam”.
Aku memang dari
komunitas pantai, tetapi aku lebih suka minum kopi hitam dengan sedikit gula
daripada dengan garam. Sejak itu sampai sepanjang perkawinan kita kau selalu
menyajikan kopi hitam dengan sedikit garam buatku setiap hari – sekalipun
demikian aku senang karena kesalahan itu kita bisa menikmati manisnya cinta.
Dan yang luar biasa, kopi hitam dengan sedikit garam yang kau sajikan tetap
terasa nikmat saat aku meminumnya – terima kasih kekasihku, aku berjanji tidak
pernah akan membohongimu lagi dalam hal apapun.”
Ubah Ratapan Menjadi
Tarian
Tidak
jarang jiwa kita menjadi sedih, susah dan menderita akibat kesalahan yang tidak
kita rencanakan. Kita merasa susah ketika terselip kerusakan di antara banyak
keindahan yang kita harapkan. Saat itulah kita kehilangan makna dalam kehidupan
yang tidak sepenuhnya buruk. Pada umumnya banyak orang juga merasa bahwa
pengalaman atau kesulitan seperti itu menjadi sesuatu yang menyulitkan untuk
menjadikan dirinya sebagaimana mestinya bahagia, gembira dan bebas dari
ketidaknyamanan.
Tidak
jarang kita menganggap “penderitaan” itu sebagai sesuatu yang sangat mengganggu
atau bahkan tidak memiliki makna apa-apa. Padahal, sesungguhnya kita dapat
membebaskan diri kita dari hal itu secara kreatif. Pengalaman, seburuk apapun
sesungguhnya tidak pernah akan dapat menghalangi kita untuk dapat menggenggam
kenyataan yang indah.
Salah
satu pertanyaan besar dalam hidup yang kita jalani bukanlah tentang apa yang
terjadi dalam hidup kita, tetapi bagaimana kita tetap hidup dan menjalani
apapun yang terjadi dalam hidup kita. Bukan tidak mungkin kemenangan kita
justru tersembunyi dalam penderitaan dan kemalangan kita.
Salah
satu penulis spiritual Julian dari Norwich menolong kita untuk dapat tetap
optimis sekalipun segalanya tampak tidak mungkin. Julian menuliskan demikian: “Jika jiwa kita diombang-ambingkan oleh
prahara dan diganggu serta disayat oleh kecemasan – maka saat itulah waktunya
bagi kita untuk berdoa – di dalam doa bukan tidak mungkin Sang Khalik sedang
menarik kita dalam cinta-Nya yang lebih dalam”.
Selamat
berusaha mengubah ratapan menjadi tarian. [Imanuel
Kristo]