Jumat, 31 Oktober 2014

Sosialita



Harry Darsono
Pembaruan, Bukan Pembauran

Pementasan drama musikal Putih Hitam Lasem oleh D’ArtBeat yang menceritakan cinta dua etnis Tionghoa dan Jawa dengan mengekspose batik Lasem memiliki makna tersendiri bagi Harry Darsono. Perancang adibusana yang didapuk menjadi desainer kostum ini menampilkan rancangan dengan warna-warna cerah: merah, oranye, kuning, hijau muda, dan biru muda dengan desain kontempor.
 
“Saya membuat Lasem baru. Misalnya ada burung hong, lokcan, macan. Lalu, saya manifestasikan dalam bentuk seni busana dan harus up to date sehingga jadi tontonan yang menyegarkan,” jelasnya. Beberapa karya Harry telah dipakai untuk pertunjukkan kelas dunia, seperti Julius Caesar, Madame Butterfly, Halmet dan Othello, King Lear, serta Romeo dan Juliet karya Shakespeare.

Dengan desain kontemporer dan elegan, busana batik karya Harry bisa untuk anak-anak muda hingga kalangan sosialita. “Kita membuat sesuatu yang baru. Bisa dipakai oleh anak-anak muda penggemar K-Pop. Bisa ‘ditabrakkan’ sama jeans. Untuk ibu-ibu parlente yang pakai tas bermerk juga ada,” tuturnya.

Mengenai isu pembauran, bagi Harry itu sudah kuno. “Bukan pembauran – itu sudah kuno – tapi pembaruan. Kita ini sudah pembauran sejak zaman Doho, Majapahit. Sebelum Islam masuk kita sudah berbaur. Pembaruan yang penting. Jadi, melihat hidup dari perspektif baru.” 

Perspektif itu juga ia kaitkan dengan pertunjukan Putih Hitam Lasem.Nggak ada untungnya kalau semua serba pencitraan kayak … [sensor]. Itu kan Pontius Pilatus, cuci tangan melulu. Pencitraan itu kebohongan besar, pembohongan publik. Sandiwara ini kan juga cerita kepalsuan, akhirnya terbongkar. Jadi, kacamata baru kita harus pembaruan, bukan pembauran.[g]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar