Merry Riana
Hidup Harus Ada Makna
Ia
bukan artis, namun popularitasnya tidak kalah dengan selebriti. Usianya baru 34
tahun, tapi Perjuangan hidupnya sudah difilmkan. Ada apa dengan Merry Riana?
Anda sudah menonton film Merry Riana: Mimpi Sejuta Dollar? Siapa sih Merry Riana sehingga
memikat Manoj
Punjabi, raja film dan sinetron ini untuk
memfilmkan kisah perjuangan hidupnya?
Sebagai orang film, pilihan Manoj memang tidak salah. Sejak dirilis 24
Desember 2014, hingga awal Februari film ini masih beredar di bioskop dengan
penonton lebih dari 700 ribu. Tidak banyak film Indonesia yang bisa menembus
angka 100 ribu penonton.
Antara
Fiksi dan Fakta
Film Merry
Riana diangkat dari buku berjudul sama tulisan Alberthiene Endah. Sebagian penonton
yang kritis mempertanyakan setting film yang tidak sesuai dengan waktu Merry
Riana di Singapura. Misalnya: landmark
Singapore Flyer, Marina Bay Sands, facebook dan smartphone.
Mengenai
“kejanggalan” tersebut, Merry menjelaskan kalau film ini memang bukan biografi,
tapi adaptasi dari hidupnya. Selain fakta, memang ada
fiksinya. Beberapa cerita fiksi dalam film dijelaskan Merry sebagai jahitan
sehingga cerita mengalir dengan alur yang menarik. Setting dengan waktu kini untuk mendekatkan
dengan penonton dengan suasana yang lebih modern. “Film Merry
Riana
memang sengaja dibuat lebih modern sehingga penonton –khususnya
anak muda– bisa
lebih nyambung dengan keadaan mereka sekarang,” jelasnya.
Ada dua angle
yang berbeda antara buku dan film. Jika dalam bukunya Merry menceritakan
perjuangannya, di film mengusung kisah cintanya dengan Alva – yang kini menjadi
suaminya. Dalam film
ini peran Alva juga ditonjolkan. “Lewat
film ini saya juga ingin menunjukan bahwa di balik
sosok orang hebat, ada sosok yang jauh lebih hebat yang selalu setia
mendampingi dan mendukung setiap langkahnya,” tuturnya.
Wanita
Sejuta Dolar
Merry dikenal sebagai entrepreneur, penulis dan Motivator Wanita No.1 di
Indonesia & Asia.
Ia sukses
meraih 1 juta dolar di Singapura di usia 26 tahun. Kisahnya bermula dari kerusuhan
Mei 1998 di Jakarta. Merry “mengungsi” sekaligus kuliah di Singapura dengan
dana pinjaman dari bank pemerintah setempat. Untuk bertahan, Merry hidup berhemat dengan
sarapan mie instan, berbekal roti tawar untuk makan siang yang dimakan
sembunyi-sembunyi di toilet karena malu. Ia aktif di berbagai kegiatan agar
dapat makan gratisan dan perbaikan gizi.
Bergumul dengan keterbatasan membuat sulung dari 3
bersaudara ini makin mendekap Tuhan. Pertemuannya dengan Alva Tjenderasa saat pendalaman
Kitab Suci di kampus membuka cakrawala dan mengubah warna hidup Merry.
Ulang
tahun ke-20 menjadi momen titik balik
bagi Merry. Memiliki kebebasan finansial sebelum umur 30 tahun menjadi impiannya. Liburan kuliah dipakai Merry untuk bekerja. Mulai dari membagi brosur,
pegawai toko bunga, pramusaji di hotel. Berbagai usaha ia coba, uangnya ludes
ketika bisnis saham dan MLM (multi level marketing). Mentalnya sempat jatuh. Namun,
dengan dukungan Alva, Merry bangkit kembali.
Merry bekerja 14 jam sehari, 7 hari seminggu, dan 20 presentasi dalam sehari. Menyisir stasiun
MRT, halte bus, mal dan mengetuk dari pintu ke pintu untuk menawarkan asuransi.
Bekerja keras bukan berarti mengabaikan relasinya
dengan Tuhan. Merry meletakkan iman sebagai pondasi dalam berkarya. “Tanpa iman,
kita tak akan kuat. Iman merupakan pondasi yang
mengendalikan emosi dan ketangguhan mental kita. Iman pula yang akan menjaga
gerak kita untuk selalu berjalan di atas norma-norma yang baik. Iman membuat
kita tabah dan berpengharapan.” (gie)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar