Mainkan
Nada Bagi Sang Pencipta
Barry Likumahuwa dikenal sebagai musisi muda
berbakat. Di tangan pria kelahiran Jakarta,
14 Juni 1983 ini, instrumen bass dan musik jazz terdengar asyik dan bisa
dinikmati semua kalangan.
Sederet
prestasi sudah diraih. Namun, ia mengaku hidup musisi masih Senin-Kamis. Tahun
2015 ini Barry mengalami banyak perubahan dalam kehidupan rohaninya. Apa saja
yang terjadi?
Sebagai musisi muda, Barry sudah merasakan
berbagai panggung besar, seperti: JakJazz Festival, Java Jazz festival ,
Taichung International Jazz Festival, Taiwan, Bangkok Jazz Festival, Jazz Goes
to Campus, Ambon Jazz Plus Festival, dll. Barry juga membuktikan prestasinya
dengan meraih berbagai penghargaan, di antaranya Best bassist Asian Beat
Festival 2003, Most Favourite New Comer, Jak Jazz Awards 2008, Jazz Rising
Star, JGTC Awards 2008, dan “Matt Saja" Best Jazz Song ICEMA (Indonesian
Cutting Edge Music Awards) 2010.
Walaupun sudah populer, ada pengakuan yang mengejutkan. Ia menyebut
kehidupannya sebagai musisi bisa dibilang Senin-Kamis. “Kehidupan sebagai
musisi itu bisa dibilang Senin Kamis banget. Kita nggak tahu kapan dapat uang, kapan dapat pekerjaan. Kadang bisa
sebulan penuh nggak ada kerjaan. Tapi
saat seperti itu Tuhan benar-benar pelihara. Jehovah Jireh itu nyata banget,”
ujarnya.
Barry menceritakan pengalamannya tahun lalu
waktu kampanye Pemilu. “Naik turun panggung, dipuja-puja orang, tapi kita nggak
punya uang. Kita sebagai relawan nggak dibayar, cuma dikasih makanan. Saat
Pemilu nggak ada yang berani buat acara.
Uang tinggal 30 ribu, tiba-tiba waktu cek tabungan, ada 1 juta. Tidak ada keterangan
mutasi, telepon kenalan sana-sini nggak ada yang transfer. Itu karena kasih
karunia Tuhan saja. Jadi, keajaiban-keajaiban Tuhan dalam kehidupan saya kayak gitu.”
Meski ada kerjaan manggung regular, ia bisa
saja diberhentikan sewaktu-waktu. Tahun 2005 ia pernah main regular di Jam’s
café, jazz club di Semanggi tiap hari Rabu. “Hari itu waktu saya datang, Jam’s
sudah gelap. Saya bingung. Tanya ke satpam dijawab sudah tutup 2 hari lalu.
Hal-hal kayak gitu bisa terjadi dalam sekejab mata. Pemiliknya nggak suka sama
kita bisa di-cut juga,” ceritanya.
TITIK
BALIK: NADA BAGI TUHAN
Bekerja di dunia entertain diakui Barry penuh
dengan godaan. Boleh dibilang cobaan dan ujian datang setiap saat. Barry
memberi contoh, ketika main di club, minuman dan makanan serba gratis. Tahun
2009-2010 merupakan masa paling gelap baginya. Ia pulang jarang sadar. Tapi
masa itu sudah lewat.
Tahun 2015 ini Barry mengalami banyak
perubahan yang membuat kehidupan rohaninya jadi lebih baik. “Saya mengalami perubahan di hati saya. Luarnya
tetap sama, bercandanya sama, teman2nya tetap sama, nongkrongnya tetap sama,
tapi ada pemikiran baru, ada hati baru yang membuat saya lebih menjaga diri,
menjaga tingkah laku, lebih memprioritaskan mana yang lebih penting.”
Peristiwa pertama, akhir 2014 ia bertemu
hamba Tuhan yang memberikan tempat untuk dipakai persekutuan bagi sesama musisi
Kristen yang berkarya di sekuler. Sekarang komunitas itu diberi nama Sound of
Hope. Selain Barry, ada Dinda, Bayu Risa, Monita Tahalea, Roy Ouwens, Ivan
Saba, Albert Fakdawer, Dimas Pradipta, dll. “Kadang kita kumpul di rumah teman,
kadang di café. Tujuan utamanya untuk saling nguatin. Saling ingetin, kalau ada
yang susah kita saling bantu, ada yang senang kita support. Kita butuh ekstra
power dari teman-teman yang ngerti kondisinya.”
Kedua, Maret 2015 lalu, waktu pelayanan di
GBI ROCK Ambon, Barry merasakan kuasa pujian dan penyembahan melalui pemusik
setempat. Padahal, secara skill music mereka biasa saja. “Tapi ketika mereka
menyembah, powerful banget. Itu karena ketika mereka main, egonya sudah nggak
ada. Kepentingannya hanya satu: buat Tuhan. Dari situ saya diajar, ternyata yang
Tuhan butuhkan bukan kejagoan kita, bukan kehebatan skill kita, tapi hati kita. Ketika hatinya sudah benar, ditambahlah
kemampuan musiknya, jadinya bagus.”
Peristiwa ketiga, ketika pelayanan di
kampus Institut Injili Indonesia (I3), Batu, Malang. Programnya coaching clinic, ada klinik gitar, bass,
keyboard, drum. Malamnya diadakan pujian penyembahan. “Saya mengalami hal-hal
yang hampir audible. Ketika lagi
main, tiba-tiba kayak ada suara mengatakan ‘Taruh bass, turun ke anak-anak,
doakan mereka.’ Saya mengalami apa yang sebelumnya saya anggap aneh. Itu turning point-nya. Kalau dulu saya naik
panggung pingin nyenengin orang, saya
membuktikan ke manusia bahwa Tuhan memberi saya talenta. Ternyata itu masih
terlalu ‘aku’. Sekarang, ketika saya main musik di mana pun harusnya buat
menyembah Tuhan. Ketika saya perform, bukan dunia yang melihat saya tetapi surga.
Itu yang membuat saya berubah.”
Barry menambahkan, “Dari dulu saya tahu
dekat Tuhan. Saya mempersembahkan untuk Tuhan. Saya bisa sampai kayak sekarang
karena Tuhan. Tapi ada satu yang beda, ketika saya menyadari bahwa setiap nada
yang saya mainin harusnya buat Tuhan.
Itu turning poin yang baru. Jadi
sekarang, di mana pun ketika naik panggung, kerinduan saya menyembah Tuhan.
Bukannya sok suci tapi kayak semuanya jadi fana. Jadi, saya lebih selektif
juga. Milih kerjaan jadi selektif, milih tempat juga berpengaruh,” tandasnya.
(g)