Senin, 23 Februari 2015

Monday Spirit



Secangkir Kopi dengan Garam


Seorang mahasiswa yang santun tertarik dengan seorang mahasiswi adik kelasnya. Berkali-kali dia ragu menyatakan rasa cintanya karena takut ditolak. Namun, hari itu setelah pesta kampus, dia memberanikan diri mengajak sang gadis ke kafe dekat kampus mereka. Ternyata, gadis itu menerima tawarannya.

Memecah Kebisuan
Sepanjang jalan mereka tidak tahu harus berbicara apa, sampai akhirnya mereka tiba di kafe. Mereka mengambil tempat duduk di salah satu sudut kafe dengan harapan bisa bicara lebih banyak. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Mereka lebih banyak diam. Hal itu membuat keduanya tampak tidak nyaman. Hingga akhirnya sang gadis berkata, “Kita pulang saja...” Sang pria tersentak. “Bolehkah kita memesan kopi dulu?” pintanya.

Gadis muda itu mengangguk tanda setuju, tanpa berbicara sepatah kata pun. Ketika pramusaji datang, gadis itu memesan segelas juice sementara pria temannya dengan cepat berkata, “Aku minta kopi hitam dengan garam”.

Permintaannya itu mengejutkan teman perempuannya. “Kebiasaan minum kopimu agak aneh, lain dari yang lain,” katanya. Sang pria langsung menyahut: “Ya... aku menghabiskan masa kecil hingga remajaku di pantai. Kami tinggal di pinggiran pantai. Keluargaku komunitas pantai. Sampai sekian lama aku belum pulang dan berjumpa dengan mereka. Aku sangat merindukan mereka. Namun, aku harus bertanggung jawab dengan pemberi beasiswa yang menuntutku untuk selesai cepat.” Tampak kesedihan terlukis di wajah pemuda itu. Namun, dari sanalah kemudian mereka saling bercerita satu sama lain hingga mereka tampak begitu dekat dan akrab.

Dalam perjalanan waktu mereka menjadi sepasang kekasih. Setelah lulus dan masing-masing mendapatkan pekerjaan yang baik, mereka pun menikah, menjadi pasangan suami-istri yang saling mencinta hingga dua anak mereka beranjak dewasa.

Kebenaran Terungkap
Suatu saat, ketika sang istri membereskan buku-buku lama, dia menemukan sebuah surat terselip di salah satu buku wajib perkuliahan mereka dulu. Dia membukanya. Ternyata surat itu ditulis oleh kekasihnya. Di dalamnya tertulis demikian:

Kekasihku maafkan atas kebohonganku selama ini, sesungguhnya aku sangat tidak suka kopi hitam dengan garam. Kejadian di kafe itu karena kegugupanku berhadapan denganmu. Aku bermaksud memesan “kopi hitam dengan sedikit gula”, tetapi yang keluar malah “kopi hitam dengan sedikit garam”.

Aku memang dari komunitas pantai, tetapi aku lebih suka minum kopi hitam dengan sedikit gula daripada dengan garam. Sejak itu sampai sepanjang perkawinan kita kau selalu menyajikan kopi hitam dengan sedikit garam buatku setiap hari – sekalipun demikian aku senang karena kesalahan itu kita bisa menikmati manisnya cinta. Dan yang luar biasa, kopi hitam dengan sedikit garam yang kau sajikan tetap terasa nikmat saat aku meminumnya – terima kasih kekasihku, aku berjanji tidak pernah akan membohongimu lagi dalam hal apapun.”

Ubah Ratapan Menjadi Tarian
Tidak jarang jiwa kita menjadi sedih, susah dan menderita akibat kesalahan yang tidak kita rencanakan. Kita merasa susah ketika terselip kerusakan di antara banyak keindahan yang kita harapkan. Saat itulah kita kehilangan makna dalam kehidupan yang tidak sepenuhnya buruk. Pada umumnya banyak orang juga merasa bahwa pengalaman atau kesulitan seperti itu menjadi sesuatu yang menyulitkan untuk menjadikan dirinya sebagaimana mestinya bahagia, gembira dan bebas dari ketidaknyamanan.

Tidak jarang kita menganggap “penderitaan” itu sebagai sesuatu yang sangat mengganggu atau bahkan tidak memiliki makna apa-apa. Padahal, sesungguhnya kita dapat membebaskan diri kita dari hal itu secara kreatif. Pengalaman, seburuk apapun sesungguhnya tidak pernah akan dapat menghalangi kita untuk dapat menggenggam kenyataan yang indah.

Salah satu pertanyaan besar dalam hidup yang kita jalani bukanlah tentang apa yang terjadi dalam hidup kita, tetapi bagaimana kita tetap hidup dan menjalani apapun yang terjadi dalam hidup kita. Bukan tidak mungkin kemenangan kita justru tersembunyi dalam penderitaan dan kemalangan kita.

Salah satu penulis spiritual Julian dari Norwich menolong kita untuk dapat tetap optimis sekalipun segalanya tampak tidak mungkin. Julian menuliskan demikian: “Jika jiwa kita diombang-ambingkan oleh prahara dan diganggu serta disayat oleh kecemasan – maka saat itulah waktunya bagi kita untuk berdoa – di dalam doa bukan tidak mungkin Sang Khalik sedang menarik kita dalam cinta-Nya yang lebih dalam”.

Selamat berusaha mengubah ratapan menjadi tarian. [Imanuel Kristo]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar