Minggu, 31 Januari 2016

Spotlight



Mainkan Nada Bagi Sang Pencipta

Barry Likumahuwa dikenal sebagai musisi muda berbakat. Di tangan pria kelahiran Jakarta, 14 Juni 1983 ini, instrumen bass dan musik jazz terdengar asyik dan bisa dinikmati semua kalangan.

Sederet prestasi sudah diraih. Namun, ia mengaku hidup musisi masih Senin-Kamis. Tahun 2015 ini Barry mengalami banyak perubahan dalam kehidupan rohaninya. Apa saja yang terjadi?

MUKJIZAT DI KALA SENIN KAMIS
Sebagai musisi muda, Barry sudah merasakan berbagai panggung besar, seperti: JakJazz Festival, Java Jazz festival , Taichung International Jazz Festival, Taiwan, Bangkok Jazz Festival, Jazz Goes to Campus, Ambon Jazz Plus Festival, dll. Barry juga membuktikan prestasinya dengan meraih berbagai penghargaan, di antaranya Best bassist Asian Beat Festival 2003, Most Favourite New Comer, Jak Jazz Awards 2008, Jazz Rising Star, JGTC Awards 2008, dan “Matt Saja" Best Jazz Song ICEMA (Indonesian Cutting Edge Music Awards) 2010.

Walaupun sudah populer, ada pengakuan yang mengejutkan. Ia menyebut kehidupannya sebagai musisi bisa dibilang Senin-Kamis. “Kehidupan sebagai musisi itu bisa dibilang Senin Kamis banget. Kita nggak tahu kapan dapat uang, kapan dapat pekerjaan. Kadang bisa sebulan penuh nggak ada kerjaan. Tapi saat seperti itu Tuhan benar-benar pelihara. Jehovah Jireh itu nyata banget,” ujarnya.

Barry menceritakan pengalamannya tahun lalu waktu kampanye Pemilu. “Naik turun panggung, dipuja-puja orang, tapi kita nggak punya uang. Kita sebagai relawan nggak dibayar, cuma dikasih makanan. Saat Pemilu nggak ada yang  berani buat acara. Uang tinggal 30 ribu, tiba-tiba waktu cek tabungan, ada 1 juta. Tidak ada keterangan mutasi, telepon kenalan sana-sini nggak ada yang transfer. Itu karena kasih karunia Tuhan saja. Jadi, keajaiban-keajaiban Tuhan dalam kehidupan saya kayak gitu.”

Meski ada kerjaan manggung regular, ia bisa saja diberhentikan sewaktu-waktu. Tahun 2005 ia pernah main regular di Jam’s café, jazz club di Semanggi tiap hari Rabu. “Hari itu waktu saya datang, Jam’s sudah gelap. Saya bingung. Tanya ke satpam dijawab sudah tutup 2 hari lalu. Hal-hal kayak gitu bisa terjadi dalam sekejab mata. Pemiliknya nggak suka sama kita bisa di-cut juga,” ceritanya.

TITIK BALIK: NADA BAGI TUHAN
Bekerja di dunia entertain diakui Barry penuh dengan godaan. Boleh dibilang cobaan dan ujian datang setiap saat. Barry memberi contoh, ketika main di club, minuman dan makanan serba gratis. Tahun 2009-2010 merupakan masa paling gelap baginya. Ia pulang jarang sadar. Tapi masa itu sudah lewat.

Tahun 2015 ini Barry mengalami banyak perubahan yang membuat kehidupan rohaninya jadi lebih baik.  “Saya mengalami perubahan di hati saya. Luarnya tetap sama, bercandanya sama, teman2nya tetap sama, nongkrongnya tetap sama, tapi ada pemikiran baru, ada hati baru yang membuat saya lebih menjaga diri, menjaga tingkah laku, lebih memprioritaskan mana yang lebih penting.”

Peristiwa pertama, akhir 2014 ia bertemu hamba Tuhan yang memberikan tempat untuk dipakai persekutuan bagi sesama musisi Kristen yang berkarya di sekuler. Sekarang komunitas itu diberi nama Sound of Hope. Selain Barry, ada Dinda, Bayu Risa, Monita Tahalea, Roy Ouwens, Ivan Saba, Albert Fakdawer, Dimas Pradipta, dll. “Kadang kita kumpul di rumah teman, kadang di café. Tujuan utamanya untuk saling nguatin. Saling ingetin, kalau ada yang susah kita saling bantu, ada yang senang kita support. Kita butuh ekstra power dari teman-teman yang ngerti kondisinya.”

Kedua, Maret 2015 lalu, waktu pelayanan di GBI ROCK Ambon, Barry merasakan kuasa pujian dan penyembahan melalui pemusik setempat. Padahal, secara skill music mereka biasa saja. “Tapi ketika mereka menyembah, powerful banget. Itu karena ketika mereka main, egonya sudah nggak ada. Kepentingannya hanya satu: buat Tuhan. Dari situ saya diajar, ternyata yang Tuhan butuhkan bukan kejagoan kita, bukan kehebatan skill kita, tapi hati kita. Ketika hatinya sudah benar, ditambahlah kemampuan musiknya, jadinya bagus.”

Peristiwa ketiga, ketika pelayanan di kampus Institut Injili Indonesia (I3), Batu, Malang. Programnya coaching clinic, ada klinik gitar, bass, keyboard, drum. Malamnya diadakan pujian penyembahan. “Saya mengalami hal-hal yang hampir audible. Ketika lagi main, tiba-tiba kayak ada suara mengatakan ‘Taruh bass, turun ke anak-anak, doakan mereka.’ Saya mengalami apa yang sebelumnya saya anggap aneh. Itu turning point-nya. Kalau dulu saya naik panggung pingin nyenengin orang, saya membuktikan ke manusia bahwa Tuhan memberi saya talenta. Ternyata itu masih terlalu ‘aku’. Sekarang, ketika saya main musik di mana pun harusnya buat menyembah Tuhan. Ketika saya perform, bukan dunia yang melihat saya tetapi surga. Itu yang membuat saya berubah.” 

Barry menambahkan, “Dari dulu saya tahu dekat Tuhan. Saya mempersembahkan untuk Tuhan. Saya bisa sampai kayak sekarang karena Tuhan. Tapi ada satu yang beda, ketika saya menyadari bahwa setiap nada yang saya mainin harusnya buat Tuhan. Itu turning poin yang baru. Jadi sekarang, di mana pun ketika naik panggung, kerinduan saya menyembah Tuhan. Bukannya sok suci tapi kayak semuanya jadi fana. Jadi, saya lebih selektif juga. Milih kerjaan jadi selektif, milih tempat juga berpengaruh,” tandasnya. (g)

Monday Spirit



Menjadi Pemenang

Dalam lomba lari Marathon Zheng-Kai tahun 2010, Jacquline Nyetipkei Kiplimo (biasa dipanggil Jacq) adalah pelari wanita marathon papan atas asal Kenya. Salah satu peserta dalam lomba marathon itu seorang atlit asal China yang tidak memiliki lengan. Saat berlari di lintasan, Jacq melihat atlit China tersebut kesulitan mengambil air minum. Dia tampak dalam bahaya terancam dehidrasi. Dengan segera Jacq mengambilkan air dan membantu memberikan minuman di setiap pos, mulai dari km 10 sampai km 38. Setelah pelari itu tampak membaik, Jacq mulai berlari dan menunjukkan kemampuan luar biasanya.

Namun, dengan apa yang telah dilakukannya itu otomatis menghambat larinya. Hasilnya, Jacq harus rela menjadi juara ke-2 serta kehilangan hadiah sebesar US $ 10.000 (setara Rp135 juta).

Seusai pertandingan, ketika ditanya media, Jacq berkata: “Saya tidak pernah menyesal untuk membantu orang lain. Bagi saya dia bukan orang asing, tetapi perlu mendapat bantuan dari saya. .... It’s all not abaout the winning.” Jacq saat itu memang tidak menjadi juara. Dia tidak mendapatkan posisi pertama, tetapi Jacq adalah pemenang yang sesungguhnya.

Pemenang sejati
Seorang pemenang sejati adalah mereka yang mampu mengalahkan dirinya sendiri lebih dari pada mengalahkan orang lain. Mengalahkan diri sendiri adalah mengalahkan hasrat, egoisme, egosentrisme, dan keinginan untuk menjadi yang utama demi untuk sesuatu yang jauh lebih bernilai. Mengalahkan diri sendiri adalah kerelaan untuk mengambil posisi di bawah yang utama serta sedikit tampak kurang terhormat demi untuk sesuatu yang lebih bernilai tadi. Termasuk pula di dalamnya kerelaan untuk berkorban demi orang lain – sekalipun harus dibayar dengan konsekuensi sebagaimana yang dilakukan oleh Jacquline tersebut.

Terkait dengan hal tersebut, Stuart B. Johnson mengungkapkan, “Urusan kita dalam kehidupan ini bukanlah melampaui orang lain, tetapi untuk melampaui diri sendiri – untuk memcahkan rekor kita sendiri, dan untuk melampaui hari kemarin dengan hari ini”.

Menjadi juara ditandai dengan ceremoni dan prosesi lewat medali dan tropi yang kemudian diangkat tinggi-tinggi dalam kebanggaan. Tetapi, menjadi pemenang dihadiahi penghargaan lewat nama baik dan kenangan yang tidak mudah di lupakan. Seorang juara menciptakan posisi, tetapi pemenang menciptakan “legacy”. Dan, kegembiraan yang pernah kita berikan hari ini kepada orang lain akan menentukan kebahagiaannya hingga dua puluh tahun mendatang. Sebaliknya kita yang melakukannya juga akan menambah “tabungan” kebahagiaan kita. Zig Ziglar pernah berkata: “Anda dapat memperoleh sesuatu yang Anda inginkan dalam hidup jika Anda cukup menolong orang lain mendapatkan apa yang mereka inginkan”.

Pemenang vs Juara
Untuk menjadi juara dibutuhkan momen kompetisi bagi setiap pesertanya. Tetapi, untuk menjadi pemenang yang dibutuhkan adalah kesadaran diri. Bahwa kita tidak mungkin hidup tanpa orang lain dan ciptaan yang lain. Kesadaran diri itulah yang membuat kita mampu menghargai orang lain lebih dari sekadar kompetitor yang harus dikalahkan, tetapi sebagai sesama yang tidak mungkin diabaikan.

Dalam pelajaran yang dipraktikkan oleh Jacq, kita diingatkan dengan kenyataan: mereka tidak saling kenal, tidak satu ras, dan tidak satu warna kulit. Ada kesulitan berkomunikasi verbal karena mereka berbeda bahasa dan adat istiadat. Bahkan secara real mereka saat itu diposisikan untuk saling berkompetisi, memperebutkan hadiah ratusan juta. Namun mereka dapat menunjukkan keindahan di depan begitu banyak pasang mata bahkan dunia.

Dan yang tidak boleh kita lupa adalah kenyataan bahwa posisi juara itu selalu bisa digantikan, tetapi posisi pemenang akan lebih abadi. Ketika seorang juara lahir, di belakang dia sudah menunggu banyak pribadi yang siap menggantikannya. Lewat kerja keras dan kesungguhan, siapa pun mampu meraihnya. Tetapi seorang pemenang akan selalu diingat selamanya. Kisahnya tidak bisa tergantikan dan “lagacy”-nya akan tetap bertahan tanpa meminta orang lain untuk selalu mengingatnya. Selamat menjadi pemenang lebih dari pada menjadi juara. (Imanuel Kristo)